Catatan Perjalanan : Nangaba is wonderful





 “Nangaba is wonderful…” begitulah kalimat yang terungkap ketika penulis melakukan hacking di air terjun ini. Air terjun setinggi sekitar 25 meter ini mer upakan wisata alam yang terletak di pedalaman yang jauh dari Kota Ende. Jarak yang jauh serta track jalan yang agak berat toh tidak membuat semua personil guru-guru muda SM-3T yang mengikuti hacking ini merasa menyesal. Sebaliknya rona-rona kepuasan akan perjalanan ini terpancar. Entah berapa jepretan dari berbagai kamera berhasil mendokumentasikan perjalanan serta air terjun ini. Daya tarik dari Nangaba ini memang bukan sekedar isapan jempol saja. Beruntung rasanya bisa sampai di wisata alam yang terletak di flores ini.


Perjalanan ini merupakan perjalanan liburan yang dilakukan oleh penulis bersama guru muda SM-3T asal Jogjakarta UNY. Pemilihan Nangaba merupakan pemilihan yang berawal dari penuturan rekan guru muda SM-3T lainnya yang pernah berkunjung ke air terjun tersebut. Nangaba yang merupakan air terjun alami dan baru dikenal juga penulis dengar dari warga sekitar. Menurutnya air terjun ini dulunya tidak pernah ada yang tahu, bahkan hanya segelintir orang desa saja yang kebetulan mencari kayu atau berburu sampai di air terjun ini. Namun sekarang air terjun ini menjadi daya tarik wisatawan baik dalam negeri maupun luar negeri. 


Untuk mencapai air terjun Nangaba dimulai dari basecamp UNY di jalan Ujung Aspal. Ketika matahari menunjukan waktu 07.00 WITA, rombongan yang berjumlah belasan guru muda SM-3T ini bersiap untuk segera berangkat. Melewati pasar Kota Ende terlebih dahulu beberapa diantaranya sarapan dan menyiapkan bekal. Perjalanan menuju ke air terjun Nangaba ini disepakati melalui jalan lintas alam. Artinya wisata alam ini akan dilakukan dengan track ala hacking. Oleh karena itu stamina menjadi kebutuhan utama agar mampu menjalani track hacking yang lumayan berat. Usai sarapan rombongan ini mencari angkutan umum arah kecamatan nangapanda. Dengan modal ongkos sekitar 5000 rupiah akhirnya perjalanan ke air terjun Nangaba siap dimulai. 


Rute untuk mencapai air terjun Nangaba ini dapat dilalui dengan dua jalan, pertama melalui jalan pedesaan yang bisa dilalui dengan motor maupun mobil. Perjalanan ini nantinya akan berhenti di dusun Woloora, desa Tonggopapa, kecamatan Ende. Setelah itu perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju ke bawah dengan berjalan kaki. Untuk waktu yang dihabiskan jika dimulai dari Kota Ende hingga di air terjun Nangaba ini sekitar 1,5 jam atau 2 jam. Jalan kedua untuk mencapai air terjun Nangaba ini dapat juga dilakukan dengan jalan kaki. Sama halnya yang penulis bersama guru muda SM-3T lakukan ini. Usai menaiki angkutan umum ini penulis bersama rombongan berhenti di simpang masuk di jalan raya. 


Perjalanan yang dicapai dengan jalan kaki ini setidaknya melewati perumahan warga desa. Ketika melewati batas akhir perkampungan entah kenapa ada jasa seorang pemuda yang menawarkan diri untuk mengantar ke air terjun tersebut. Pada awalnya kami menolak namun agaknya memang si pemuda tadi hendak memberikan jasa bantuan tersebut tanpa bayaran. Walaupun pada akhirnya kami sekedar memberikannya beberapa cemilan serta uang beberapa ribu rupiah. Perjalanan usai melewati batas akhir perkampungan dilalui dengan jalan mengikuti alur sungai yang terkadang menanjak serta semak belukar. Jika jalan pertama menghabiskan waktu sekitar dua jam maka perjalanan dengan cara hacking ini membutuhkan waktu yang lebih lama yakni hampir empat jam perjalanan. Air terjun yang terletak di alam ini juga saat itu belum memiliki retribusi yang ditentukan oleh pemerintah setempat. Maka dari itu perjalanan ini memang tetap membutuhkan biaya namun biaya untuk pribadi. Jika dilihat perjalanan ini memang penulis agaknya memberikan saran bahwa Nangaba yang merupakan wisata alami ini perlu mendapat perhatian pemerintah dengan perbaikan jalan atau peningkatan lokasi seba gai lokasi hacking yang nyaman serta menarik pengunjung

