Resensi Buku : Stop menjadi guru, tapi…

Judul : Stop Menjadi Guru Penulis : Asep Sapaat Penerbit : Tangga Pustaka Tebal : 288 Halaman Tahun terbit : 2012 =================================================================
Menjadi guru adalah profesi yang sangat mulia. Kemuliaan seorang guu tentu saja patut diberikan kepada guru yang memang memiliki dedikasi untuk membangun bangsa ini melalui pendidikan. Buku Stop Menjadi Guru ini merupakan buku yang terlahir dari pengalaman Asep Sapaat ketika bertemu dengan guru dari berbagai daerah. Melalui pengalamannya inilah, Asep Sapaat menuliskan bahwa menjadi guru butuh nilai lebih dari sekedar paham atau tahu saja. Sosok guru yang berdiri di depan lokal adalah sosok guru yang memiliki potensi kejiwaan yang mampu menginspiratifkan siswanya. Namun sebuah bencana ketika sosok guru bukan lagi menjadi figur bagi siswanya. Melalui buku ini, pembaca akan diajak untuk melihat berbagai peristiwa yang dialami oleg guru-guru di berbagai daerah dan dunia. Penghargaan guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa seharusnya cukup dikatakan sebagai pahlawan tanpa ada kata “tanda jasa”. Kemampuan serta kemauan sosok guru yang mengabdikan diri untuk mencerdaskan bangsa seharusnya memang dikenal sebagai pahlawan, setidaknya pahlawan bagi siswanya. Namun apakah guru-guru tersebut memang telah memiliki dedikasi yang mulia? Asep Sapaat menjelaskan sebuah kontradiksi yang terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia yang miris. Posisi menjadi guru menjadi profesi yang sangat menarik dalam beberapa tahun terahir ini. Salah satu yang membuat posisi guru menarik adalah dalam segi financial, dimana guru mendapatkan gaji yang berlipat dalam program sertifikasi. Namun dalam hal lain profesi guru yang bertugas mendidik siswa malah terabaikan. Universitas keguruan yang seharusnya mampu melahirkan guru yang kompeten kini mulai semakin krisis dalam mengeluarkan guru berkualitas. Buku yang ditulis oleh Asep Sapaat banyak menitikberatkan sebagai sosok yang perlu diatur kembali, walaupun kesalahan dalam pendidikan bangsa ini tidak hanya terletak dipundak guru namun Asep Sapaat lebih memilih bahwa gurulah yang harus banyak berbenah. Memang dengan menitikberatkan hanya kepada guru bacaan dalam buku ini tidak berimbang. Walau seperti buku ini tetap bacaan yang berkualitas untuk menjadi panduan bagi guru, mauun calon guru. Mungkin buku ini juga bisa dikatakan sebagai sebuah bentuk apresiasi yang dilakukan oleh Asep Sapaat dalam membangun hubungan yang simetris dalam menemukan sosok guru dan tujuan untuk menjadi guru. Dimana Asep Sapaat memberikan sebuah kontradiksi dalam pengalamannya tentang kondisi di berbagai daerah. Salah satu pengalaman yang pernah ia lakukan ketika dirinya berada dalam sekolah, kemudian meminta seluruh guru untuk mengumpulkan bahan RPP namun hanya ¼ saja yang mengumpulkan. Setidaknya butuh seminggu Asep Sapaat bisa mengumpulkan semua RPP guru sekolah tersebut karena baru dibuatnya. Alhasil Asep Sapaat menuliskan bahwa jika guru tidak ada merencakan sebuah proses pembelajaran maka guru terseut sedang merencanakan sebuah kegagalan dalam proses belajar.

