Catatan Perjalanan : Setapak menujuh Kampung adat Wae Rebo

“Selamat siang..” sapaan hangat dari masyarakat asli Wae Rebo ketika penulis bertemu mereka di jalan setapak ini.
 “Selamat siang juga bapa, mama, “ujarku membalas sapaan mereka sembari ikut mengulurkan tangan ketika mereka hendak menjabat tanganku ini.
Hal diatas adalah peristiwa yang lumrah namun mengesankan ketika penulis bersama Intari melakukan perjalanan dengan jalan kaki menuju Kampung adat Wae Rebo. Melalui batas awal dari kampung denge sebagai kampung terakhir yang bisa menggunakan motor maka rute selanjutnya adalah berjalan kaki. Pendakian yang tidak terlalu menanjak namun terus menerus ini menjadi pengalaman yang baru bagi penulis dan Intari berada di sini. Jalanan yang dilewati ini setidaknya menjadi uji nyali bagi penikmat alam yang jauh dari hingar-bingar keramaian kota.
Tulisan ini menuliskan rute pendakian yang penulis lakukan untuk mencapai Kampung adat Wae Rebo. Sebuah kampung yang menjadi magnet karena karakteristik kampung tersebut mampu bertahan hingga saat ini. Penghargaan yang didapatkan sebagai bagian dari warisan budaya dunia oleh UNESCO tahun 2012 menjadi bukti bahwa Kampung adat Wae Rebo merupakan bagian dari budaya bangsa yang mendunia. Tidak hanya wisatawan lokal yang sengaja untuk melihat Kampung adat Wae Rebo namun juga turis-turis asing dari berbagai belahan dunia datang dan singgah menikmati kekayaan alam dari Kampung adat Wae Rebo ini. Maka wajar kiranya Kampung adat Wae Rebo yang terletak di Manggarai Barat menjadi destinasi wisata yang terus menarik minat wisatawan, dan salah satu ikon yang patut dipilih selama di Flores ini.
Pendakian menuju Kampung adat Wae Rebo ini setidaknya akan melewati sungai serta perbukitan yang memiliki alur sebagai jalan setapak utama. Alur inilah yang digunakan oleh masyarakat sekitar untuk mengangkut bahan ke desa Denge untuk dijual maupun masyarakat yang membawa bahan makanan untuk dibawa ke Kampung adat Wae Rebo. Jalannan ini juga yang digunakan oleh wisatawan untuk berkunjung ke Kampung adat Wae Rebo. Maka wajar kiranya daam perjalanan wisatawan dan masyarakat bertemu untuk sekedar tegur sapa.
Pendakian untuk menuju Kampung adat Wae Rebo membutuhkan waktu normal sekitar 4-5 jam perjalanan. Namun bagi masyarakat asli waktu ini tentu akan terlalu lama karena mereka biasa mendaki dengan lebih cepat. Pada rute awal yakni dari desa denge usai menitipkan motor di rumah bapak blasius kami melakukan pendakian pada jam 06.30 WITA. Tidak hanya kami berdua, namun juga teradapat beberapa wisatawan asing dan domestik yang telah berjalan terlebih dahulu. Usai negosiasi tentang jalan pendakian dan porter kami akhirnya memilih untuk tidak menggunakan jasa porter yang dikenakan biaya 100.000 per hari ini. “biar hemat dikit” ujarku. Perjalanan panjang dari ende ke manggarai barat ini lumayan mengeluarkan ongkos yang besar untuk ukuran kantong Backpacker Sekalian seperti penulis ini.
Setidaknya dalam alur perjalanan ini dari batas kampung denge, perjalanan yang melalui jalan setapak belum terlalu mendaki,hingga batas sungai pertama. Kondisi jalan yang agak becek membuat kaki harus berhati-hati akan melangkah. Selain itu, binatang penghisap darah terkadang muncul walau tidak terlalu banyak. Maka dari itu pakaian yang hendak dipakai usahakan celana panjang dan baju panjang. Namun penulis tidak merekomendasikan kepada pengunjung ketika dalam perjalanan ini menggunakan baju yang berlapis atau tebal. Memang suhu udara dingin ketika berada di Denge maupun Kampung adat Wae Rebo namun dalam perjalanan kaki ini akan membuat badan terasa agak hangat bahkan berkeringat.
