catatan perjalanan : Semalam di Marapi



Begitu banyak hal yang tak sudah kala ku bersamamu..
Satu malam, waktu yang tak pernah cukup…


Usai menjelajah alam Singgalang awal bulan Agustus lalu, kembali aku melanjutkan track pendakian ke Gunung Marapi. Gunung api yang berhadapan langsung dengan Gunung Singgalang. Semua berlangsung singkat saja, semua demi moment kemerdekaan, dan aku demi sebuah kenangan. Perjalananku tidak lagi bersama rombongan Singgalang lalu namun dengan rombongan dari satu angkatan Pendidikan Profesi Guru-Universitas Negeri Padang (PPG-UNP). Tekad untuk mengibarkan bendera merah putih di ketinggian 2891 MDpl membawa Aku, Febi, Hamdi, Romi, Frans, Devi, Yopi, Fitri, Anggi, dan Lia melakukan pendakian. Perjalanan yang dimulai sejak tanggal 15 Agustus ini hanya bisa aku lalui semalam saja.
***
Beko di ateh kan ado upacara (nanti di atas kan ada upacara)“ tutur seorang bapak yang kini beralih profesi dari petani menjadi juru parkir Gunung Merapi.
Sambil mengatur puluhan motor para pendaki yang masuk juru parkir dengan jaket hitam lusuh itu bercerita lepas tentang marapi hari ini, entah kepadaku atau kepada orang lain yang serupa denganku yakni bertanya. Rapatnya parkiran motor di area stasiun TV nasional swasta Kota Baru-Padang Panjang setidaknya menjadi tanda kalau pendakian menuju ke Gunung Marapi mencapai ribuan. Sayang lelaki paruh baya itu tidak tahu menahu jumlah pasti pendaki yang naik ke Marapi hingga sore tanggal 15 Agustus itu.
yang jaleh banyak lha yang naiak (yang jelas banyak lah yang naik)”. Tuturnya polos,
 Usai membayar registrasi berupa biaya masuk sebanyak 12.500 dan parkir 10.000 per motor kami memulai bersiap perjalanan.
Sekilas sebelum memulai jalan kaki ini, perjalanan ini sendiri ditempuh dengan menggunakan sepeda motor dari titik start kota Padang sejak pukul 13.45 WIB. Perjalanan membutuhkan selama 2,5 jam. Sesampainya di Padang Panjang kami bergegas bergerak ke pos pelaporan pendakian. Alhasil perjalanan ini dimulai sekitar sore yang akan meninggalkan matahari. Usai lapor diri kami beristirahat di pintu rimba guna melaksanakan salat Magrib berjamaah, romi selaku imam membawa kami untuk menjama’ dengan Salat Isya sekalian.
***
Dalam perjalanan pendakian ini aku tersenyum geli, seolah berkhayal imajiner. Andai saja sosok seperti Gie masih hidup, tentu ia akan senang bahwa banyak orang yang menjadikan gunung sebagai tempatnya keheningan dan ketenangan. Padahal di masa lampau mendaki gunung adalah sekumpulan aktivitas yang hanya dimiliki orang aneh seperti Gie. Namun entahlah apakah ia akan senang ketika mendaki hanya menjadi ajang gaya-gaya an. Akh sapa yang akan tahu. Gie telah lama meninggal, kini hanya beberapa pejuang yang memiliki kemiripan seperti Gie yang masih hidup dengan ketenangan di gunung.
Bayangan imajiner itu muncul usai aku melihat banyaknya pendaki gunung yang sepakat ingin mencapai puncak. Tidak hanya puluhan atau ratusan namun ribuan. Satu hal yang kami takutkan adalah masih adakah tempat di atas puncak itu untuk kami. Perjalanan dimulai dengan saling sapa, melewati, bahkan tertinggal. 