 
. *** 



Wisata alam ala hacking ini tidak hanya melalui jalan yang lebih panjang dan berliku namun juga pemandangan alam yang tersaji ketika hendak menuju ke air terjun tersebut. Lintasan-lintasan alam berupa batu-batuan yang besar serta genangan air yang tenang menjadi view yang menarik bagi penulis pribadi dan rombongan lainnya. beberapa kali kami juga harus menyebrang melalui jembatan berupa polongan air maupun batu yang sulit untuk di seberangi. Tips memang untuk melakukan hacking ini adalah sebaiknya mengenakan pakaian yang simple serta makanan yang cukup sebagai bekal karena ketika berada di air terjun tersebut tidak ada toko makanan maupun minuman secara bebas dan legal. 
Sekitar pukul 11.00 WITA akhirnya perjalanan ini sampai di puncak keindahan yakni air terjun Nangaba . Ketinggian serta lebar air terjun ini memang menjadikan air terjun ini berbeda dengan lainnnya. Bahkan dalam bahasan artikel yang pernah penulis baca bahwa debit air ini tidak menurun walaupun kondisi alam sekitar ende sedang mengalami musim kemarau. Curah air inilah yang mungkin dimamfaatkan oleh warga sekitar untuk membangun polongan besi yang berisi air guna mencukupi kebutuhan air di sekitar. Ketika musim kemarau memang kebutuhan akan air menjadi hal utama untuk didapatkan. 


Geliat air terjun yang deras dengan airnya serta peluh keringat yang hinggap membuat rasa ingin segera merasakan kesejukan air tersebut. Tidak butuh lama dan aba-aba ketika masing-masing dari rombongan mulai mencoba dingin dan sejuknya air terjun tersebut. Pada awalnya berenang yang dilakukan dengan cara melewati batas tepi, namun melihat tebing datar dan menanjak di sekitar air terjun mereka mencoba dengan gaya lainnya yakni melompati dari batas normal ketinggian. Hasilnya wah hasil jepretan maupun rasa bagi yang mencoba cukup seru.
Waktu terus beranjak menunjukan hari yang semakin siang. Kami hanya berenang sejenak sebelum akhirnya menunaikan Salat Zuhur dan makan siang. Setelah itu aktivitas berenang dilanjutkan. Ibarat kesempatan mungkin ini adalah kesempatan yang didapatkan sekali, khususnya penulis yang terbiasa dengan wilayah pesisir pantai kampung aewora ini. Oleh karena itu tanpa ba-bi-bu kami mulai menikmati keindahan alam Nangaba dengan berenang di terjun ini. Airnya memang sangat dingin, sesuai dengan kondisi alam yang epkat dengan hutan, letak ketinggian yang tidak terlalu dalam jadi memudahkan bagi pengunjung untuk berenang ke tempat ini. Dalam perjalanan ini penulis dan rombongan tidak hanya ditemani oleh rombongan itu sendiri namun juga rombongan lain yakni sebuah keluarga yang sengaja singgah ke air terjun ini. Rupanya sedari dulu mereka hendak ke sini namun ketika masa libur lebaran akhirnya mereka sampai di sini. Sedikit salam kenal dan foto-foto akhirnya. Perkenalan yang singkat ini juga membawa kami pada kesimpulan yang sama yakni tertarik datang karena adanya cerita berupa pengalaman sebelumnya.
*** 

Rombongan kembali berkemas usai berenang dan makan siang. Bersiap untuk kembali ke Kota Ende melanjutkan aktivitas yang akan segera dilakukan. Jika pada awal pergi datang dengan jalan hacking ini maka lain halnya dengan pulang rombongan hacking ini pulang dengan jalan kedua. Jalan ini tidak terlalu sulit hanya sedikit menanjak dan tiba di perkampungan warga. Tidak butuh waktu lama sebuah mobil proyek melintas di depan kami. Dengan kebaikan dari si pemilik mobil kami pun beranjak meninggalkan titik tempat air terjun itu. Kepuasan terlihat di wajah kami. Penulis pun berharap ada waktu lain yang bisa membawa penulis kembali ke tempat ini. Semoga, 

Jepretan kamera




Jepretan kamera


Jepretan kamera


Jepretan kamera




Jepretan kamera



Catatan Perjalanan : Kali terakhir: Berkunjung ke kota religius



Jalanan ini begitu panas menyengat, entah berapa kali aku harus menyeka keringat yang bercucuran sambil mencari tukang tambal ban….”