Titik pertama dari denge perjalanan setapak ini akan berhenti di waelembu, sebuah titik pemberhentian setelah melewati lintasan sungai yang kedua. Pada titik ini biasanya pengunjung beristirahat sembari melihat pemandangan alam hutan yang tertutup. Selain itu, tanda baca berupa pesan dari masyarakat Wea Rebo menjadi bahan bacaan selama pemberhetian ini. Salah satu pesan yang tertulis dari spanduk ini adalah permintaan kepada pengunjung untuk menjaga etika selama di alam liar seperti tidak membuang sampah sembarang tempat maupun berteriak-teriak tanpa alasan yang jelas. Sebuah pesan yang menjadi kearifan lokal di alam yang jauh dari keramaian. Penulis yang mengenakan baju hitam pendek serta celana training berbahan kain tipis seperti dasar payung sesekali menyeka keringat yang sudah mulai bercucuran. Sedangkan intari yang mengenakan kaos hitam ala jogja serta training juga merasakan hal yang sama. Usai beristirahat sejenak serta minum air seperlunya perjalanan dilakukan lagi. Kali ini rute waelembu menujuh ke Pocoroko agak terjal. Kondisi jalan yang terus naik ke atas serta babatuan bekas longsor membuat kami harus berhati-hati. Bahkan sesampai di jalanan ini kami bertemu dengan wisatawan yang mulai merasa kelelahan bersama porter yang sengaja mereka sewa untuk mengangkut beban tas yang cukup berat untuk dibawa ke Kampung adat Wae Rebo. Perjalanan yang ditemani dengan suara burung menjadi musik tersendiri yang nyaring terdengar. Hutan lebat yang membuat mata ini terbatas untuk memandang semakin terasa pekat ketika kabut putih mulai menyelimuti. Tidak ada hal yang mengusik keamanan selama perjalanan ini. Walaupun kondisi jalanan yang agak licin dan terjal namun langkah kaki tidak terbawa jatuh bahkan terpeleset. Maka penulis merekomendasikan bagi pengunjung yang hendak naik ke Kampung adat Wae Rebo hendaknya menggunakan sepatu atau sandal yang bisa nyaman untuk melakukan pendakian agar kaki tidak terasa pegal atau terpeleset. ***
Akhirnya perjalanan ini membawa kami ke Pocoroko. Tempat pemberhentian kedua, usai waelembu. Pada titik inilah biasanya masyarakat sekitar menggunkan jasa komunikasi dengan nyaman. Pada titik kampung Denge maupun Longos hingga Kampung adat Wae Rebo tidak terdapat jaringan untuk berkomunikasi. Jika masyarakat denge harus ke tepian pantai di perkampungan muslim dintor maka masyarakat Kampung adat Wae Rebo harus berjalan menujuh ke Pocoroko. Namun dalam perjalanan ini penulis dan intari tidak dapat menikmati romantisme sinyal tersebut, adanya akibat kabut tebal membuat jaringan ini agak terhambat. Melewati Pocoroko ini sebenarnya tidak terlalu jauh. Hanya sedikit pendakian dan penurunan menuju Kampung adat Wae Rebo. Selain itu, batas ukuran perjalanan juga sudah diukur dalam papan kecil yang sengaja ditulis dan ditanam di sekitar jalan setapak ini. Hal ini cukup membantu bagi pengunjung untuk segera sampai ke Kampung adat Wae Rebo. Penulis pun yang ikut terbantu setidaknya bisa mengatur ritme langkah untuk segera sampai di Kampung adat Wae Rebo tersebut. Dalam perjalanan ini penulis sesekali berhenti di papan penunjuk tersebut guna menuliskan kembali angkah yang telah hilang di papan. Tulisan yang ditulis rupanya terlepas dan hilang oleh karena itu berbekal spidol permanen tulisan itu kembali penulis ukir dalam tintah hitam. ***
Perjalanan yang membutuhkan waktu 4 jam ini kami lewati sekitar 3 jam perjalanan. Proses perjalanan yang terus jalan karena tidak inap di Kampung adat Wae Rebo membuat perjalanan ini harus dipercepat. Usai membunyikan tanda masuk pengunjung di sebuah rumah sebagai gerbang masuk penulis menuruni jalan menuju Kampung adat Wae Rebo. Perjalanan panjang ini akhirnya berakhir ketika mata ini memandang sendiri puncak-puncak Kampung adat Wae Rebo ini. Masyarakat yang tersenyum ramah menjadikan titik sambutan yang mereka lakukan kepada setiap pengunjung. Alam Kampung adat Wae Rebo memang indah, seperti dalam cerita maupun dalam tulisan orang-orang hebat yang pernah singgah di Kampung adat Wae Rebo ini. Waktu yang seolah tidak cukup dan terlalu cepat memaksa langkah kaki penulis untuk segera turun kembali denge. Perjalanan panjang terbayar usai langsung berinteraksi dengan masyarakat Kampung adat Wae Rebo dan utamanya alam Wae Rebo itu sendiri. jepretan kamera dalam bingkai gambar maupun video menjadi kenangan yang tidak terlupakan. * **
Untuk mencapai Kampung adat Wae Rebo memang sangat jauh. Penulis yang melakukan aksi Backpacker Sekalian dari Kecamatan Maurole (Ende) menuju ke Manggarai Barat memang membutuhkan waktu yang agak lama. Maka salah satu pilihan singgah dalam perjalanan ini dan memudahkan adalah penerimaan yang baik dari teman-teman Guru Muda SM-3T asal UNRI. Tema Backpacker Sekalian yang merupakan saling kunjung ini, juga sekalian untuk berwisata namun mana yang lebih dominan maka penulis ingin menyeimbangkannya. Kebaikan teman-teman Guru Muda SM-3T asal UNRI yang memberikan tempat untuk sekedar beristirahat setidaknya menjadi pengalaman bagi penulis yang melakukan perjalanan jauh ke Ruteng ini. Trims teman-teman sesama Guru Muda SM-3T…

Catatan Perjalanan : Wae Rebo, kampung alam yang diselimuti awan

“what do you think about Wae Rebo?”
