cerita Koe dari Jogja : Cerita tentang Malioboro






Di antara kereta yang beranjak ke timur
Serta jerit peluit yang masih tersisa di telinga
Udara seperti bergetar meski hujan telah lama reda
Kita berjalan keluar meninggalkan deretan bangku itu
Dan segera nampak aspal yang mengkilat dan trotoar yang bersih..
Acep zam zam noor


Aku mengawali tulisan tentang malioboroku dari sebuah karya puisi milik sastrawan Indonesia kelahiran tasikmalaya, Acep Zam Zam. Dengan bahasa puisinya yang halus ia menceritakan sepetak tentang Malioboro, tutur tulisan membuatku terbius untuk menelusuri kawasan ramai Malioboro di suatu petang awal Maret lalu tahun 2016. Perjalanan panjang dari kota bengkoang, Padang Sumatera Barat membawa jejak kakiku di kota istimewah Yogyakarta ini. Sebuah ransel merah besar dan pakaian lusuh menjadi saksi bagaimana aku menelusuri jalanan ramai yang kaya dengan sejarah.

***
Udara sore kota Yogyakarta menamparku pelan, membangunkan dan mengingatkan  aku bahwa telah berada central java. Seusai menitipkan karelku di sebuah penginapan murah aku mulai berjalan di sekitar kawasan Malioboro. Rasa tak sabar untuk menyambangi jalan Malioboro terbayar sudah ketika aku memulainya dengan menaiki becak dengan harga murah.
“Sepuluh ribu aja mas...” ujar tukang becak berwajah cokelat. 


Sembari menikmati kayuhan becak yang berjalan pelan dan lambat aku mengulang ingatanku tentang Malioboro. Sejarah mencatat keramaian Malioboro tidak hanya berlangsung hari ini atau kemarin namun keramaian tersebut telah lama hidup bahkan sejak Indonesia belum berdaulat. Malioboro pada masa kolonialisme dan imperialisme  di Indonesia berada di bawah kedaulatan kesultanan mataram (Yogyakarta). Nama Malioboro yang berarti karangan bunga juga diidentikan dengan nama pejabat kolonial Inggris bernama Marlborough. Konsep kota Yogyakarta sedemikian berhasil mampu menjadi tata kota yang megah dan menawan. Perpaduan antar bangunan-bangunan ini bahkan tercampur dengan gaya bangunan khas eropa, jawa, dan cina. Sampai sekarang perpaduan bangunan tersebut masih berdiri kokoh di sekitar kawasan Malioboro. 

  Namun selain kekokohan dan perpaduan bangunan, sisi lain dari Malioboro ini adalah ruang berupa jalan yang tersusun berdasarkan sumbu imaginer yang diyakini sebagai sumbu atau poros yang saling berhubungan. Malioboro yang berada di tengah terhubung lurus antara arah selatan dan utara. Arah Selatan yang terhubung dengan keraton kesultanan Yogyakarata membawa garis tersebut jauh hingga ke pantai selatan. Sedangkan arah utara kawasan ini simetris dengan titik tugu Yogyakarta kemudian sejajar dengan garis Gunung Merapi. Jadi tidak heran jika kawasan Malioboro kerap menjadi tempat meting point bagi para traveller maupun backpaker yang hendak berwisata di sekitar Jogja. Selain itu, kawasan ini berdekatan dengan tempat wisata lainnya seperti tugu, keraton, taman pintar, alun-alun yang bisa dijangkau dengan berjalan kaki maupun dengan menggunakan jasa becak, tentunya setelah ditawar.