Langkah pertamaku tidak mulus ketika memulai perjalanan menuju ke Flores Timur yakni Larantuka. Ketika baru beberapa Km keluar dari Kota Maumere perjalanan panjang ini harus terhambat dengan pecahnya benen ban motor yang kendarai. Alhasil selama sejam kurang masih harus mencari tukang tambal ban dan mengganti benen ban yang pecah tersebut. Memang sangat resiko jika harus menambal benen dengan rute perjalanan yang masih panjang.  
Larantuka aku tidak mengenal dekat dengan daerah tersebut. Namun yang jelas daerah ini  merupakan kabupaten yang terletak di pulau flores di bagian timur. Untuk mencapai Larantuka setidaknya membutuhkan waktu normal sekitar empat hingga lima jam perjalanan. Jika melihat rute perjalanan kali ini terlihat ada perbedaan, dimana perjalanan menuju ke Larantuka lebih nyaman dibanding dengan track jalan di daerah flores lainnya. Track jalan menuju ke Larantuka ini tidak terlalu berbelok maupun menanjak. Sebalikya jalanan aspal yang melebar serta lurus menjadikan perjalanan ini bisa dilalui dengan nyaman.

 Adapun perjalanan kali ini penulis lakukan bersama beberapa orang yakni aku, Intari, Romi, serta Risa. Larantuka merupakan ikon wisata agama di flores ini. Untuk satu waktu yakni bulan April Larantuka menjadi ikon wisata rohani yang bertaraf international. Perayaan samanta santa adalah perayaan tahunan yang diadakan di wilayah timur flores ini. Ribuan orang datang berduyun-duyun ke tempat ini untuk menyaksikan secara langsung ritual keagamaan Katholik.




Lain halnya jika berkunjung di luar hari tersebut penulis bersama rekan-rekan melihat bahwa kota Larantuka ini   sepi dengan ikon wisata layaknya di wilayah flores lainnya. namun ini hanya sebatas Larantuka saja, ketika ada kesempatan untuk melewati atau menyebrang dari Larantuka ke Lembata atau Alor dan pulau-pulau lainnya kita akan melihat ikon wisata dunia yang hanya ada di Flores Timur. Namun penulis tidak sempat menyinggahi pulau-pulau tersebut karena keterbatasan akan waktu serta dana. Maka tema yang penulis ambil ketika melakukan perjalanan ke Larantuka adalah last touring. Bagi penulis perjalanan Larantuka adalah bagian dari obsesi  menjelajahi daratan flores yang terbayar ketika berada di kabupaten tersebut pada awal Agustus 2014.

***
Perjalanan ini dimulai dari Kampung Aewora yang indah (bisa dilihat di http://priedn.blogspot.com/2014/07/catatan-perjalanan-kampungaewora.html.) Perjalanan ditempuh dengan menggunakan sepeda motor. Rute yang dilalui adalah Kampung Aewora-Kota Baru-Maumere-Larantuka. Perjalanan ini membutuhkan waktu normal sekitar 5 jam perjalanan dengan kecepatan normal. Saya yang menggunakan motor mio sewaan berangkat sekitar jam 09.00 WITA. Perjalanan ini penulis lakukan juga dengan rekan lain yang melakukan touring Larantuka dengan rute jalan yang berbeda yakni Kota Ende-Moni-Wolowaru-Maumere-Larantuka.
Dalam perjalanan ini sedikit terhambat ketika penulis harus melakukan servis motor terlebih dahulu dan peristiwa ban pecah. Servis motor ini sebenarnya dilakukan untuk menjaga kestabilan motor yang dipakai. Persiapan seperti ini memang sangat kecil dan kadang dilupakan namun jika melihat dampak positifnya tentu hal ini akan sangat berguna. Perjalanan panjang ke Larantuka tentu tidak hanya mengandalkan fisik yang kuat namun juga kondisi motor yang fit.
***


Ka foto dima lai ko kawan (mau foto dimana lagi kawan?)”
Perjalanan ke Larantuka berakhir jam 16.00 WITA. Perjalanan ini disambut oleh Romi yang telah terlebih dahulu sampai di Larantuka. Udara yang menghangat kurasakan menjadi sambutan atas kedatangan kami. Sejak kedatangan ini entah berapa kali jepretan demi jepretan kami lakukan untuk mengabadikan moment di Larantuka ini.