“Very nice, I like it”
 Percakapan itu merupakan bagian dari percakapan ala kadarnya penulis kepada Quentin dan Remi, dua turis asing asal negara Perancis yang berkunjung ke Kampung adat Wae Rebo Sabtu, (28/7). Tidak hanya dua turis asing ini namun juga banyak wisatawan dalam negeri yang menyempatkan diri untuk melihat secara langsung perkampungan yang terletak di atas pegunungan yang tinggi ini. Sama halnya dengan Quentin dan Remi, penulis pun yang melakukan perjalanan panjang demi melihat lekukan-lekukan rumah adat yang menjulang tinggi ke atas. Selain itu, nilai lebih dari kampung adat Wae Rebo adalah kemampuannya dalam menjaga eksistensi dirinya untuk bertahan hingga detik saat ini. Wajar kiranya Wae Rebo menjadi menu wajib yang harus dikunjungi oleh wisatawan ketika menginjakkan kakinya di pulau Flores ini.
Jam tangan penulis menunjukan waktu 09.30 WITA, ketika aku berada di kampung adat itu. Perjalanan selama 3 jam terbayar ketika mata ini memandang deretan jerami yang menjulang tinggi. Perjalanan ini bukan hanya perjalanan yang dilewati dengan menit atau jam melainkan waktu yang cukup panjang. Perjalanan yang penulis lakukan bersama rekan SM-3T Intari Nur Faisah merupakan perjalanan lintas kabupaten, yakni Kabupaten Ende, Nagekeo, Ngada, Manggarai Timur, hingga ujung barat Flores Manggarai Barat. Perjalanan yang menggunakan kendaraan bermotor ini memberikan efek touring yang panjang. Pencapaian menuju ke Wae Rebo adalah sebuah angan yang dipupuk hingga titik ini. Wae Rebo yang didaualat sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO tahun 2012 tentu menjadi sebuah ikon yang menarik hati bagi banyak kalangan,khususnya wisatawan asing. Blasius pemilik penginapan yang juga putra asli dari kampung Wae Reb yang menetap di desa Denge mengatakan hal serupa bahwa Wae Rebo menjadi sebuah magnet bagi banyak wisatawan. “Setidaknya setiap hari memang ada saja wisatawan domestik maupun luar negeri yang sengaja datang ke Wae Rebo “ ujar bapak yang memiliki empat orang anak ini.
Maka ketika bicara tentang Wae Rebo mindset yang muncul dari Wae Rebo adalah sebuah kampung dan pegunungan. Kampung ini berdiri secara terpisah dari pemukiman penduduk biasanya yakni di Denge maupun di kampung Longos (titik terdekat perkampungan pada umunya). Secara administrasi Wae Rebo adalah bagian dari Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai Barat. Kehidupan yang terjalin di kampung Wae Rebo tidak ubahnya seperti aktivitas masyarakat pada umumnya. Masyarakat hidup sebagai petani, kopi, jeruk, sayuran, dan aktivitas lain guna menyambung hidup. Namun hal yang menarik dari Wae Rebo menurut penulis adalah cara bertahan masyarakat untuk tetap hidup diketinggian 1100 Mdpl atau sekitar 9 km dari perkampungan di Denge. Wajar kiranya Wae Rebo yang bertahan mampu menjadi magnet bagi wisatawan untuk melihat bagaimana penduduk Wae Rebo tersebut bertahan.