Namun pendakian ini berakhir dengan pecahnya dua rombongan. Lahan untuk mendirikan tenda yang sempit ketika di cadas akhirnya membuat pilihan sebagian rombonganku berhenti dan nge camp di sekitar shelter 3. Sedangkan beberapa orang lain termasuk aku yang masih kuat tetap nanjak menuju cadas dan mencari lahan untuk mendirikan tenda. Perjalanan ini sendiri yang dimulai sejak jam 18.50 berakhir di cadas di jam 01.00 wib. 
Tengah malam yang kian dingin kontras dengan pemandangan suara gaduh dan riuh dibanding dengan tawa malam para pendaki. Kerlipan lampu malam terlihat berdenyut indah. Namun sayang biasan puncak singgalang tertutup awan gelap. Tebaran bintang dan bulan juga kompak menyembunyikan dirinya dibalik kumpulan awan. Setelah sesampai cadas aku menyempatkan diri untuk mencari lahan guna menegakan tenda. Ratusan tenda yang telah berdiri membuat rekan lain mencari lahan yang cukup. Puncak kemerdekaan memaksa aku berbagi tempat dengan mereka yang lebih dahulu tiba di cadas. 
***
Sebuah tenda tegak dengan sempurna, kami yang berada di cadas kembali membagi kelompok. Aku dengan Romi memilih tanah datar tanpa atap tenda sebagai tempat tidur. Suasana yang sempurna untuk memandang langit yang kini bertabur dengan bintang.  Pertanda hujan tak turun malam itu.
Jadi, praktis malam itu untuk kali kedua aku tidur tanpa tenda. Rupanya pendakian yang terpisah dengan rombongan awal dalam kondisi yang tidak seimbang. Tenda isi 3 yang terbawa rupanya,sedangkn jumlah anggota yang sampai cadas ada 5 orang. Bentangan matras dan sleping bad menjadi penghangatku di samping sebuah minuman hangat dan mie yang aku beli dari sebuah kadai di area cadas seharga 5000 rupiah.
***
Aku tersentak dengan butiran dingin di wajahku, entah apakah itu butiran salju atau butiran es, begitu dingin. Butiran itu memaksaku untuk membuka mata, rupanya tetesan embun yang ditandai dengan gumpalan awan hitam dipagi ini. Setelah menunaikan salat subuh kembali aku menatap bayangan gunung singgalang yang kini tertutup habis.
“Sayang sekali kita gak dapat sunrise” 

Salah satu sebab pendakian Marapi menjadi pendakian favorit karena sunrise dan sunset. Namun cuaca memang sedang tidak bersahabat. Gumpalan awan hitam menggulung cahaya pagi dalam lelapnya sinar mentari. Walau seperti itu keindahan puncak Marapi masih aku rasakan ketika menuju ke puncak. Bebatuan yang lembab serta lembah eidelweis tetap memberikan pesona. Namun sayang sekali pendakianku ini hanya sejenak, akan ada cerita lain mungkin esok ketika aku kembali lagi ke sini.
***
Banyak keindahan yang ditawarkan oleh Marapi. Gunung aktif ini memiliki pesona keindahan yang wajib di nikmati. Namun cuaca bisa menjadi kendala dalam menikmati pesona ala mini. Oleh karena itu,bagi yang hendak mendaki gunung Marapi ada baiknya mempersiapkan perlengkapan yang utuh dan baik. 

“Alam memiliki penguasa dan manusia tidak bisa melawannya, kecuali menaklukannya”

Kadai di cadas Marapi

Benar kata orang bahwa perniagaan adalah urat nadi bagi urang minang. Lihat saja dalam pendakian yang penulis lakukan ini. Sepanjang perjalanan, penulis tidak hanya menjumpai pepohonan maupun akar kayu namun juga kadai (baca:warung). Sepanjang perjalanan menuju ke cadas penulis menjumpai setidaknya terdapat lima kadai . empat dalam proses perjalanan pendakian dan satu kadai ketika berada di cadas. Sayang penulis tidak banyak bertanya perihal kadai kepada si pemilik. 

Kadai  yang dibuat sepanjang perjalanan ini memang dimamfaatkan benar oleh pendaki yang kelelahan maupun pendaki yang membutuhkan. Sesuai dengan prinsip ekonomi mungkin bahwa adanya pedagang karena adanya kebutuhan. Penulis sendiri merasa terbantu kala berada di cadas. Dengan uang lima ribu rupiah setidaknya penulis mendapatkan air panas dalam satu botol penuh.
Bahkan jajanan yang dijual para urang kadai ini tidak hanya dijual ditempat, kadang ada juga yang berjalan-jalan menghampiri pendaki yang duduk atau ditenda guna menawarkan dagangannya.
“Air panas, kopi, teh, mie rebus, bakwan, rokok..” begitu tawarnya kala melintasi tenda kami.
Apa pun itu, begitulah uniknya cadas di Marapi ini. Jadi bagi yang mendaki di moment liburan pasti akan menemukan kadai- kadai di sekitar perjalanan Marapi ini.    