Resensi Buku : Pencarian si Siti hawa

Judul : Tintah Cinta Sitti Hawa Penyuting : Derhayana Penerbit : Zaman Tebal : 166 Halaman Tahun terbit : 2009 =======================================================================
Sitti Hawa adalah gadis muslimah yang cantik dengan warna rasa Cinanya. Kelebihan pada warna kulit terkadang membuat Sitti Hawa tidak percaya diri untuk bergaul dengan teman lingkungannya. Bahkan perlakuan teman se-SD yang menjulukinya sebagai gadis yang aneh dengan warna kulitnya itu. Namun ibunda Sitti Hawa selalu menguatkan bahwa warna kulit yang ada dalam diri Sitti Hawa akan menjadi daya tariknya. Kenyataannya memang demikian, Sitti Hawa banyak menjadi idola bagi kaum Adam. Namun ketika mereka mengungkapkan perasaannya kepada Sitti Hawa, ia selalu menolak. Sitti Hawa hanya menunggu sosok Adam yang diciptakan untuk dirinya. Novel ini adalah sebuah novel yang cukup menarik dalam memperkenalkan sosok Sitti Hawa dan konflik diawal cerita ini. Namun pembaca jangan berharap bahwa novel ini akan seperti karya novel teenlit atau remaja biasanya. Penulis membawa gejolak emosi dalam kondisi yang berbeda. Sitti Hawa yang telah beranjak dewasa akhirnya bertemu dengan sosok Adam yang selama ini ia rindukan. Namun ketika Sitti Hawa telah menegaskan pilihannya ternyata Adam telah memiliki seorang istri bernama Eva. Sitti Hawa pun patah hati, hanya Sandra teman baiknya yang merawat Sitti Hawa yang sedang dilemma. Ditengah dilemma tersebut, Sitti Hawa bertemu dengan laki-laki lain bernama Malik. Semasa SD Sitti Hawa menganggap bahwa Malik adalah musuhnya. Si Malik yang telah membuat Sitti Hawa malu dan menjadi bahan ejekan. Namun waktu yang berlalu telah menemukan sosok Malik yang sangat dewasa serta santun. Hubungan selanjutnya, Sitti Hawa mencoba dekat dengan Malik. Namun bayangan tidak seindah dengan hasil akhir yang diharapkan dimana Hawa yang telah dekat dengan Malik tiba-tiba masuk ke dalam sebuah organisasi yang tidak jelas. Sebagai sebuah institusi organisasi ini bergerak dibawah tanah untuk menyusun gerakan kehidupan yang agamis. Pada awalnya, Sitti Hawa tertarik dengan gagasan organsasi tersebut yang sama dengan ide yang dimilikinya. Namun organisasi yang mengatasnamakan agama ini lantas membuat pribadi Salamah nama baiat dari Sitti Hawa merasa terpaksa dan akhirnya mencoba untuk keluar dari lingkaran organsasi tersebut. Novel ini memang memberikan kejutan dari perjalanan tokoh utama Sitti Hawa yang mencari jati diri dan sosok Adam. Perjalanan selayaknya putri mencari pangeran lantas terusik dengan konflik yang berhasil diciptakan oleh penulis melalui organsasi yang mengatas namakan agama ini. Sitti Hawa yang menjadi salah seorang korban berusaha untuk lari dari konflik cinta hingga melarikan diri dari ancaman yang dilakukan oleh sang pemimpin organisasi. Namun penulis rasanya kurang sukses dalam membuat klimaks dalam novel ini . Penulis mencoba membuat sebuah konflik dari sebuah fakta sekitar yang pernah terjadi. Pembuatan konflik ini terasa tidak mengigit ketika penulis tidak menuliskan nama konflik tersebut. Sosok Sitti Hawa yang masih kurang digambarkan secara kuat dalam karakter bisa menyebabkan pembaca kecewa dengan hasil akhir hidup gadis peranakan cina, si Sitti Hawa. Walau seperti itu novel ini menyuguhkan kesan yang berbeda ketika dibaca. Semua kalangan rasany berhak untuk membaca novel ini.