Penulis adalah salah satu mata manusia yang ingin melihat langsung penduduk Wae Rebo dan perkampungan tersebut tetap hidup. Perjalanan yang dimulai dari lokasi penempatan SM-3T yakni Kecamatan Maurole menjadi titik pertama perjalanan panjang ini dimulai. Memang untuk mencapai kampung Wae Rebo ini pengunjung bisa melakukannya dengan kendaraan bermotor maupun mobil. Tentu saja hal ini memiliki perbedaan yang sangat kontras dilihat dari sisi kenyamanan maupun efektifitas waktu yang dimiliki. Penulis yang melakukan perjalanan bersama Intari membutuhkan waktu dua hari untuk mencapai Wae Rebo. Rute tersebut meliputi Kecamatan Maurole-Detusoko-Kota Ende-Nangapenda-jalan lintas Nagakeo-Boawae-Ngada-jalan lintas Ruteng-Borong-Ruteng-jalan lintas Labuhan Bajo-Kecamatan Satarmese Barat-Kampung Dintor-dan berakhir di kampung Denge. ****
“Tung..tung” suara bunyi lonceng aku pukul dengan agak keras. Getaran suara yang berasal dari bambu ini adalah sebuah keharusan yang harus dilakukan oleh setiap pengunjung sebelum menjejakan kaki ke Wae Rebo. Tanda berupa lonceng inilah yang akan menjadi sebuah tanda akan adanya persiapan yang dilakukan oleh masyarakat Wae Rebo yang biasa bertugas menyambut tamu yang datang ke kampungnya tersebut. Selain itu, setiap pengnjung yang telah memasuki kampung Wae Rebo harus mematuhi segala aturan yang masih dijaga di kampung tersebut. Salah satu yang harus dilakukan adalah menjaga etika selama di kampung tersebut. “Nanti sebelum melakukan upacara adat, jangan foto-foto dulu kalo gak mau kameranya rusak” tutur Agus Kuncoro, sesama penikmat kampung Wae Rebo yang saat ini sedang melakukan syuting jejak petualangan Trans TV. Sikap saling mengingatkan Agus ini juga merupakan bagian dari saling menyambung lidah dari masyarakat Wae Rebo yang terkadang kesulitan dalam berkomunikasi bahasa indonesia secara komunikatif. Penulis yang mengiyakan mencoba memahami hal tersebut sebagai bagian dari kearifan lokal yang harus dihormati tanpa harus dianggap sebagai ancaman. ***
Untuk kali pertama penulis menjejakan kaki di kampung adat yang menjadi warisan dunia ini. Setelah membunyikan bel berupa ketukan berulang dari sebuah bambu langkah selanjutnya penulis bersama wisatawan yang baru tiba harus mengikuti upacara sederhana dari rumah adat utama atau yang disebut wealue. Upacara sederhana ini dipimpin oleh pimpinan adat yang megucapkan beberapa kalimat dalam bahasa Manggarai yang asing terdengar. Konon bahasa yang diucapkan sebagai bagian dari budaya ini mengatakan bahwa si ketua adat memohon kepada leluhur untuk memberikan izin kepada penulis bersama pengunjung lainnya selama berada di Wae Rebo . Usai membayar biaya masuk berupaa biaya upacara sederhana 20.000 per kelompok dan 100.000 rupiah per orang maka dimulailah proses menikmati kampung adat Wae Rebo. Kampung ini penuh dengan gumpalan awan putih yang berada di sekitar perkampungan. Atap rumah adat yang menjulang tinggi terlihat kokoh berdiri menahan beban yang ada dalam rumah tersebut. Rumah yang dibangun dengan kesederhanaan ini setidaknya menjadi bagian dari budaya yang tidak bisa dihilangkan hingga saat ini.
Suasana perkampungan Wae Rebo yang cukup ramai karena musim libur sekolah. Oleha karena itu, anak-anak mereka yang telah libur kembali ke Wae Rebo untuk sekedar membantu orang tua mereka atau untuk berlibur di Wae Rebo. Selaian itu tebaran kopi terlihat berjajar di depan halaman rumah yang sederhana itu. Kopi adalah maskot dari Wae Rebo, dimana rasa kopi dari kampung ini memiliki rassa yang kha bagi penikmat kopi. Maka biasanya pengunjung yang hendak pulang kembali ke asalnya mereka akan membeli kopi maupun kain asli Wae Rebo yang dijual dengan harga yang bervariasi. Jika kopi dijual dengan harga sekitar 35.000 rupiah hingga-50.000 rupiah per bungkunya. Edangkan kain mencapai harga ratusan ribu rupiah. Penulis akhirnya menjatuhkan pilihan kepada kopi saja untuk dibeli dan segera dinikmati sesampainya di rumah. ***
Waktu memang berjalan cepat ketika kita merasakan nyaman, begitu halnya ketika undangan makan siang dari ketua adat kepada penulis dan pengnjung lainnya. jika jam tangan tadi menunjukan waktu 09.30 WITA kini jam tangan ku menunjukan waktu 12.00 Wita. Usai makan bersama dengan makanan berupa nasi yang ditambah sayur dan ambal cabe yang teramat pedas maka kini saatnya penulis bersiap untuk beranjak pulang. Sebuah pilihan memang bagi pengunjung yang hendak memilih menginap atau tidak selama di Wae Rebo. Namun karena penulis memiliki jadwal lain yang harus dilakukan maka perjalanan di Wae Rebo cukup eharian aja tanpa inap semalam. Bagi pengunjung yang hendak inap semalam di Wae Rebo akan dikenakan biaya inap ekitar 250.000 per orang. Berpamitan kepada ketua adat seraya mengucapkan terimah kasih untuk suguhan tersebut. Penulis kembali menikmati sejenak aroma Wae Rebo yang dilihat dengan mata telanjang tanpa bidikan kamera. Senyum keramahan penduduk, udara yang dingin, rumah-rumah yang dibangun kokoh, serta aturan yang dibuat menjadi bagian dari khas Wae Rebo yang memang harus diletarikan hingga saat ini. Jejak kaki ku dengan Intari kini kemabli berada di ata kampung Wae Rebo. Walaupun jam tangan menunjukan waktu siang namun cuaca kampung Wae Rebo masih dingin, bahkan tertutup oleh kabut yang berjalan menutupinya sejenak dan perlahan.