Catatan Perjalanan : Singgalang aku kembali



Sejujurnya aku tidak menyangka akan kembali ke Gunung ini. Sebuah Gunung yang di masa lalu berhasil memaksa aku berjalan tertatih-tatih hingga menuju puncak setinggi 2877 Mdpl. Ketika itu saya masih menyandang status sebagai mahasiswa S1, jurusan Sejarah UNP,  dan Gunung Singgalang adalah pendakian untuk kali pertama saya jalani. Jika melihat saat itu kadang aku tersenyum kecut. Bagaimana tidak saat itu aku yang berhasil mencapai puncak Singgalang berujar “cukup kali ini” . ungkapan tidak lagi untuk kali ke dua mendaki non aktif dan lembab ini. Namun di Singgalang inilah lantas aku jatuh cinta kepada alam. Maka  sebab dua tahun setelah pendakian itu  saya kembali lagi mendaki Gunung yang berhadapan langsung dengan Gunung merapi.

“Teman-teman saya tahu ini adalah rute yang sulit namun saya yakin kalian bisa” petuah singkat ini aku paparkan seusai mengadahkan doa bersama sebelum pendakian Sabtu (1/8). Kali ini aku membawa tim yang berbeda dengan tahun 2013 lalu. Kali ini (tahun 2015) hanya ada Aku, Jefri, Hasduni, Meri, Rahmi, dan Doni. Kami semua tidak seumuran, tidak satu  jurusan, kesamaan kami adalah darimana kami berasal yakni sama-sama pernah di organisasi mahasiswa bernama Ganto dengan lembaga pendidikannya Universitas Negeri Padang (UNP).
Jam menunjukan waktu 18.30 wib, usai membayar retribusi masuk berupa registrasi 7500 rupiah per orang dan parkir 10.000 per motor kami mulai bersiap. Masing-masing kembali menyiapkan perlengkapannya. Satu yang jelas bahwa pendakian ini akan dilakukan malam hari. Masing-masing menyiapkan senternya  di tangan.

Secara keseluruhan perjalanan ini gagal langsung ke puncak, perencanaan ideal yang akan tiba di tengah malam berakhir di tengah rimba. Terkadang walau puncak yang selalu teratas namun prioritas kebersamaan tim adalah utama. Perjalanan malam, dengan tim yang belum pernah ke Singgalang, serta cuaca yang kadang tak menentu memutuskan kami nge camp  di shelter 3. Dan sebenarnya keputusan ini bisa dibilang cukup berani karena memang banyak pendaki lain yang berbarengan dan memilih nge-camp di bawah.  
***
Perjalanan malam yang berakhir di sekitar shelter 3 ini berjalan baik. Cuaca malam yang bersahabat memudahkan perjalanan. Namun track jalan bagi pemula memang membuat shock perjalanan. Jalanan mendaki Singgalang sebenarnya dimudahkan dengan tanda tiang per tiang setinggi 4 meter sebagai penunjuk jalan. Namun hal ini tidak dengan kontur tanah, tidak ada jalanan datar yang memudahkan pendakian. Jalanan mendaki malam hari itu lebih banyak dihabiskan  dengan suara-suara nafas yang tersengal karena menanjak dibandingkan dengan suara musik yang didendangkan.
Singgalang yang merupakan Gunung non aktif berhasil menciptakan kelembaban akut di sekitar pendakian. Hal ini juga yang akan diperparah jika cuaca tidak bersahabat (hujan).jalan akan licin dan menyulitkan pendakian. Penulis pribadi lebih menyarankan bagi pendaki pemula untuk menjajal track merapi. Namun jika ingin mendaki dengan track yang menantang Gunung Singgalang pilihannya.
Detak waktu malam usai dan bersiap meninggalkan waktunya ke dini hari. Usai menikmati makan malam berupa mie dan minuman panas lantas Jefri, duni dan lainnya menegakan tenda untuk bisa segera beristirahat. Walau pendakian Singgalang terus menanjak namun masih terdapat lahan datar jika ingin sekedar mendirikan tenda. Sama halnya kami, lahan yang dikelilingi pohon-pohon besar menyisakan tanah yang datar sekitar 6 x 4 meter. Tenda ini berdiri meski jauh dari sumber air terdekat.
***
Hari kedua,
Penulis menyebutnya hari kedua, karena memang kami berangkat dari titik kota padang di siang hari. Perjalanan menggunakan motor selama 2,5 jam ini sempat beberapa kali singgah untuk salat, makan, dan berhenti untuk keperluan pribadi. Jadi usai menikmati malam yang dingin dan berkabut di shelter 3 kami disambut dengan matahari pagi dari ufuk merapi yang berdiri megah dan gagah perkasa.
“Semua siap..” teriak doni usai packing perlengkapan yang diturunkan malam tadi.
Untuk menuju ke puncak tidak terlalu jauh dari titik ini. Sekitar 2 jam perjalanan lagi aku kira. Berbeda dengan malam hari aku rasa tenaga serta fisik kali ini cukup fit untuk nanjak menuju ke cadas Singgalang. Pendakian kedua yang disambut dengan semangat memacu langkah kami untuk segera ke puncak dan menikmati alam danau telaga dewi.