Larantuka yang terhampar dengan keindahan alam yang menawan. Sebagai wilayah yang terletak di ujung pulau timur ini,  penulis melihat hamparan pulau-pulau yang terpisah dengan Larantuka. Entah apa nama pulau tersebut, namun aku ingin ke sana, mungkin suatu ketika nanti. Barisan bukit yang kokoh menandai keindahan akan larantuka ini, tidak ketinggalan Gunung Ayah Ibu, Lewotobi menambah destinasi keindahan alam yang terlihat dari jauh. Ketika menelusuri jalanan masuk kota ini, ungkapan bahwa kota Larantuka adalah kota religius memang bukan sekedar nama saja. Dimana setiap sudut kota terlihat simbol agama yang berdiri dengan kokohnya. Walau seperti itu keberadaan masjid masih dapat ditemukan di tengah kota ini. Dimana masjid  tersebut terletak di perumahan muslim.  Selain itu, tatanan kota ini juga menarik dengan jalanan serta pertokoan yang rapi. Namun sekali lagi udara memang terlihat panas di kota ini layaknya kota lainnya yang ada di pulau flores ini.
Kota kecil yang merapat dengan banyaknya bangunan menjadikan jalanan ini dibuat dengan sistem satu arah. Tidak perlu khawatir karena sistem jalan di kota ini tidak terlalu rumit. Kota yang padat namun tidak terlalu luas memudahkan untuk memahami jalanan di kota ini. 

Adapun dalam mengambil gambar yang hendak di jadikan objek dapat dilalukan di berbagai sudut kota yang merupakan kota pesisir pantai. Objek tersebut diantaranya, Pertama pembatas jalan sebelum memasuki kota Larantuka. View yang dapat dilihat dari pembatas jalan ini adalah pulau-pulau kecil yang terdapat di sekitar Larantuka. Pemandangan laut yang membiru menjadi nilai tambah dalam melihat keindahan yang terdapat di pembatas jalan ini. Kedua, taman rohani Katholik yang terletak di pinggiran kota Larantuka. Adapun objek yang terlihat di taman ini adalah sebuah simbol agama Katholik yang dibuat dengan gaya artsitektur yang menarik.
***



Touring selesai ketika puas berada di kota Larantuka ini walau hanya sejenak. Dalam perjalanan kembali ke Aewora penulis singgah di sebuah jalanan yang terletak di pesisir wilayah Kabupaten Maumere. Dalam perjalanan singgah ini penulis bersama Intari menghabiskan waktu untuk memamfaatkan moment dengan mengambil beberapa gambar. Hasilnya menajubkan.  