                                              ***
“ Syukurlah jika sudah sampai, dan terima kasih ya untuk kedatangannya ke Wae Rebo” sebuah pean pendek ku baca pelan. Rupanya pesan yang baru terkirim langsung dibalas oleh bapa Blasius. Dalam komunikasi tulisan ini, orang asli Wae Rebo ini juga menawarkan penginapan di Denge bagi pengunjung yang kemalaman atau datang di sore hari dengan tarif inap 175.000 per orang. Biaya ini termasuk makan dan minum selama di rumahnya yang ia sulap menjadi home stay yang nyaman bagi pengunjung yang datang berkunjung ke Wae Rebo. Keramahan ini juga penulis dapatkan dikediaman Ibu Veronika, warga kampung Denge yang menawarkan pelepas dahaga berupa kelapa muda. Kebaikan ini merupakan kenyamanan yang dirasakan penulis dan berkesan selama perjalanan menuju Wae Rebo. “Padahal kita tadinya ingin tanya arah jalan doank, namun malah dapat minum serta ngobrol yang menyenangkan” tutur Intari setelah berpamitan dari kediaman ibu etus atau ibu veronika ini.

Catatan Perjalanan: KAMPUNG ADAT TUJUH MOSALAKI

“Setidaknya butuh waktu 60 menit untuk tiba di kampung adat Nggela” ujar Ari, Guru Muda SM-3T penempatan Kecamatan Wolowaru, Minggu (15/6). Petikan percakapan ini adalah bagian dari perjalanan lanjutan yang penulis lakukan di tanah Flores ini. Kampung adat Nggela merupakan salah satu pilihan wisata yang bisa ditemukan di Kabupaten Ende atau lebih tepatnya sekitar 105 KM dari Kota Ende. Kampung adat ini berada di Kecamatan Wolojita, sebuah kecamatan yang berdampingan dengan Kecamatan Wolowaru. Untuk mencapai lokasi ini memang penulis tidak menemukan kendaraan khusus yang mengantarkan pelancong atau wisatawan ke lokasi ini. Walaupun terdapat beberapa angkutan umum yang melintas namun agaknya rute perjalanan memiliki skala waktu yang tidak sering. Oleh karena itu, bagi pelancong yang hendak menikmati suasana kampung adat Nggela sebaiknya menggunakan kendaraan pribadi atau sewa khusus.
Perjalanan wisata Flores ini penulis lakukan bersama teman-teman Guru Muda SM-3T yakni penulis, Dila Monisa asal Padang, Dian dan Dies yang merupakan Guru Muda SM-3T asal Semarang. Dengan menggunakan kendaraan roda dua perjalanan ini dimulai dari batas Kecamatan Wolowaru, dimana jarak tempuh dari kecamatan tersebut ke Kampung adat Nggela sekitar 15 KM. penasaran, ingin tahu, serta keinginan berwisata membuat penulis bersama tiga perempuan tangguh ini berangkat ke Kampung adat Nggela, sebuah kampung yang hanya penulis dengar dari cerita-cerita. Dengan jarak tempuh 15 km dari Kecamatan Wolowaru menuju ke Kampung adat Nggela memang tidak terlalu jauh. Namun perjalanan ini toh terasa agak panjang dan sedikit melelahkan ketika melihat kondisi jalanan yang agak rusak. Beberapa kali penulis mencoba mengendalikan motor dengan waspada ketika menemukan berbagai lubang-lubang besar yang terdapat di tengah jalan. Selain itu, kondisi jalan yang miring serta penurunan tajam menjadi tantangan tersendiri. Maka kehati-hatian menjadi alamat wajib yang harus diperhatikan selama melakukan perjalanan menuju ke Kampung adat Nggela ini. Perjalanan yang dimulai sekitar jam 12.30 WITA ini berakhir sekitar jam 13.30 WITA.