“Hore cadas..”   suara Ami memecah kelelahannya usai ia mengijakan kaki di cadas Singgalang.
Tepat sekitar setengah sebelas siang kami sampai. Rasanya terbayar rasa puas kala mengijakan dan menikmati alam di Singgalang. Cadas Singgalang masih menyisakan bebatuan keras walau Gunung tersebut katagori  non aktif. Sayangnya,  waktu untuk menikmati cadas tidak terlalu lama. Usai mendirikan tenda kami memulai perjalanan lagi untuk menuju telaga dewi. Pilihan untuk melihat telaga ini bukan karena cadas ini kurang menarik namun lebih ingin mencapai target awal bahwa pendakian ini harus sampai di telaga yang konon memiliki mistik.
Perjalanan dari cadas ke Telaga Dewi cukup jauh dengan jarak tempuh sekitar 1,5 jam. Bedanya, track nanjak kali ini lebih mudah karena beban bawaan yang ditinggal di dalam tenda. Cukup satu tas dengan beberapa botol aqua besar untuk mengangkut air dari telaga.
Tidak seperti malam hari, perjalanan menuju ke Telaga Dewi lebih baik dan berhasil aku abadikan dalam jepretan kamera. Keindahan alam sumaetra barat dari puncak cadas Singgalang, eksotisnya hutan gambut yang identik dengan hijau, serta panorama yang ditawarkan oleh Telaga Dewi seolah menjadi penghapus lelah perjalanan yang kami lakukan sejak kemarin. Senyum-senyum yang tersungging, espresi yang kurang dan lebih, serta mengabadikan moment mumpung lagi di Singgalang terbayar selama perjalanan ini.
***
Jam digitalku menujukan waktu 13.31 WIB ketika sampai di Telaga Dewi ini. Jika aku menilai apa yang berbeda antara pendakian ku tahun 2013 dan 2015 mungkin di telaga inilah jawabannya. Meski hutan gambut juga berbeda karena bisa aku nikmati namun Telaga Dewi yang paling mencolok. Yang terlihat berbeda adalah warna yang mencolok dari panorama telaga dewi. Ketika mengijakan kaki menuju ke tepian telaga, aku terlebih dahulu berhenti di sebuah kayu yang sengaja tertancap di  sana. Welcome to Telaga Dewi begitu bacanya. Simple memang namun mengesankan. Tak perlu ambil lama beberapa rekan mengabadikan moment untuk foto di samping papan nama ini. 


Hal berbeda kedua dari pendakian doloe adalah sebuah kayu yang juga sengaja di sandarkan diantara kayu lain yang berdekatan. Pohon yang memiliki cabang dua lantas diselipkan dua buah kayu. Keren. Setidaknya dengan kayu tersebut kita bisa menikmati alam Telaga Dewi dari ketinggian sekitar 4 meter.
***
Waktu adalah kesempatan  dan waktu adalah pilihan. Kami tidak tuntas rasanya menikmati alam di telaga ini namun langit mendung serta hari menjelang sore memaksa kami untuk segera bergegas, packing dan kembali ke padang. Kali ini dengan langkah cepat dengan sedikit berlari kami meninggalkan telaga itu.
“ Aku rasa next time ku akan kembali lagi, ingin lebih menikmati alam pemandangan di sini..” bisikku dalam hati sembari menoleh ke telaga yang semakin jauh dari pandangan.


  • Singgalang antara keindahan dan kesukarannya

Gunung Singgalang berada di ketinggian 2877 MDpl, bukan termasuk katagori sebagai gunung tertinggi di sumatera barat. Talamau yang terletak di pasaman merupakan gunung non aktif yang tertinggi di sumtera barat ini yakni 2900 mdpl. Sedangkan untuk gunung api, gunung merapi padang panjanglah titik tertingginya. Dengan tingkat tinggi yang berbeda ini singgalang maupun marapi menjadi gunung yang kerap di singgahi oleh penjelajah alam. Track jalan yang mudah di lalui serta lokasinya yang strategis menjadikan gunung ini sebagai  pilihan. 