Resensi Buku : Cendikiawan yang Berjuang Lewat Ilmunya

Judul : Prof.Dr.dr. Moh. Saleh Mangundiningrat Potret Cendikiawan Jawa Penulis : M. Nursam Penerbit : Gramedia Tebal : 128 Halaman Tahun terbit : 2006 ===============================================================================
Saleh Mangundiningrat adalah salah seorang intelektual yang dilahirkan pada masa colonial Belanda. Potret kehiduannnya tidak jauh dari lingkungan Jawa tempat yang menjadi kehidupan utama Saleh Mangundiningrat dari lahir hingga akhir hayatnya. Saleh Mangundiningrat dilahirkan pada tanggal 28 September 1892 atau akhir abad ke-19 di Balarejo, Madiun. Saleh Mangundiningrat memang dilahirkan dari keluarga yang dihormati, dimana dari silsilah gen, Saleh Mangundiningrat memiliki benang merah dengan keturunan pamong praja dan ulama. Kehiduan dasar inilah yang membuat Saleh Mangundiningrat dekat dengan pendidikan, tidak seperti kebanyakan bocah seusianya yang terhalang untuk menikmati pendidikan di masa colonial Belanda. Buku ini merupakan sebuah catatan biografi tentang elit priyayi namun tidak angkuh dengan statusnya. Sebaliknya buku ini membuktikan melalui catatan ilmiah tentang sepak terrjang Saleh Mangundiningrat dalam mendedikasikan pendidikan kedokterannya dalam bidang pendidikan maupun dalam kesehatan masyarakat. Penulis atau M Nursam menuliskan secara runut tentang latar Saleh Mangundiningrat tersebut. Pantas rasanya bagi kalangan akademik mejadikan buku ini sebagais alahs atu bacaan dalam mengenal sosok priyayi di masa tersebut. Membaca buku ini, pembaca akan membacanya dalam pembagian sebanyak lima bab yang saling memisahkan. Pada bab pertama tertulis tentang manusia Jawa yang digambarkan sebagai karakteristik dari sosok Saleh Mangundiningrat. Kemudian pada bab kedua, pembaca akan melihat kehidupan Saleh Mangundiningrat dari sisi latar belakang keluarga serta lingkungan sosial yang terjadi saat itu. Pada bab ketiga, menuliskan karir yang dijalani oleh Saleh Mangundiningrat sebagai seorang tenaga kesehatan dari mulai penugasan dari Sawaluntho hingga Surabaya. Kemudian pada bab keempat, buku ini mejelaskan kedudukan Saleh Mangundiningrat sebagai seorang yang sangat penting dalam lingkungan istana hingga akhirnya menjadi seorang rector di universitas cokroaminoto. Terakhir dalam bab lima tertulis catatan akhir penulis sebagai simpulan dalam isi buku ini. Saleh Mangundiningrat yang dilahirkan oleh Nyi Sukinatum bt.Mangundipuro dan ayah Ki Abduldjabar Mangundiharjo yang merupakan seorang luah dibalurejo tempat dimana Saleh Mangundiningrat dilahirkan. Sebagai anak keemapat dari sepuluh bersaudara, Saleh Mangundiningrat adalah anak laki-laki yang tertua, kelahiran ditengah malam membuat seluruh penghuni rumah bersuka cita. Bahkan menurut beberapa kalanngan mengganggap bahwa kelahiran Saleh Mangundiningrat ditengah malam membawa pertanda baik dalam hidupnya. Kehidupan yang nyaman dalam lingkungan keluarga yang berada membuat Saleh Mangundiningrat bisa mengenyam bangku pendidikan hingga menjadi seorang dokter. Namun kecerdasan yang dimiliki oleh Saleh Mangundiningrat tidak membuatnya untuk terlibat aktif dalam organisasi pergerakan layaknya kaum intelektual saat itu. Saleh Mangundiningrat memilih sendiri cara berjuangnya yakni melalui bantuan dalam membantu kaum pinggiran. Dedikasinya membuat Saleh Mangundiningrat seolah dipandang sebagai sosok yang netral, walaupun dimata keluarganya Saleh Mangundiningrat adalah seorang yang keras serta disiplin. Saleh Mangundiningrat memang seorang cendikiawan yang memiliki dedikasi dalam kehidupannya.