*** “Kampung ini terdapat tujuh mosalaki dan rumah-rumah ini menjadi tanda hidupnya Mosalaki tersebut” bapa tua. Tidak banyak keterangan yang bisa di dapatkan dalam percakapan singkat antara kami, Guru Muda SM-3T dengan para orang-orang tua yang berada di lokasi tersebut. Sembari meminta izin untuk singgah dan mengambil dokumentasi dari Kampung adat Nggela, mereka sedikit menjelaskan perihal Kampung adat Nggela ini. Sebuah rumah adat yang masih eksis di Kabupaten Ende, NTT. Rumah adat ini menjadi sebuah lambang hidupnya dari adat yang masih dipegang oleh masyarakat setempat. Walaupun mayoritas masyarakat adalah masyarakat yang menganut agama katholik namun kelestarian adat masih tetap dipegang oleh masyarakat tersebut.
Perjalanan Kampung adat Nggela masih berlanjut, usai bercakap dengan para orang-orang tua, penulis dijanu dengan keramahan di sebuah rumah milik seorang warga. Sikap ramah tamah ditunjukan oleh si pemilik rumah membuat penulis terkesan. Banyak keterangan yang diperoleh dalam percakapan-percakapan ini. Salah satunya kerajinan warga di Kampung adat Nggela yang membuat kain sarung atau kain kecil yang dibuat dengan tangan sendiri. untuk menjual kepada wisatawan mereka menjual kisaran harga 300 ribu hingga 3 juta rupiah tergantung dengan motif serta bahan yang digunakan. Tentu saja pilihan ini disesuaikan dengan kondisi keuangan. Jika di cermati, promosi penjulan kain ini sangat menarik karena warga di Kampung adat Nggela mampu memamfaatkan kondisi iklim wisata ini sebagai salah satu alternatif mata pencarian warga. ***
Kampung adat Nggela ini memiliki struktur yang khas sebagai sebuah rumah adat. Atapnya yang menjulang tinggi menunjukan khasnya dari Kampung adat Nggela ala Flores. Poin ini bisa dilihat dan dipahami bahwa Kampung adat Nggela berusaha bertahan hidup dari sisi modernisasi yang maju saat sekarang ini. Selain itu, keberadaan upacara adat berupa tinju adat serta upacara seperti laka pare menjadi bagian dari kearifan lokal yang menarik banyak wisatawan. Penulis bersama Guru Muda SM-3T mengabadikan moment ini dalam bingkai foto. Namun pengabadian ini dilakukan tanpa adanya upacara adat karena telah berlalu momentnya. Rumah-rumah adat yang berjumlah sekitar belasan ini berdiri secara simetris dalam dua baris. Adapun lapangan tengah yang menjadi pembatas antara baris pertama dan kedua rumah adat ini adalah makam-makam orang yang telah mninggal maupun batu-batu yang merupakan bebatuan dari zaman megalitikum. Penulis melihat bebatuan ini dengan bentuk yang berbagai jenis. Nilai adat yang masih bertahan tentunya di kampung adat ini.
Maka bagi yang hendak singgah ke kampung ini tentu tidak akan menyesal, khususnya bagi para pelancong yang menyukai dengan wisata sosial. Oleh karena itu bagi yang hendak pesiar ke Kampung adat Nggela ini baiknya pada saat adanya acara adat yang tentu akan merasakan suasana humanis dalam perkampungan ini. Kampung adat Nggela yang berada di Kecamatan Wolojita setidaknya menjadi pilihan wisata lanjutan yang telah berkunjung ke Danau Kelimutu. Lokasi yang tidak terlalu jauh menjadi rekomendai penulis bagi pelancong untuk singgah dan merasakan asmofer di Kampung adat Nggela ini. Tidak ada pungutan atau biaya tiket bagi pengunjung yang singgah ke kampung ini, kecuali bagi yang ingin membeli kain adat dari kampung ini yang khas dari Kecamatan Wolojita.
*** Tidak terasa waktu telah beranjak sore, usai menikmati perkampungan adat ini, perlahan penulis berserta teman-teman meninggalkan kampung ini. Sembari mengambil beberapa gambar dari sudut rumah adat ini, penulis melambaikan tangan kepada beberapa bocah yang terdengar menyorak ke arah kami. Teriakan selamat siang hingga good morning menjadi nyanyian yang agak lucu terdengar. Mungkin hal ini memang anak-anak tersebut terbiasa dengan kedatangan turi asing maupun domestik yang berkunjung Kampung adat Nggela ini.
Kampung adat Nggela yang berada di sudut terakhir jalan ini bersebelahan dengan pasar. Keramaian yang biasa dilakukan pada hari-hari tertentu.Perjalanan menujuh ke Kecamatan Wolowaru kami lanjutkan kembali ke Kecamatan Maurole. Perjalanan yang singkat di Kampung adat Nggela ini mengesankan penulis bahwa kampung tersebut layak diletarikan sebagai bentuk kebhinekaan Indonesia yang memiliki ragam bahasa, suku, dan budaya yang berbeda. Namun perbedaan yang terdapat dalam corak warna Indonesia bukan menjadi perpecahan namun menjadi perpaduan yang harus dibanggakan. Adanya dukungan infratruktur oleh pemerintah, serta corak budaya oleh masyarakat setempat tentu akan menjadi warna tersendiri bagi para pengunjung.