 
Gunung Singgalang maupun Merapi berada jalur yang berlawanan. Oleh karena itu ketika berada di salah satunya dapatlah kita meyaksikan kemegahan masing-masing gunung tersebut. Walau seperti itu toh tetap memiliki perbedaan yang mencolok. Gunung Singgalang adalah non aktif dengan tingkt kelembaban lebih tinggi dibandingkan dengan merapi. Begitu juga dengan track jalan yang dilalui. Namun tak ada salahnya jika memasukan dua nama gunung ini sebagai daftar gunung yang wajib di daki.   
Namun Singgalang bukanlah gunung yang ramah bagi para pendaki pemula. Tingkat kelembaban serta jalan yang selalu nanjak memang bukan sekedar isapan jempol. Maka bagi yang ingin mendaki gunung ini da baiknya melakukan persiapan fisik yang mantap. Dan gunung adalah alam yang tak memiliki tuan kecuali pemilik sang pencipta. Oleh karena itu tak ada salahnya untuk selalu berdoa dan menjaga sikap.
              

catatan perjalanan : First Time at Talang Moutain

Ndaki gunungku bukan membawa perasaan yang sendiri
Namun membawa hati yang ingin terus berdiri
Prie

Sudah lama aku tidak mencoba untuk mendaki gunung sambil menikmati indahnya malam di puncak gunung, merasakan dinginya pagi, serta belajar untuk menata emosi. Kali ini bulan Mei di tahun 2015 akhirnya aku menemukan kembali suasana yang sama dengan rasa yang berbeda. Pendakian Gunung Talang dengan ketinggian 2597 Mdpl sukses aku taklukan bersama rekan sejawat yang umumnya adalah guru-guru muda PPG UNP 2014.  Pendakian ini bagi semua orang adalah pendakian perdana, Jika bagi sebagian besar pendakian ini adalah mendaki gunung yang pertama kali dilakukan namun bagiku ini adalah pertama kalinya aku mendaki Gunung Talang. Perencanaan yang harus cancel beberapa kali oleh beberapa sebab akhirnya membawaku ke puncak Gunung Talang ini.

***

Jumat yang dingin  di awal Mei menyambutku dan rekan-rekan lain di kawasan Aia Batumbuk, sebuah nagari yang berada di wilayah adminitrasi Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Perjalanan ini sendiri dimulai dari asrama UNP. Aku (Prie), Defrianto, Fran, Bayu, Hafiz, Yeti, Sri Mulyani, Devi, Fitri, adalah guru muda PPG yang berniat berangkat ke Gunung Talang ini. Anggota bertambah dengan kehadiran rekan-rekan lainnya yakni Idris, Fendy, dan Yopi, jadi keberangkatan kali ini genap berjumlah 12 orang, dengan membawa perlengkapan berupa tiga buah tenda, beberapa tabung gas untuk memasak, dua kompor, dan satu buah nesting. Kami akan menghabiskan waktu sekitar beberapa hari dari hari Jumat hingga Minggu sore. Semangat.

Bara orang yang naik hari ko da?”
“Banyak, lai ado sekita ampia anam ratus urang”
Usai melaksanakan salat Magrib aku mendaftarkan diri sebelum mendaki. Pendaftaran ini meliputi pendaftaran diri per orang dan parkir motor, aku merogok kocek untuk membayar administrasi  sejumlah 144 ribu rupiah. Sambil menunggu antrian aku bercakap-cakap dengan petugas penjaga Gunung Talang. Dari percakapan singkat ini aku mengetahui dua hal sebagai informasi, pertama waktu yang dibutuhkan dalam pendakian hingga pintu angin sekitar lima jam perjalanan, Selain itu aku pun juga tahu bahwa jumlah orang-orang yang melakukan pendakian  Gunung Talang rupanya membludak dari perkiraanku  mencapai hampir 600 orang. Pasti akan ramai di sana, ujarku dalam hati.
Pendaftaran usai,  setelah mendaftarkan diri serta membayar uang masuk yang tanpa bisa ditawar. Aku mulai bergegas melakukan penataan ulang tas masing-masing anggota dan  bersiap mendaki Gunung Talang di malam ini. Setelah proses penataan ulang selesai kami  berkumpul terlebih dahulu sebelum mendaki. Tujuan berkumpul ini adalah mencek ulang kondisi fisik serta psikologis sebelum mendaki, dan yang utama adalah melakukan kegiatan berdoa bersama yang dipimpin oleh leader dalam pendakian, berdoa sembari  berharap bahwa pendakian ini memiliki niat yang baik dan memohon perlindungan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Ammin.
Semangat