Resensi Buku : Palestine

Judul : Gadis Kecil di Tepi Gaza Penulis : Vanny Chrisma W Penerbit : Diva Press Tebal : 344 Halaman Tahun terbit : 2012 =======================================================================
Berada dalam dunia konflik tentu bukan menjadi pilihan bagi semua orang, bahkan anak-anak sekalipun. Dalam novel Gadis Kecil di Tepi Gaza ini kembali dituliskan sebuah tempat yang menjadi sengketa hingga saat ini. Konflik dua kaum yang tidak pernah tuntas sejak zaman para nabi hingga abad 21. Israel sebagai sebuah Negara yang diktaktor terhadap penduduk bangsa Palestina. Puncak dari konflik ini selalu berakhir dengan bentrokan yang tidak pernah seimbang. Bangsa Palestina adalah bangsa yang mencoba mempertahankan eksistensi bangsanya dan tanahnya, sedangkan Israel adalah rezim zionis yang secara nyata menjajah tanah yang diklaim sebagai tanah yang dijanjikan. Vanny Chrisma W menuliskan sosok bocah belasan tahun yang beranjak dewasa bernama Palestine. Gambaran penokohan Palestine oleh Vanny adalah gambaran sosok gadis kecil yang menjadi korban konflik pada ahir tahun 2008 silam. Sebagai seorang anak-anak Palestine mampu bertahan dan berperang melawan tentara Israel pada masa agresi. Palestine memiliki jiwa pemberani layanya sang ayah Yahded, anggota Hamas yang berperang melawan tentara zionis. Palestine hanyalah salah satu korban perang yang kini membisu tanpa keadilan. Dalam mindset Palestine saat ini adalah menemukan kembali ayahnya. Kepergian sanga ayah untuk berjihad dalam HAMAS membuat Palestine terpisah. Agresi Israel telah membuat seluruh keluarganya terbunuh. Kini bersama Yanaad, Adeeba, dan pengungsi lain mencoba mencari harapan agar kehidupan di bumi Palestina damai. Peristiwa agresi yang dimulai pada ahir tahun 2008 ini tidak hanya menyadarkan Palestine bahwa Israel adalah bangsa yang kejam. Namun Kumara (India), Restu (Indonesia), Jing Min (korea), dan masyarakat dunia mengutuk kebiadaban Israel kepada Palestina. Bahkan dalam melakukan penyerahan bantuan kemanusiaan kapal Mavmara ke Palestina ternyata di blokkade oleh tentara Israel sebagai bentuk perintah dan kelak hal ini yang membuat hubungan diplomatic Israel dan Negara lain terancam mundur, sama halnya dengan Turki. Namun sangat disayangkan dalam membuat runut peristiwa Vanny belum bisa membuat urutan sistamtis yang bisa mengguncang emosi pembaca. Vanny melakukan penulisan acak tentang Palestine yang berjuang melawan tentara Israel. Walau seperti itu, novel ini layak dibaca oleh semua kalangan bahkan remaja. Tentu saja dalam pencitraan tentang bangsa Palestina bisa membuat pembaca tergugah dan peduli dengan saudara atas nama kemanusiaan dan secara satu ikatan agama.