Catatan perjalanan : Kampung Aewora, Anahbara,dan Tanjung

Jika pada tulisan sebelumnya penulis banyak menuliskan berupa wisata alam flores yang wah maka kali ini penulis ingin menuliskan tempat yang berbeda. Sebuah tempat yang tidak dikenal sebagai tempat wisata yang sering dikunjungi namun kampung ini merupakan kampung yang menarik ketika penulis tinggal lebih dari 300 hari di Kampung Aewora ini. Tulisan ini hanya menjelaskan sedikit dari kenyamanan dari Kampung Aewora ini. Harapan semoga tulisan ini menjadi salah satu refrensi terhadap salah satu daerah di wilayah flores ini, sebagai bagian dari bagian Indonesia timur.
Kampung Aewora sebuah kampung tua yang terletak di wilayah pesisir utara flores. Jalan yang menghubungkan antara kota ende dan kota maumere ini menjadi akses utama untuk jalan trans utara. Walau seperti itu, secara administrasi Kampung Aewora terletaka sekitar 92 km dari kota ende, sebagai kota kabupaten yang menjadi induk dari desa aewora, kecamatan maurole. Sedangkan dari maumere ke Kampung Aewora sekitar 75 km. perbedaan jarak inilah lantas kebanyakan masyarakat Kampung Aewora melakukan tranksasksi perdagangan maupun pendidikan ke kota maumere, walaupun sebagian lain masih tetap ke kota ende. Untuk mencapai Kampung Aewora bisa dilakukan dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan bermotor (angkutan). Tentu saja, perbedaan angkutan untuk datang ke Kampung Aewora membutuhkan waktu yang relatif berbeda.
Masyarakat Kampung Aewora yang berdekatan dengan gunung rokatenda yang meletus tahun 2012 lalu masih harus hidup tanpa sinyal komunikasi akibat letusan hingga saat ini. Walau seperti itu, beberapa lokasi-lokasi tertentu masih dapat dijadikan sebagai akses untuk mendapatkan sinyal atau yang dikenal jaringan guna berkomunikasi. Antara lain pohon jambu mente, perumahan tertentu, dan daerah tanjung yang berjarak 3 km dari Kampung Aewora ini. Kesulitan komunikasi ini penulis sangat berharap segera diatasi oleh pihak pemerintah. Sebab kebutuhan jaringan komunikasi sangat penting untuk wilayah pesisir. Hal ini ditambah dengan adanya sarana pendidikan yakni TK, SDK, hingga SMP yang membutuhkan jaringan baik untuk komunikasi maupun proses pembelajaran yang inovatif dan kreatif.
Secara sosial masyarakat Kampung Aewora hidup secara berdampingan antar umat beragama. Dimana Kampung Aewora masyarakatnya menganut agama katholik secara mayoritas. Dan agama muslim sebagai penganut yang minoritas. Sikap hidup yang toleransi masih hidup dan bertahan hingga saat ini. Keberadaan masjid dan gereja yang berada di satu Kampung Aewora menjadi pemersatu masyarakat. Selain itu, mayoritas masyarakat Kampung Aewora merupakan petani dan nelayan, hanya sedikit yang berprofesi sebagai wiraswasta maupun tenaga pemerintah, seperti guru, pegawai, dll. Penulis yang menjadi bagian dari masyarakat Kampung Aewora dalam rangkah pengabdian Guru Muda SM-3T merasakan kenyamanan di kampung ini. Sebagai daerah lintas transportasi maupun pribadi kerap menemui orang-orang baru yang singgah di desa ini. Disamping itu, penulis juga mulai belajar menggunakan bahasa lio sebagai bahasa utama yang digunakan di kabupaten ende dalam percakapan harian. Bahasa lio tersebut seperti, laka emba, daemba, ngeraemba, wolaemba, dan emba, (dimana, kemana, bagaimana,darimana, dan mana). Sulit dan ribet untuk lidah Sumatera seperti penulis yang mempelajarinya namun bahasa ini setidaknnya menjadi pengalaman serta ilmu baru bagi penulis.