***
Pendakian yang dilakukan malam hari adalah hal yang pertama aku lakukan. Jika biasanya aku pada pendakian terdahulu selalu mendaki pada siang atau pagi hari, kali ini aku harus melakukan pendakian malam hari. Menurut Idris selaku seniorku dulu di Jurusan Sejarah UNP yang pernah beberapa kali mendaki Gunung Talang mengatakan pendakian malam akan lebih baik karena tidak terasa panas oleh sengatan matahari.  Setidaknya panas tubuh (berkeringat) akibat badan yang terus bergerak. Alasan lain  yang membuat pendakian ini dilakukan malam hari karena pendakian malam tidak membutuhkan konsumsi air yang berlebihan. Pendakian Gunung Talang melalui Aia Batumbuk ini menurutnya minim air, sumber air hanya ada di dua tempat yakni  di perkampungan warga serta di puncaknya (lokasi nge-camp). Aku manut ae
Namun perjalanan malam memiliki sebenarnya sisi kelemahan yakni gelap. Perjalanan yang harus beberapa kali  harus melewati treck jalan yang menanjak, serta melewati tanah lembab membutuhkan pencahayaan yang cukup melalui senter atau sumber cahaya lain. Cahaya bulan selama menelusuri jalanan hutan Gunung Talang lumayan membantu di samping cahaya dari lampu senter yang hanya empat buah. Entah berapa kali aku hampir terpeleset oleh batang kayu yang lembab serta tanah yang lembab. Walau seperti itu dalam perjalanan ini cuaca sekitar Talang bersahabat. Udara yang dingin tidak bertambah dingin setidaknya tanpa hujan turun. Perjalanan malam ini terasa berbeda, walaupun kebanyakan anggota adalah pendaki perdana namun semangat serta perlengkapan yang mereka bawa cukup baik, salut untuk mereka. 

Simpulan untuk rute perjalanan Gunung Talang diawali terlebih dahulu dengan melewati perkampungan warga  setelah itu perjalanan berlanjut melewati perkebunana teh, lading warga, menelusuri pinggiran hutan, dan pintu angin Gunung Talang. Kondisi jalan cukup baik jika tidak turun hujan memudahkan perjalanan kami. Umumnya kita melewati jalanan berupa tanah padat yang bisa berubah menjadi lunak jika turun hujan. Namun pendakian ini tidak mudah menemukan lokasi yang pas untuk mendirikan tenda sementara (istilah shelter 1 yang biasa ditemukan di pendakian gunung lainnya).  Sebab  treck lokasi ini dalam posisi menanjak tanpa ada lahan yang datar, selain itu juga ketiadaan sumber air yang dekat. Jadi bagi yang hendak berangkat di siang hari harap membawa air yang cukup karena keterbatasan di tengah perjalanan. Perjalanan ini langsung tembus menuju pintu angin Gunung Talang      
***
Puncak I want get you…


Jika dibandingkan dengan hari kemarin cuaca kali ini lebih bersahabat. Tidak berembun serta turun rintikan hujan seperti kemarin. Usai bangun tidur dan sarapan seadanya aku dan rekan lainnya mulai menyiapkan diri menuju ke puncak. Jarak camp dengan puncak hampir 300 Meter. Dan untuk mendaki puncak Gunung Talang ini memang tidak dengan jalanan yang mudah dilalui. Beberapa kali Bg Ajo (Def) tersesak nafasnya kala menaiki jalanan menuju puncak yang mendaki tajam ini, begitu pula dengan Fitri, maupun Yet. Dan entah berapa kali pula Tachi berhenti dan memutuskan untuk tidak ke puncak.
“Mumpung lagi di sini kak, mari kita ke puncak, di sana kita tidak hanya melihat danau-danau ini, tapi juga melihat Gunung Merapi dan Singgalang”
Tachi agaknya termotivasi, walaupun dia hanya mengenak sepatu kets yang licin namun akhirnya ia berhasil menaklukan puncak bersama rekan-rekan lainnya. Heroik juga ya. Memang bebatuan serta tanah berpasir menyulitkan dalam pendakian menuju ke puncak. Oleh karena itu dalam pendakian puncak ini disarankan untuk mengenakan alas kaki yang memang digunakan untuk kegiatan out door.  Pendakian dengan track yang miring ini setidaknya bisa menyebabkan kecelakaan yang fatal jika sampai terjatuh. Hembusan asap belerang yang menyengat menjadi tanda “awas” melalu masker atau kain tipis penutup mulut.