***

Aku meninggalkan lamunan sejarahku tentang Malioboro masa silam. Usai membayar becak dengan harga pas aku pun mulai menelusuri jalanan Malioboro yang kian ramai. Bersama seseorang traveller asal Banyumas Intari kami berdua menikmati indahnya Malioboro di kala malam hari.
“ wow lampu jalannya keren ya...” ujarku.
Lampu jalan yang menyala dengan warna putih menjadi terlihat mewah dengan pembungkus lampu yang berwarna hijau dibalut desain lampu klasik. Desain klasik ini seolah mengisyaratkan bahwa Malioboro bagian dari sejarah panjang sumbu imaginer. Selain model lampu jalan klasik,berbagai hiasan di sepanjang trotoar pejalan kaki terlihat unik mulai dari berbagai hasil karya berupa patung hingga slogan-slogan ramah tamah ala kota pelajar ini.
Jogja berdiri dan eskis dengan sedemikian menarik setidaknya begitulah simpulanku ketika aku menelusuri jalanan ramai Malioboro hingga ke titik nol kilometer. Mindset Jogja sebagai kota ramah dan murah menjadi magnet bagi pengunjung domestik yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia, bahkan bagi wisatawan asing luar negeri. Malioboro yang dibangun sebagai menjadi kawasan ekonomi perdagangan dan laju mobilitas kehidupan kota hingga saat ini mampu bertahan.
Aku memilih duduk bersama Intari sembari beristirahat sejenak di sebuah bangku taman yang terbuat dari kayu. Kami menikmati suasana ramai pejalan kaki sebelum kembali melanjutkan jalan kaki kami sendiri menuju ke titik nol Malioboro. Bangku taman yang berada di setiap trotoar ini memang memanjakan pengunjung untuk bisa beristirahat jika lelah berjalan-jalan. Selain bangku hiburan berupa suara radio Malioboro pun terdegar nyaring tak jauh dari aku duduk.
“Selamat datang di kawasan belanja Malioboro. Selamat menikmati wisata yang ada di Malioboro dan tetap waspada dengan barang bawaan anda semua ya...” tutur penyiar radio yang berbicara secara lugas dan friendly tersebut.
Denyut nadi Malioboro menjadi kebutuhan bagi siapa pun. Pedagang, pengunjung, bahkan bagi kota jogja sendiri sebagai citra populer sebagai kota yang istimewah bagi siapa pun yang menyambanginya.  Bahkan denyut nadi Malioboro juga menjadi nafkah bagi tukang becak hingga guide. Walau seperti itu bagi yang datang dan menikmati surga belanja murah di Malioboro boleh menawar dari setiap jasa maupun barang yang diperjual-belikan. 

***

Benteng Vredeburg

Setelah berlelah-lelah berjalan menelusuri pusat kawasan belanja kota Yogyakarta aku terhenti di sebuah pintu gerbang. Barisan motor parkir, taman, monumen, dan sebuah gerbang besar yang berdiri kokoh. Aku mengejanya pelan dan nama ejaan tersebut membawaku kembali pada ingatan historis.
“benteng vredeburg” begitu tulisannya
Sebuah benteng yang berdiri di sekitar titik nol Malioboro ini merupakan bukti tua dan nyata tentang keberadaan bangsa asing yang masuk dan berkuasa di Indonesia khususnya tanah jawa. Benteng yang dibangun pada tahun 1765 ini merupakan benteng tua dari bangunan peninggalan kolonial belanda. Pendirian benteng kokoh ini pada awalnya bertujuan untuk memperkuat hegemoni bangsa belanda di tanah jawa dan untuk mengatur sistem pemerintahan secara politik dan ekonomi.
Namun setelah Indonesia menjadi negara yang berdaulat peninggalan belanda ini berubah fungsi menjadi salah satu bangunan cagar budaya yang dilindungi. Perubahan fungsi ini juga menjadikan benteng ini sebagai museum yang saat ini diperuntukan secara umum bagi pengunjung. Dengan membayar beberapa ribu rupiah pengunjung dipersilahkan untuk menikmati kekokohan benteng vredeburg dari dekat dan menelusuri di setiap ruangan.  

Cerita Koe dari Jogja : Pustaka empat menara



Langkah kakiku melangkah ke depan secara prlahan sembari membetulkan kembali posisi tas ranselku yang agak miring. Perjalanan hampir satu jam dengan bus trans jogja membuatku  merasa bosan. Namun toh kebosananku sirna juga karena akhir perjalananku menemui ujungnya, tujuanku sendiri yakni menyambangi pustaka megah Grahatama, Yogyakarta terbayarkan. Pustaka anyar yang berada di jalan Banguntapan, Janti ini merupakan pustaka yang resmi dibuka pada awal tahun 2016. Ketertarikanku sendiri menyambangi pustaka Grahatama karena pembangunan gedung tersebut, dimana Grahatama yang diresmikan langsung oleh Sultan Hamengkubuwono XI ini  dikatakan sebagai gedung pustaka termegah di asia tenggara. Ribuan buku dengan berbagai judul dan fasilitas publik diharapkan memang menjadi gedung ilmu pengetahuan, sebagaimana peran kota Yogyakarta sendiri sebagai kota pelajar.