Resensi Buku : Perbudakan di Tanah Emas

Judul : Menjinakan sang kuli Penulis : Jan Breman Penerbit : Grafiti Tebal : 346 Halaman Tahun terbit : 1997 Kota terbit : Jakarta ==============================================================================
Buku ini merupakan hasil buku terjemahan deli in word en beeld yang diterbitkan di belanda pada tahun 1889. Buku ini menjelaskan secara lengkap kondisi di sumatera timur pada masa kekuasaan tuan kebun. Jan Breman menuliskan detail kondisi kuli kontrak di sumatera timur yang mengalami kondisi yang mengenaskan. Walaupun tidak mendeksripsikan secara utuh kondisi kuli kontrak namun gambaran dari kuli kontrak yang tertindas memberikan sebuah simpulan bahwa kuli kontrak yang berada di sumatera timur berada dalam kondisi yang sangat menderita. Tidak adanya kepedulian oleh tuan kebun, pemerintah, bangsawan, bahkan antar sesame terhadap derita kuli kontrak itu sendiri. Buku yang ditulis secara ilmiah ini sangat cocok untuk dibaca oleh kalangan akedemik. Dalam membaca buku ini, pembaca akan membaca dengan cara yang sistematis. Dimana buku ini dibagi dalam enam bab besar untuk mejelaskan setiap sisi kehidupan kuli kontrak. Pada bab pertama berisi awal pembukaan lahan perkebunan oleh jacobus nienhuys setelah mendapat izin dari sultan deli. Dalam bab ini menjelaskan bahwa keberadaan pemerintah dan penguasa colonial di tanah deli menyebabkan perubahan besar dalam kehidupan social bangsawan. Para bangsawan local memiliki kekuasaan yang dilegitimasi oleh pemerintah colonial. Dimana sebelumnya bangsawan tersebut hanyalah sebuah lambang yang tidak memiliki kekuatan. Hal ini terlihat ketika deli dan wilayah lain di sumatera timur menjadi daerah rebutan dua penguasa lain yakni kerajaan aceh dan kerajaan siak. Sejak adanya pembukaan lahan menyebabkan adanya perubahan besar dalam bidang lain yakni magnet tumbuhnya perekonomian. Dimana jacobus nienhuys menjadi seorang pionir yang sukses membawa nama deli dan tembakau sebagai tempat memproduksi yang berkualitas di dunia. Banyaknya kebutuhan akan hasil alam deli inilah lantas jacobus nienhuys mencoba mencai tenaga kerja secara massal untuk mengolah perkebunan. Maka untuk memperolehnya, awalnya jacobus nienhuys mencari tenaga kerja asal cina yang berada di singapura. Namun setelah melakukan impor tenaga kerja asal cina ini, jacobus nienhuys beserta tuan kebun lainnya mulai mencari tenaga kerja asal jawa. Deli sukses menjadi sebuah perkebunan yang mampu menjadi daya taik bagi investor untuk ikut menanam modal di tempat ini. Maka untuk melindungi investor ini lanats diberlakukan sebuah kebijakan bernama koeli ordonantie 1880, dimana melalui kebijakan ini mencoba mengikat kuli kontrak agar lebih patuh dengan aturan perkebunan. Namun kebijakan yang diinilai sebagai kebijakan ideal ini lantas menjadi sebuah rantai bagi kuli kontrak. Dimana aturan dalam kebijakan ini hanya lebih mengarah kepada kewajiban dan hukuman bagi kuli kontrak tanpa menimpah tuan kebun. Kemudian pada bab kedua, pembaca akan melihat kehidupan perkebunan dari sisi tuan kebun yang memiliki fasilitas mewah. Namun dalam jenjang hirarkinya,tuan kebun terbagi ke dalam beberapa lapisan yakni administratu yakni tuan kebun yang berkuasa dan assistan administratu sebagai tangan kanannya. Kedua lapisan ini tidak tercampur sama karena kondisi ekdunya dalam lapisan yang berbeda.