 JEPRET 1




JEPRET 2



 JEPRET 3





JEPRET 4


JEPRET 5   
 

Catatan Perjalanan : Setapak menujuh Kampung adat Wae Rebo

“Selamat siang..” sapaan hangat dari masyarakat asli Wae Rebo ketika penulis bertemu mereka di jalan setapak ini.
 “Selamat siang juga bapa, mama, “ujarku membalas sapaan mereka sembari ikut mengulurkan tangan ketika mereka hendak menjabat tanganku ini.
Hal diatas adalah peristiwa yang lumrah namun mengesankan ketika penulis bersama Intari melakukan perjalanan dengan jalan kaki menuju Kampung adat Wae Rebo. Melalui batas awal dari kampung denge sebagai kampung terakhir yang bisa menggunakan motor maka rute selanjutnya adalah berjalan kaki. Pendakian yang tidak terlalu menanjak namun terus menerus ini menjadi pengalaman yang baru bagi penulis dan Intari berada di sini. Jalanan yang dilewati ini setidaknya menjadi uji nyali bagi penikmat alam yang jauh dari hingar-bingar keramaian kota.
Tulisan ini menuliskan rute pendakian yang penulis lakukan untuk mencapai Kampung adat Wae Rebo. Sebuah kampung yang menjadi magnet karena karakteristik kampung tersebut mampu bertahan hingga saat ini. Penghargaan yang didapatkan sebagai bagian dari warisan budaya dunia oleh UNESCO tahun 2012 menjadi bukti bahwa Kampung adat Wae Rebo merupakan bagian dari budaya bangsa yang mendunia. Tidak hanya wisatawan lokal yang sengaja untuk melihat Kampung adat Wae Rebo namun juga turis-turis asing dari berbagai belahan dunia datang dan singgah menikmati kekayaan alam dari Kampung adat Wae Rebo ini. Maka wajar kiranya Kampung adat Wae Rebo yang terletak di Manggarai Barat menjadi destinasi wisata yang terus menarik minat wisatawan, dan salah satu ikon yang patut dipilih selama di Flores ini.
Pendakian menuju Kampung adat Wae Rebo ini setidaknya akan melewati sungai serta perbukitan yang memiliki alur sebagai jalan setapak utama. Alur inilah yang digunakan oleh masyarakat sekitar untuk mengangkut bahan ke desa Denge untuk dijual maupun masyarakat yang membawa bahan makanan untuk dibawa ke Kampung adat Wae Rebo. Jalannan ini juga yang digunakan oleh wisatawan untuk berkunjung ke Kampung adat Wae Rebo. Maka wajar kiranya daam perjalanan wisatawan dan masyarakat bertemu untuk sekedar tegur sapa.
Pendakian untuk menuju Kampung adat Wae Rebo membutuhkan waktu normal sekitar 4-5 jam perjalanan. Namun bagi masyarakat asli waktu ini tentu akan terlalu lama karena mereka biasa mendaki dengan lebih cepat. Pada rute awal yakni dari desa denge usai menitipkan motor di rumah bapak blasius kami melakukan pendakian pada jam 06.30 WITA. Tidak hanya kami berdua, namun juga teradapat beberapa wisatawan asing dan domestik yang telah berjalan terlebih dahulu. Usai negosiasi tentang jalan pendakian dan porter kami akhirnya memilih untuk tidak menggunakan jasa porter yang dikenakan biaya 100.000 per hari ini. “biar hemat dikit” ujarku. Perjalanan panjang dari ende ke manggarai barat ini lumayan mengeluarkan ongkos yang besar untuk ukuran kantong Backpacker Sekalian seperti penulis ini.
Setidaknya dalam alur perjalanan ini dari batas kampung denge, perjalanan yang melalui jalan setapak belum terlalu mendaki,hingga batas sungai pertama. Kondisi jalan yang agak becek membuat kaki harus berhati-hati akan melangkah. Selain itu, binatang penghisap darah terkadang muncul walau tidak terlalu banyak. Maka dari itu pakaian yang hendak dipakai usahakan celana panjang dan baju panjang. Namun penulis tidak merekomendasikan kepada pengunjung ketika dalam perjalanan ini menggunakan baju yang berlapis atau tebal. Memang suhu udara dingin ketika berada di Denge maupun Kampung adat Wae Rebo namun dalam perjalanan kaki ini akan membuat badan terasa agak hangat bahkan berkeringat.
Titik pertama dari denge perjalanan setapak ini akan berhenti di waelembu, sebuah titik pemberhentian setelah melewati lintasan sungai yang kedua. Pada titik ini biasanya pengunjung beristirahat sembari melihat pemandangan alam hutan yang tertutup. Selain itu, tanda baca berupa pesan dari masyarakat Wea Rebo menjadi bahan bacaan selama pemberhetian ini. Salah satu pesan yang tertulis dari spanduk ini adalah permintaan kepada pengunjung untuk menjaga etika selama di alam liar seperti tidak membuang sampah sembarang tempat maupun berteriak-teriak tanpa alasan yang jelas. Sebuah pesan yang menjadi kearifan lokal di alam yang jauh dari keramaian. Penulis yang mengenakan baju hitam pendek