Jam tanganku  menunjukan pukul 10.00 wib. Sebelum memasuki gedung pustaka, terlebih dahulu aku berhenti di sebuah pondokan kecil yang berada tepat di depannya. Pondokan yang berukuran tiga kali tiga meter tersebut terdapat bongkahan batu besar hitam yang terukir berupa tulisan dan tanda tangan milik Sultan Hamengkubuwono X. Singkatnya,  kemegahan gedung  ini dibuktikan dengan bongkahan batu besar yang terukir dan menandai berdirinya gudang ilmu modern Yogyakarta. Bangunan  ini memiliki luas yakni 2,4 hektare dan dalam proses pembangunanya telah menghabiskan anggaran dana sampai 70 milyar. Dengan luas dan besaran dana untuk pembangunan ini, pustaka selain dimamfaatkan publik sebagai pusat ilmu, pustaka ini juga dilengkapi dengan fasilitas berupa taman bahkan ruang audivisual yang menayangkan film-film pendidikan.

Aku meneruskan niatku untuk memasuki ruang pustaka Grahatama. Seusai menuliskan identitas di pintu masuk dan meletakan tas di loker  yang disediakan aku berjalan menelusuri koridor pustaka. Berada di lantai dua aku bisa melihat langsung kemegahan menara Grahatama yang berjumlah empat buah. Menara yang menjadi ciri identitas pustaka ini memiliki makna. Sebagaimana nama Grahatama yang berarti tempat menyimpan swaka, empat menara tersebut dilambangkan dengan empat kesempurnaan orang jawa yakni prakoso, wuluh,wangi dan agung. Sambil duduk di taman aku juga memperhatikan kesantunan bahasa yang terukir di setiap tonggak besar yang menjadi pondasi Grahatama. Kalimat yang berupa kutipan ini  diukir dalam ukiran bahasa latin jawa.
Puas memandang sekeliling lantai dua aku beranjak dan menuju ke lantai tiga. Sebuah ruangan yang tidak terlalu luas namun tersekat dengan kaca-kaca yang tranparan. Berbeda dengan pustaka lainnya di sini alas kaki hendaknya dimasukan ke dalam kantong yang telah disediakan dan dibawa masuk. Walau sedikit ribet namun hal ini bertujuan untuk mengindari kehilangan alas kaki dan menjaga kebersihan pustaka tersebut.
***
Hal yang patut disayangkan ketika aku berkeliling pustaka ini adalah masih minimnya petunjuk atau denah ruang. Grahatama yang dibangun dengan tiga lantai ini memiliki ruang-ruang yang berbeda. Oleh karena itu jangan segan untuk bertanya kepada petugas pustaka untuk mencari ruangan yang ingin dilihat. Seperti yang aku lakukan untuk mencari ruang audiovisual. Ruangan yang menayangkan video pendek tiga dimensi ini dibuka secara umum dan gratis.
“ambil tiket dulu mas di depan setelah itu silakan turun ke lantai satu” jawab petugas pustaka
Walau video pendek ini gratis pengunjung tetap masuk melalui tiket yang disediakan di lobi pustaka. Selain untuk mencitakan budaya tertib hal ini juga membatasi penonton karena ruang audivisual yang terbatas, dimana ruangan ini hanya bisa menampung sekitar 15 penonton saja. Video yang ditayangkan dengan durasi sekitar 10-15 menit ini menayangkan film pendek berupa ruang angkasa, dinosurus, maupun film animasi yang masih bergenre pendidikan. Dengan efek enam dimensi aku bisa merasakan gejolak petualangan yang timbulkan oleh efek kacamata yang dipakai dan goyangan bangku tempat duduk yang bergerak otomatis.
Usai menonton film pendek bergaya enam dimensi aku masih memiliki kesempatan untuk menonton film pendidikan yang berada di ruang berbeda. Ruang tersebut bisa menampung penonton sampai 50 orang. Namun  sebelum menonton trelebih dahulu aku memasuki ruangan pustaka yang berisi buku bebas, biasanya novel. Rak-rak besar yang berisi buku telah dipenuhi pengunjung yang ingin merilekskan diri dengan membaca bacaan yang ringan.
Walau sedikit berantakan dengan banyaknya pengunjung yang membaca di sembarang rak akibat bangku tempat duduk yang penuh namun pustakan ini tetap sunyi dengan keheningan pembacanya. Aku lekas mengambil sebuah buku berjudul sang pemimpi karya andera hirata yang kutemukan di sudur rak. Sebuah bangku kosong terlihat baru ditingggalkan sendiri.
***
Pustaka dan buku
Grahatama adalah salah satu dari sekian banyak pustaka yang ada di Indonesia. Minimnya minat baca orang Indonesia membuat banyak perubahan dari wajah pustaka. Ketika menyambangi pustaka Grahatama saya mengingat kembali banyak pustaka yang pernah saya kunjungi, salah satunya pustaka pustaka bung hatta di bukit tinggi sumatera barat. Simpulannya saya melihat bahwa pustaka-pustaka ini memiliki daya tarik yang wah untuk mengajak masyarakat datang dan berkunjung ke pustaka.  \