Selangkah demi selangkah akhirnya pendakian puncak usai juga. Terlihat rona-rona kepuasan dari dari mereka. Walau terlihat lelah namun puncak akhirya mereka bisa pijak. Sorakan-sorakan kepuasan terdengar keras dari puncak ini. Dan aku lebih memilih mengambil gambar-gambar yang menarik dari sisi puncak ini. Alhamdulillah ya Allah. Mengabadikan moment dalam gambar yang terekam secara digital adalah hal tidak bisa diganti ( filosofi pendaki). Keindahan alam adalah salah satu ciptaan Tuhan yang tidak tergantikan. Ada sebuah rasa damai yang terasa ketika berada di puncak ini. Bentangan bendera merah putih pemberian ayahku pun menjadi penyanding dari keindahan di puncak Gunung Talang ini.
Sambil menikmati puncak Talang ini aku melihat kembali posisi gunung ini yang menurutku menarik. Kalau boleh memberikan perumpaan, maka gunung ini adalah Gunung Antara.  Posisi letak gunung yang sejajar dengan barisan gunung yang lain menyebabkan Gunung Talang berada di posisi tengah-tengah. (Gunung Merapi-Gunung Talang-Gunung Kerinci). Entah berapa kali Yet maupun Bang Ajo menuturkan kalau Kerinci sebagai destinasi gunung yang mereka ingin daki kelak. Melihat sosok Gunung Kerinci yang tampak dari kejauhan membuat semua orang yang belum pernah mendaki Gunung Kerinci ingin mendaki gunung tersebut.
***


Jam menunjukan pukul 12.50, kami berdoa kembali sebelum berangkat menuruni hutan Gunung Talang dan kembali ke Padang. Perjalanan penaklukan puncak Gunung Talang akhirnya selesai  dan saatnya untuk kembali kepada rutinitas sebelumnya kembali ke padang. Namun perjalanan menuruni hutan Gunung Talang hingga ke perkampungan warga rupanya tidak semudah ketika naik. Guyuan hujan pada malam hari hingga dini hari membuat jalanan tanah menjadi lunak. Beberapa kali rekan-rekan terjatuh di kubangan tanah tersebut. Sapaan pendaki lain seperti pelan-pelan, hati-hati menjadi kosakata kepedulian yang jama diucapkan. Rute perjalanan juga terlihat memanjang dengan menggunakan jalan baru sebagai alternatif ditengah jalan akibat jalan utama menjadi lunak (rusak). Menempuh jalanan alternatif memang tidak terdapat kubangan tanah namun aku harus berjalan dengan kaki telanjang akibat sandalku yang licin.
Tepat pada jam 17.00 akhirnya sampai di perkampungan warga, usai menunaikan Salat Jama’ Zuhur dan Ashar, serta mengambil motor kami pun kembali ke Padang dengan badan yang lelah namun dengan paras muka yang penuh dengan kemenangan.
See you again talang

Catatan Perjalanan : Melepas penat dengan wisata alam Siti Nurbaya


Siti Nurbaya siapa yang tidak mengenal tentang sosok perempuan yang konon berasal dari ranah minang. Kisah asmara Siti Nurbaya dengan Samsul Bahri yang terhalang oleh kekuasaan Datuk Maringgi terkenal ceritanya nan abadi, tempo dulu hingga sekarang. Di kota Padang, penggunaan nama Siti Nurbaya dijadikan ikon antara lain wisata Jembatan Siti Nurbaya, Makam Siti Nurbaya, Taman Siti Nurbaya bahkan baru-baru ini digunakan juga untuk event kesenian maupun dalam event olahraga. Singkat kata nama Siti Nurbaya itu telah lekat dengan ingatan di ranah minang ini. Dan tulisan ini adalah seri penulis yang kali ke ketiga menyambangi Taman Siti Nurbaya di sela padatnya perkuliahan.  
Kamis, (14/5) cuaca Kota Padang agak berawan, sambil menyiapkan kamera nikon kesayanganku aku berdoa semoga hujan tidak turun hari ini. Wisata sambil refreshing setelah melewati perkuliahan yang padat membawaku dan beberapa rekan untuk rehat dengan  melihat alam serta kota Padang lebih luas melalui puncak taman Siti Nurbaya. Taman yang juga terdapat _eplica makam Siti Nurbaya ini terletak masih kawasan area kota Padang, lebih tepatnya di Muaro Padang. Jaraknya tidak terlalu jauh selama berada titik startnya kota Padang, dan aku memulainya dari Air Tawar, kampus Universitas Negeri Padang  (UNP).     
***
Sebuah angkot berwarna putih bermotif unik berhenti mendadak di hadapanku. Setelah diskusi panel sederhana dengan rekanku untuk menentukan rute perjalanan akhirnya Aku, Yusuf, Aririn, Marlianti, dan Yunika menaiki angkutan umum yang lebih dikenal dengan angkot. Perjalanan ini tidak membutuhkan waktu lama. Wisata murah ke taman Siti Nurbaya hanya dua kali menyambung angkot Air Tawar-Pasar Raya-Muaro Padang, butuh sekitar sejam perjalanan. Sedangan biaya yang dikeluarkan juga tidak terlalu mahal cukup 4000 rupiah untuk sekali perjalanan.