serta celana training berbahan kain tipis seperti dasar payung sesekali menyeka keringat yang sudah mulai bercucuran. Sedangkan intari yang mengenakan kaos hitam ala jogja serta training juga merasakan hal yang sama. Usai beristirahat sejenak serta minum air seperlunya perjalanan dilakukan lagi. Kali ini rute waelembu menujuh ke Pocoroko agak terjal. Kondisi jalan yang terus naik ke atas serta babatuan bekas longsor membuat kami harus berhati-hati. Bahkan sesampai di jalanan ini kami bertemu dengan wisatawan yang mulai merasa kelelahan bersama porter yang sengaja mereka sewa untuk mengangkut beban tas yang cukup berat untuk dibawa ke Kampung adat Wae Rebo. Perjalanan yang ditemani dengan suara burung menjadi musik tersendiri yang nyaring terdengar. Hutan lebat yang membuat mata ini terbatas untuk memandang semakin terasa pekat ketika kabut putih mulai menyelimuti. Tidak ada hal yang mengusik keamanan selama perjalanan ini. Walaupun kondisi jalanan yang agak licin dan terjal namun langkah kaki tidak terbawa jatuh bahkan terpeleset. Maka penulis merekomendasikan bagi pengunjung yang hendak naik ke Kampung adat Wae Rebo hendaknya menggunakan sepatu atau sandal yang bisa nyaman untuk melakukan pendakian agar kaki tidak terasa pegal atau terpeleset. ***
Akhirnya perjalanan ini membawa kami ke Pocoroko. Tempat pemberhentian kedua, usai waelembu. Pada titik inilah biasanya masyarakat sekitar menggunkan jasa komunikasi dengan nyaman. Pada titik kampung Denge maupun Longos hingga Kampung adat Wae Rebo tidak terdapat jaringan untuk berkomunikasi. Jika masyarakat denge harus ke tepian pantai di perkampungan muslim dintor maka masyarakat Kampung adat Wae Rebo harus berjalan menujuh ke Pocoroko. Namun dalam perjalanan ini penulis dan intari tidak dapat menikmati romantisme sinyal tersebut, adanya akibat kabut tebal membuat jaringan ini agak terhambat. Melewati Pocoroko ini sebenarnya tidak terlalu jauh. Hanya sedikit pendakian dan penurunan menuju Kampung adat Wae Rebo. Selain itu, batas ukuran perjalanan juga sudah diukur dalam papan kecil yang sengaja ditulis dan ditanam di sekitar jalan setapak ini. Hal ini cukup membantu bagi pengunjung untuk segera sampai ke Kampung adat Wae Rebo. Penulis pun yang ikut terbantu setidaknya bisa mengatur ritme langkah untuk segera sampai di Kampung adat Wae Rebo tersebut. Dalam perjalanan ini penulis sesekali berhenti di papan penunjuk tersebut guna menuliskan kembali angkah yang telah hilang di papan. Tulisan yang ditulis rupanya terlepas dan hilang oleh karena itu berbekal spidol permanen tulisan itu kembali penulis ukir dalam tintah hitam. ***
Perjalanan yang membutuhkan waktu 4 jam ini kami lewati sekitar 3 jam perjalanan. Proses perjalanan yang terus jalan karena tidak inap di Kampung adat Wae Rebo membuat perjalanan ini harus dipercepat. Usai membunyikan tanda masuk pengunjung di sebuah rumah sebagai gerbang masuk penulis menuruni jalan menuju Kampung adat Wae Rebo. Perjalanan panjang ini akhirnya berakhir ketika mata ini memandang sendiri puncak-puncak Kampung adat Wae Rebo ini. Masyarakat yang tersenyum ramah menjadikan titik sambutan yang mereka lakukan kepada setiap pengunjung. Alam Kampung adat Wae Rebo memang indah, seperti dalam cerita maupun dalam tulisan orang-orang hebat yang pernah singgah di Kampung adat Wae Rebo ini. Waktu yang seolah tidak cukup dan terlalu cepat memaksa langkah kaki penulis untuk segera turun kembali denge. Perjalanan panjang terbayar usai langsung berinteraksi dengan masyarakat Kampung adat Wae Rebo dan utamanya alam Wae Rebo itu sendiri. jepretan kamera dalam bingkai gambar maupun video menjadi kenangan yang tidak terlupakan. * **
Untuk mencapai Kampung adat Wae Rebo memang sangat jauh. Penulis yang melakukan aksi Backpacker Sekalian dari Kecamatan Maurole (Ende) menuju ke Manggarai Barat memang membutuhkan waktu yang agak lama. Maka salah satu pilihan singgah dalam perjalanan ini dan memudahkan adalah penerimaan yang baik dari teman-teman Guru Muda SM-3T asal UNRI. Tema Backpacker Sekalian yang merupakan saling kunjung ini, juga sekalian untuk berwisata namun mana yang lebih dominan maka penulis ingin menyeimbangkannya. Kebaikan teman-teman Guru Muda SM-3T asal UNRI yang memberikan tempat untuk sekedar beristirahat setidaknya menjadi pengalaman bagi penulis yang melakukan perjalanan jauh ke Ruteng ini. Trims teman-teman sesama Guru Muda SM-3T…