Usai menuliskan sekilas Kampung Aewora penulis hendak menuliskan mutiara yang hidup dan bersinar dari Aewora ini. Setidaknya ada beberapa hal yang menarik dari Kampung Aewora ini yang patut dirasakan maupun dicoba oleh pembaca yang ingin merasakan destinasi dari Kampung Aewora sebagai kampung kecil yang menarik. Pertama, pantai putih atau pasir putih enahbara. Pantai ini merupakan pantai yang menjadi daya tarik bagi semua orang yang pernah mendengar nama enahbara atau anabara. Pantai yang cantik, desiran ombak yang pelan namun halus terasa bagai sebuah pulau kecil yang terpisah dari hiruk pikuk dunia. Warna laut yang memiliki 3 warna ini menjadi daya tarik bagi mata yang memandang.
Jika biasanya pantai identik dengan pasir maka lain halnya dengan anahbara ini. Dimana putihnya tepian anahbara bukan karena pasir namun karena kondisi kerang atau bebatuan yang terpecah-pecah. Oleh karena itu ketika berada di pantai anahbara ini seolah berada di pulau yang terpisah dari flores ini. Pemandangan yang berlatar gunung rokatenda terlihat indah dan menawan. Penulis merekomendasikan bagi yang hendak melihat keindahan pantai ini pada saat matahari terbit, matahari tenggelam, maupun kala siang. Tiga waktu ini pengunjung akan merasakan suasana laut yang berbeda.
“Apa yang bisa dilakukan di Pantai Anahbara ini?” maka jawabannya cukup banyak. Pantai yang berada di jarak 6 km dari Kampung Aewora ini atau 10 menit dengan berkendaraan dari Kampung Aewora memiliki banyak pilihan untuk pengunjung. Bagi yang menyukai kegiatan menyelam atau snorkling, Pantai Anahbara bisa menjadi pilihan yang dirasa tepat. Laut yang maish perawan serta pemandangan dalam laut yang bersih menjadi daya tarik bagi penikmat olaraga air ini. Selain itu, menikmati sejenak alam di Pantai Anahbara dengan jepretan foto maupun video tentu menjadi pilihan yang mengesankan ketika berada di Pantai Anahbara ini. Pilihan ini bisa bertambah tergantung dengan selera, bagi yang menyukai memancing ikan, lokasi ini menjadi pilihan yang pas untuk mereka yang menyukai aktivitas tangkap ikan. Dan pilihan lain yang menarik.
Dibalik keindahan alami dari Pantai Anahbara, sayangnya pantai ini masih belum dikelola dengan baik. Tidak adanya tarif masuk untuk pesiar ke Pantai Anahbara ini menjadikan pantai ini menjadi pantai yang kosong yang jauh dari perumahan warga. Oleh karena itu, bagi yang hendak singgah atau menikmati total Pantai Anahbara ini hendaknya membawa sendiri konsumsi maupun perlengkapan yang hendak digunakan selama menikmati Pantai Anahbara.
Mutiara menarik kedua dari Aewora ini adalah Tanjung, berjarak 3 km dari kampung Aewora yang menjadi batas akhir jaringan komunikasi. Penulis menganggap hal ini menarik karena lokasi ini menjadi lokasi tumpah ruah masyarakat yang ingin berkeluh kesah dengan keluarga,teman, sanak saudara, maupun urusan lain yang harus diselesaikan dengan handphone. Lokasi tanjung ini juga menjadi tempat relokasi penduduk pulau palu’e yang terkena bencana alam gunung rokatenda yang meletus tahun 2012. Oleh karena itu lokasi ini bukan sesunyi seperti di Pantai Anahbara. Penulis memberikan rekomendasi untuk singgah dan menikmati alam di tanjung ini yang sangat menarik hati.
Sama halnya dengan Pantai Anahbara, tanjung bisa juga menjadi tempat untuk memancing maupun menyelam. Namun hal lebih dari tanjung ini adalah mudahnya mata kita bertemu dengan binatang laut. Hal ini karena lokasi tanjung penuh dengan bebatuan dan karang yang tidak terlalu dalam. Sehingga dengan jarak 5 atau 8 meter biasanya kita sudah melihat binatang laut yang terdapat di sana. Salah satunya adalah Bintang Laut. Selain kondisi alam, penulis menyukai tanjung karena apa yang dihasilkan oleh tanjung tersebut. Pada musim-musim atau tanggal tertentu biasanya tanjung menjadi lokasi untuk melakukan Joa atau menombak ikan di malam hari dan Meti mencari kerang yang bertebaran ketika pantai surut. Aktivitas ini sangat menarik ketika penulis bersama keluarga angkat melakukan dua aktivitas ini dalam hari yang berbeda.
Kampung Aewora bisa menjadi tempat yang layak untuk dikunjungi. Bagi yang hendak belajar berenang di laut, Kampung Aewora bisa menjadi pilihan yang pas. Ombak yang tidak besar melainkan tenang serta tingkat kedalaman yang hanya 70 Cm hingga 70-100 meter menjadi pilihan yang tepat. Selain itu bagi yang menyukai selam laut agaknya Kampung Aewora menawarkan keindahan alam bawah laut yang menawan.

Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...