Pasar raya di pertengahan siang sekitar jam 10 pagi masih sepi. Para pedagang baru datang dan sedikit yang mulai menata barang dagangan mereka. Setiba di pasar raya kami segera mencari angkot berwarna biru arah ke Muaro Padang. Sembari menunggu beberapa kami memilih untuk mencari makanan untuk di makan setiba di taman siti nurbaya nanti. Hasilnya dua platik penuh dengan gorengan berhasil di angkut ke angkot biru yang selanjutnya kami naiki.
***
Perjalanan di mulai, tanpa angkot apa lagi ojek perjalanan ini dimulai dengan kaki, lebih tepatnya berjalan kaki. Yunika yang merasa sudah lama meninggalkan kebiasaan naik tanjakan kini hanya berdehem dalam hati, “aku bisa, aku kuat” mungkin begitu sugesti yang coba ia tanamkan. Memang sebelumnya aku tidak menceritakan detil perjalanan ini.
“yuk kita jalan” ujarku setelah membayar uang masuk lima ribu per orang.

Tidak selalu pengunjung yang datang ke Taman Siti Nurbaya seperti kami, bergaya ala traveler sebaliknya beberapa kali aku berselisih dengan pengunjung yang datang dengan pakaian atau style olahraga. Memang taman Siti Nurbaya menjadi rute untuk sekedar melepas penat setelah jogging pagi. Bisa juga menjadi alternative bagi yang menyukai jogging di sepanjang taplau untuk singgah ke taman Siti Nurbaya ini.
Apa yang ada di taman Siti Nurbaya ini? Hal ini yang ingin aku tulis dalam cerita ini. Perjalanan menuju puncak taman Siti Nurbaya ini setidaknya pengunjung akan menemukan peninggalan sejarah berupa meriam non aktif bekas masa kependuduk jepang dan bungker. Penulis sendiri tidak mampu menuliskan lebih jauh karena hanya itu saja yang penulis tahu tentang keberadaan peninggalan sejarah tersebut. Selain itu, sepanjang mata kita akan melihat pantai dan lautan lepas yang memukau.
Maka ketika melewati hal yang menarik dalam tanda relative ini entah berapa kali moment tersebut diabadikand alam jepretan kamera. Hasilnya natural dan indah menurutku. Setelah memanjakan mata dengan melihat keindahan laut kini kami harus berolahraga nafas. Yup, jalan-jalan ala hacking dimulai. Untuk mencapai ketinggian taman Siti Nurbaya sekitar 220 Mdpl setidaknya gerakan kaki melambat dan nafas mulai tersengal. .
“yuk, dikit lagi nyampek di ujung sana” begitu jawab ku sederhana saja ketika lian menanyakan ujung pendakian ini.
Memang untuk menuju puncak butuh pendakian trek yang menanjak. Keberadaan penyanggah sangat membantu bagi pengunjung yang kesulitan menaiki jalan menanjak. Namun jalan yang menanjak ini sangat bagus jika mampu dimamfaatkan sebagai angel dalam menjepret foto.
***
Puncak, walaupun tidak harus berkeringat berlebihan namun akhirnya aku sampai di puncak ini kembali. Tidak hanya kami, namun juga terdapat pengunjung lainnya. Taman Siti Nurbaya tidak terlalu luas seperti lapangan bola. Namun barisan taman tersebut tersusun rapi dan indah pepohonan nan rindang tumbuh besar di pinggiran taman, sedangkan tatanan lantai taman juga terukir indah dengan garis-garis tanpa makna. Bagi pengunjung yang tidak membawa bekal pribadi di taman terdapat penjual yang menjual makanan dan minumaan yang bisa di santap kala di puncak.

Tidak hanya manusia yang ada dan menikmati alam di puncak taman Siti Nurbaya ini namun juga monyet yang berkeliaran bebas di dahan-dahan pohon. Monyet tersebut tidak terlalu besar untuk ukuran badanya. Namun kelincahan hinggap diantara dahan cukup membuat aku terkagum. Tips bagi yang membawa makanan harap berhati-hati karena monyet ini tidak segan untuk mengambil dengan tersembunyi maknan yang tergeletak sembarangan.
***
Usai menghabiskan sekitar 90 menit di puncak kami memutuskan untuk turun dan pulang. Gumpalan awan yang berlipat agaknya akan segera menurunkan beban air ke bumi ranah minang ini. Namun sebelum pulang kami sempat menyinggahi  makam Siti Nurbaya. Ingat di makam ini tidak dianjurkan untuk mengambl gambar, jadi biasanya pengunjung yang datang ke tempat ini hanya sekedar melihat makam Siti Nurbaya yang konon hanya replika saja.


Jadi, ada yang berminat ke Taman Siti Nurbaya.

Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...