Catatan Perjalanan : Wae Rebo, kampung alam yang diselimuti awan

“what do you think about Wae Rebo?”
“Very nice, I like it”
 Percakapan itu merupakan bagian dari percakapan ala kadarnya penulis kepada Quentin dan Remi, dua turis asing asal negara Perancis yang berkunjung ke Kampung adat Wae Rebo Sabtu, (28/7). Tidak hanya dua turis asing ini namun juga banyak wisatawan dalam negeri yang menyempatkan diri untuk melihat secara langsung perkampungan yang terletak di atas pegunungan yang tinggi ini. Sama halnya dengan Quentin dan Remi, penulis pun yang melakukan perjalanan panjang demi melihat lekukan-lekukan rumah adat yang menjulang tinggi ke atas. Selain itu, nilai lebih dari kampung adat Wae Rebo adalah kemampuannya dalam menjaga eksistensi dirinya untuk bertahan hingga detik saat ini. Wajar kiranya Wae Rebo menjadi menu wajib yang harus dikunjungi oleh wisatawan ketika menginjakkan kakinya di pulau Flores ini.
Jam tangan penulis menunjukan waktu 09.30 WITA, ketika aku berada di kampung adat itu. Perjalanan selama 3 jam terbayar ketika mata ini memandang deretan jerami yang menjulang tinggi. Perjalanan ini bukan hanya perjalanan yang dilewati dengan menit atau jam melainkan waktu yang cukup panjang. Perjalanan yang penulis lakukan bersama rekan SM-3T Intari Nur Faisah merupakan perjalanan lintas kabupaten, yakni Kabupaten Ende, Nagekeo, Ngada, Manggarai Timur, hingga ujung barat Flores Manggarai Barat. Perjalanan yang menggunakan kendaraan bermotor ini memberikan efek touring yang panjang. Pencapaian menuju ke Wae Rebo adalah sebuah angan yang dipupuk hingga titik ini. Wae Rebo yang didaualat sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO tahun 2012 tentu menjadi sebuah ikon yang menarik hati bagi banyak kalangan,khususnya wisatawan asing. Blasius pemilik penginapan yang juga putra asli dari kampung Wae Reb yang menetap di desa Denge mengatakan hal serupa bahwa Wae Rebo menjadi sebuah magnet bagi banyak wisatawan. “Setidaknya setiap hari memang ada saja wisatawan domestik maupun luar negeri yang sengaja datang ke Wae Rebo “ ujar bapak yang memiliki empat orang anak ini.
Maka ketika bicara tentang Wae Rebo mindset yang muncul dari Wae Rebo adalah sebuah kampung dan pegunungan. Kampung ini berdiri secara terpisah dari pemukiman penduduk biasanya yakni di Denge maupun di kampung Longos (titik terdekat perkampungan pada umunya). Secara administrasi Wae Rebo adalah bagian dari Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai Barat. Kehidupan yang terjalin di kampung Wae Rebo tidak ubahnya seperti aktivitas masyarakat pada umumnya. Masyarakat hidup sebagai petani, kopi, jeruk, sayuran, dan aktivitas lain guna menyambung hidup. Namun hal yang menarik dari Wae Rebo menurut penulis adalah cara bertahan masyarakat untuk tetap hidup diketinggian 1100 Mdpl atau sekitar 9 km dari perkampungan di Denge. Wajar kiranya Wae Rebo yang bertahan mampu menjadi magnet bagi wisatawan untuk melihat bagaimana penduduk Wae Rebo tersebut bertahan.
Penulis adalah salah satu mata manusia yang ingin melihat langsung penduduk Wae Rebo dan perkampungan tersebut tetap hidup. Perjalanan yang dimulai dari lokasi penempatan SM-3T yakni Kecamatan Maurole menjadi titik pertama perjalanan panjang ini dimulai. Memang untuk mencapai kampung Wae Rebo ini pengunjung bisa melakukannya dengan kendaraan bermotor maupun mobil. Tentu saja hal ini memiliki perbedaan yang sangat kontras dilihat dari sisi kenyamanan maupun efektifitas waktu yang dimiliki. Penulis yang melakukan perjalanan bersama Intari membutuhkan waktu dua hari untuk mencapai Wae Rebo. Rute tersebut meliputi Kecamatan Maurole-Detusoko-Kota Ende-Nangapenda-jalan lintas Nagakeo-Boawae-Ngada-jalan lintas Ruteng-Borong-Ruteng-jalan lintas Labuhan Bajo-Kecamatan Satarmese Barat-Kampung Dintor-dan berakhir di kampung Denge. ****
“Tung..tung” suara bunyi lonceng aku pukul dengan agak keras. Getaran suara yang berasal dari bambu ini adalah sebuah keharusan yang harus dilakukan oleh setiap pengunjung sebelum menjejakan kaki ke Wae Rebo. Tanda berupa lonceng inilah yang akan menjadi sebuah tanda akan adanya persiapan yang dilakukan oleh masyarakat Wae Rebo yang biasa bertugas menyambut tamu yang datang ke kampungnya tersebut. Selain itu, setiap pengnjung yang telah memasuki kampung Wae Rebo harus mematuhi segala aturan yang masih dijaga di kampung tersebut. Salah satu yang harus dilakukan adalah menjaga etika selama di kampung tersebut. “Nanti sebelum melakukan upacara adat, jangan foto-foto dulu kalo gak mau kameranya rusak” tutur Agus Kuncoro, sesama penikmat kampung Wae Rebo yang saat ini sedang melakukan syuting jejak petualangan Trans TV. Sikap saling mengingatkan Agus ini juga merupakan bagian dari saling menyambung lidah dari masyarakat Wae Rebo yang terkadang kesulitan dalam berkomunikasi bahasa indonesia secara komunikatif. Penulis yang mengiyakan mencoba memahami hal tersebut sebagai bagian dari kearifan lokal yang harus dihormati tanpa harus dianggap sebagai ancaman. ***