Resensi BUKU : Ali Si Penjaga Ilmu

Judul buku : Kisah Hidup Ali Ibn Abu Thalib Pengarang : Mustafa Murad Penerbit : Zaman Tahun terbit : 2007 ===========================================================================
Siapa pun pasti mengenal sosok sahabat nabi bernama Ali Ibn Abu Thalib. Sahabat utama yang masuk Islam pada masa awal Islam disiyiarkan oleh nabi Muhammad SAW. Ali Ibn Abu Thalib adalah seorang pemuday dilahiran dari silsilah yang sama dengan nabi Muhammad SAW, yakni pada kakeknya Abdul Muthalib. Salah satu yang membuat Ali Ibn Abu Thalib menarik adalah kemampuan nalar yang dimiliki Ali Ibn Abu Thalib yang masih muda namun percaya bahwa Islam adalah agama terbaik. Di saat kondisi Mekkah masih dikuasai dengan patung-patung berhala bernama Latta, Uza dan nama Tuhan lainnya. Sepanjang hidup Ali Ibn Abu Thalib, ia tidak pernah menyembah berhala. Kesudian inilah yang membuat Ali Ibn Abu Thalib agung di sisi nabi sebagai salah satu ahli surga. Buku menitik beratkan perjuangan yang dilakukan oleh sang khulafaur rasyidin bernama Ali Ibn Abu Thalib. Mustafa Murad menuliskan sosok Ali sebagai orang alim yang diakui keilmuannya oleh siapapun. Maka tidak jarang banyak orang yang menjadikan Ali sebagai sosok yang sering diminta berbagai petuah atau solusi terhadap permasalahan umat selepas wafatnya nabi Muhammad SAW. Bahkan Aisyah yang juga merupakan bagian dari ahli pengetahuan tidak segan mengakui sosok Ali sebagai orang yang lebih paham dari dirinya. Setelah wafatnya usman bin affan terjadi kegaduhan dalam pemerintahan khilafah dalam menentukan sosok yang pantas menjadi khalifah. Kematian usman menjadi sebuah petaka perpecahan antara golongan muslim dan orang-orang munafik. Maka dalam kondisi seperti ini, lantas muncul beberapa nama untuk menjadi khalifah menggantikan usman. Ketiga nama tersebut adalah Ali Ibn Abu Thalib, thalaha, dan . terjadi pedebatan untuk menentukan siapakah yang pantas dari ketiga calon yang terhormat ini. Maka ahirnya, Ali Ibn Abu Thalib dipilih menjadi khalifah. Namun perdebatan kembali muncul ketika Ali Ibn Abu Thalib menolak dirinya menjadi khalifah, sebagaimana yang dikatakan oleh Husain yang mengatakan bahwa sang ayah tidak baik untuk menjadi khalifa. Namun kondisi yang serba kritis membuat Ali Ibn Abu Thalib menerima jabatan menjadi khalifah. Maka dengan naiknya Ali Ibn Abu Thalib menjadi khalifah membuat kegaduhan antar umat dapat diatasi. Ali Ibn Abu Thalib yang kini menjadi khalifah melakukan banyak perubahan dalam sisi pemerintahan, salah satunya mengganti posisi Muawiyah(sepupu usman) dari jabatan gubenur syiria namun hal ini tidak dapat dilakukan. Posisi muawiyah terlalu kuat di wilayah tersebut, bahkan bersama para pengikutnya tidak mengakui khalifah Ali Ibn Abu Thalib kecuali setelah menangkap pembunuh Usman Bin Affan. Ahirnya puncak ketegangan ini membawanya dalam sebuah perang besar bernama perang shiffin. Buku ini menceritakan banyak hal yang dilaukan Ali Ibn Abu Thalib sebagai seorang pemimpin besar umat Islam. Namun sayang dalam menggambarkan sosok Ali, Mustafa Murad banyak melihat dari sisi kepemimpinannya saja ketika Usman Bin Affan wafat. Tentu saja, bagian kehidupan ini merupakan fase yang penting dalam sejarah umat Islam. Kepemimpinan Ali adalah sebuah periode yang krusial dalam menggambarkan, bahkan penulis sendiri pun masih mencoba menggambarkan sebuah peta konflik dalam kondisi yang kontroversial. Sebuah gagasan yang ideal jika seharusnya gambaran tentang Ali diperlihatkan dalam masa sebelum naiknya menjadi seorang khalifah. Walau seperti itu, buku ini pantas dibaca oleh kalangan umum yang mau memahami tokoh sejarah Islam. Bahasa yang digunakan dalam buu ini juga tidak terlalu berat tanpa menghilangkan istilah-istiah penting dalam menuliskan sebuah konsep yang saling menghubungkan. Maka dari itu, buku ini adalah sebuah cara untuk memperkenalkan sosok Ali Ibn Abu Thalib dalam sebuah cerita yang menggambarkan sebuah zaman yang dilalui oleh sang amirul mukminin ke empat ini.