Untuk kali pertama penulis menjejakan kaki di kampung adat yang menjadi warisan dunia ini. Setelah membunyikan bel berupa ketukan berulang dari sebuah bambu langkah selanjutnya penulis bersama wisatawan yang baru tiba harus mengikuti upacara sederhana dari rumah adat utama atau yang disebut wealue. Upacara sederhana ini dipimpin oleh pimpinan adat yang megucapkan beberapa kalimat dalam bahasa Manggarai yang asing terdengar. Konon bahasa yang diucapkan sebagai bagian dari budaya ini mengatakan bahwa si ketua adat memohon kepada leluhur untuk memberikan izin kepada penulis bersama pengunjung lainnya selama berada di Wae Rebo . Usai membayar biaya masuk berupaa biaya upacara sederhana 20.000 per kelompok dan 100.000 rupiah per orang maka dimulailah proses menikmati kampung adat Wae Rebo. Kampung ini penuh dengan gumpalan awan putih yang berada di sekitar perkampungan. Atap rumah adat yang menjulang tinggi terlihat kokoh berdiri menahan beban yang ada dalam rumah tersebut. Rumah yang dibangun dengan kesederhanaan ini setidaknya menjadi bagian dari budaya yang tidak bisa dihilangkan hingga saat ini.
Suasana perkampungan Wae Rebo yang cukup ramai karena musim libur sekolah. Oleha karena itu, anak-anak mereka yang telah libur kembali ke Wae Rebo untuk sekedar membantu orang tua mereka atau untuk berlibur di Wae Rebo. Selaian itu tebaran kopi terlihat berjajar di depan halaman rumah yang sederhana itu. Kopi adalah maskot dari Wae Rebo, dimana rasa kopi dari kampung ini memiliki rassa yang kha bagi penikmat kopi. Maka biasanya pengunjung yang hendak pulang kembali ke asalnya mereka akan membeli kopi maupun kain asli Wae Rebo yang dijual dengan harga yang bervariasi. Jika kopi dijual dengan harga sekitar 35.000 rupiah hingga-50.000 rupiah per bungkunya. Edangkan kain mencapai harga ratusan ribu rupiah. Penulis akhirnya menjatuhkan pilihan kepada kopi saja untuk dibeli dan segera dinikmati sesampainya di rumah. ***
Waktu memang berjalan cepat ketika kita merasakan nyaman, begitu halnya ketika undangan makan siang dari ketua adat kepada penulis dan pengnjung lainnya. jika jam tangan tadi menunjukan waktu 09.30 WITA kini jam tangan ku menunjukan waktu 12.00 Wita. Usai makan bersama dengan makanan berupa nasi yang ditambah sayur dan ambal cabe yang teramat pedas maka kini saatnya penulis bersiap untuk beranjak pulang. Sebuah pilihan memang bagi pengunjung yang hendak memilih menginap atau tidak selama di Wae Rebo. Namun karena penulis memiliki jadwal lain yang harus dilakukan maka perjalanan di Wae Rebo cukup eharian aja tanpa inap semalam. Bagi pengunjung yang hendak inap semalam di Wae Rebo akan dikenakan biaya inap ekitar 250.000 per orang. Berpamitan kepada ketua adat seraya mengucapkan terimah kasih untuk suguhan tersebut. Penulis kembali menikmati sejenak aroma Wae Rebo yang dilihat dengan mata telanjang tanpa bidikan kamera. Senyum keramahan penduduk, udara yang dingin, rumah-rumah yang dibangun kokoh, serta aturan yang dibuat menjadi bagian dari khas Wae Rebo yang memang harus diletarikan hingga saat ini. Jejak kaki ku dengan Intari kini kemabli berada di ata kampung Wae Rebo. Walaupun jam tangan menunjukan waktu siang namun cuaca kampung Wae Rebo masih dingin, bahkan tertutup oleh kabut yang berjalan menutupinya sejenak dan perlahan.
                                              ***
“ Syukurlah jika sudah sampai, dan terima kasih ya untuk kedatangannya ke Wae Rebo” sebuah pean pendek ku baca pelan. Rupanya pesan yang baru terkirim langsung dibalas oleh bapa Blasius. Dalam komunikasi tulisan ini, orang asli Wae Rebo ini juga menawarkan penginapan di Denge bagi pengunjung yang kemalaman atau datang di sore hari dengan tarif inap 175.000 per orang. Biaya ini termasuk makan dan minum selama di rumahnya yang ia sulap menjadi home stay yang nyaman bagi pengunjung yang datang berkunjung ke Wae Rebo. Keramahan ini juga penulis dapatkan dikediaman Ibu Veronika, warga kampung Denge yang menawarkan pelepas dahaga berupa kelapa muda. Kebaikan ini merupakan kenyamanan yang dirasakan penulis dan berkesan selama perjalanan menuju Wae Rebo. “Padahal kita tadinya ingin tanya arah jalan doank, namun malah dapat minum serta ngobrol yang menyenangkan” tutur Intari setelah berpamitan dari kediaman ibu etus atau ibu veronika ini.

Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...