Resensi Buku : Membaca Demak dari Sebuah Novel

Judul : Raden Fatah Penyuting : Daryanto Penerbit : Tiga Kelana Tebal : 470 Halaman Tahun terbit : 2009 =============================================================================
Sejarah bangsa Indonesia adalah sejarah yang saling kait dan mengaitkan. Dalam novel karya Daryanto ini menggambarkan salah satu zaman di Indonesia yakni kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam pertama di tanah Jawa . Demak adalah kerajaan besar yang lahir dari darah bangsawan, hal ini yang masih tetap dipegang oleh Daryanto sebagai penulis untuk mengkaitkan kerajaan Demak sebagai wajah baru setelah kerajaan Majapahit runtuh di akhir abad 15 karena masalah perang saudara dan berkembangnya ajaran Islam di tanah Jawa. Melalui novel ini Daryanto mengajak pembaca untuk melihat secara ringkas kisah kerajaan Demak dari masa awal kelahiran sebagai kerajaan pengganti kerajaan Hindu Majapahit, hingga akhir kerajaan Demak hingga digantikan dengan kerajaan Pajang oleh Jaka Tingkir. Novel ini terdiri dari beberapa sub bab judul untuk memudahkan pembaca dalam membaca runut ceritanya. Pembagian sub bab judulnya juga dibatasi dengan nama yang dilekatkan dalam bentuk periodesasi yakni nama tokoh. Novel ini mencoba menceritakan secara efisien sejarah tentang kerajaan Demak dari masa awal kehadirannya di tahun 1476 sebagai awal Demak yang muncul sebagai bagian dari wilayah kerajaan Majapahit hingga memasuki akhir perkembangan kerajaan Demak tahun 1549. Demak muncul sebagai kerajaan yang tidak hanya melakukan penaklukan terhadap wilayah sekitar di pulau Jawa namun juga dalam penyebaran agama Islam di wilayah tersebut. Kerajaan Demak memang menjadi kerajaan Islam yang istimewah dimana wali sanga sebagai guru dalam penyebaran agama hidup dan ikut dalam pengembangan kerajaan tersebut. Bahkan sosok Sunan Kudus sebagai wali sekaligus sebagai penasihat dalam melakukan peperangan, begitu juga dengan wali lain seperti Sunan Kalijaga. Kehidupan kerajaan Demak dalam novel ini menjelaskan konflik-konflik dalam melakukan perlawanan baik secara fisik maupun dalam pemikiran. Perlawanan kerajaan Demak dilakukan ketika melawan langsung kerajaan Majapahit oleh Sunan Kudus sebagai penasihat perang, kemudian perlawanan Sultan Yunus raja II kerajaan Demak melawan Portugis di Selat Malaka, hingga perseteruan Hadi Wijaya atau Jaka Tingkir menantu Sultan Kerajaan Demak III Sultan Trenggono melawan kakak iparnya Adi Penangsang yang telah membunuh raja IV Demak, Pangeran Prawoto. Namun dalam melihat isi keseluruhan novel sejarah ini, peresensi memiliki beberapa kritikan dalam novel ini, dimana dalam sisi esensi cerita dalam novel ini tidak relevan dengan judul, dimana judul novel fokus pada satu tokoh yakni Sultan Fatah namun isi dalam novel tidak secara total membahas mengenai sosok sultan tersebut sebagai raja pertama kerajaan Demak . Sebaliknya, Daryanto menceitakan secara deskripsi yang panjang dalam membahas pemegang tahta kerajaan Demak dari masa awal Sultan Fatah hingga ke masa ahir kerajaan Demak ditangan Pangeran Prawoto. Selain itu, konflik fisik yang digambarkan dalam novel tentu akan lebih menarik ketika terdapat gambar sebagai ilustrasi dalam menggambarkan sebuah peperangan. Membaca novel ini membutuhkan sisi yang membedakan, bahwa buku ini memang pantas dibaca oleh semua kalangan. Namun dalam membaca kritis tentu mampu membedakan antara fakta yang diimajinasikan dan imajinasi yang digambarkan seolah menjadi fakta. Novel ini juga masih belum koheren dalam menentukan rumusan dalam membaca sejarah kerajaan Demak dalam novel, mungkin jika penulis fokus dalam membahas sultan fatah saja akan memberikan sisi kerajaan Demak yang terfokus, maka membaca novel ini tidak hanya tentang Sultan Fatah melainkan kerajaan Demak . Bergiat di Komunitas Jejak Pena

Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...