Perpustakaan hanyalah salah satu tempat untuk mendapatlan ilmu. Oleh karena itu tidak ada salahnya memberikan waktu untuk berkunjung ke pustaka sebagai tempat yang membahas banyak ilmu. Tidak hanya ilmu eksak, sosial, namun juga bacaan lain yang akan memperkaya literature pengetahuan dan daya pikir pembaca.
Wajah pustaka seperti Grahatama seperti yang telah diuraikan di atas secara gamblang tidak hanya mempromosikan wajah pustaka sebagai gedung baru namun wajah lain pustaka dengan fasilitas yang dimilikinya. Adanya fasilitas berupa nonton bareng untuk film pendidikan maupun film bergaya enam dimensi menjadi promo menarik di samping buku-buku yang berjumlah ribuan yang patut menjadi refrensi bacaan.


Kesan saya ketika meninggalkan gedung ini adalah harapan. Bahwa semoga literatur yang menjadi koleksi pustaka megah ini mampu termamfaatkan sehingga menjadi kebaikan bagi masyarakat Indonesia. Menuju ke persaingan global membutuhkan persiapan yang matang, jadi mari belajar dan memamfaatkan pustaka sebagai sarana belajar.  

Catatan Pendakian Gunung Merapi : Jalan Lusuh Menuju Marapi




Perjalanan yang tak selalu senang, perjalanan yang tak selalu cerah, inilah perjalanan yang terkadang menyesakan dada
Wajah kota Padang beberapa hari ini selalu bermuram durja. Lipatan tebal awan hitam tak hentinya berada di atas dimana aku berdiri. Gumpalan ini seharusnya telah menjadi pertanda bahwa suasana hari akan turun hujan. Sungguh menyenangkan jika mengingat kebiasaan lumrah di kala hujan maupun mendung adalah berdiam diri di rumah dan menikmati hangatnya gumpalan kain tebal dan seruput minuman hangat. Namun itu doloe.
Kali ini usai melaksanakan latihan kepemimpinan dasar yang diadakan PPG UNP rekan ekonomi dan menyertakan aku bersegera dengan  tekad bulat menembus hujan dan melakukan pendakian ke gunung Marapi-Padang Panjang. Euphoria dan hawa gunung terlalu memikat teman-teman dari ekonomi ini untuk mengijakan kaki di sana. Beranggotakan delapan orang saja yakni aku, David, Willy, Yendra, Dila, Desi, Adel, dan Rina, kami memulai perjalanan di bawah langit mendung dan hujan.
Tiga buah tenda isi tiga, sebuah kompor gas, dua buah gas, lima matras, tiga sleping bag, dan peralatan nesting masuk ke masing-masing carel ukuran sedang. Perlengkapan yang sewajarnya menurutku walau akhirnya aku sadar dengan banyaknya kekurangannya nanti.
Tower Koto Baru 19.30 WIB..
Aku berdiam diri di bangunan mushalla yang dibangun dekat pintu masuk pendakian sembari menunggu waktu salat isya masuk. Perjalanan melelahkan dari kota Padang berhasil kami tembus hingga menjelang Magrib. Usai membayar registrasi masuk dan parkir sebesar 100 ribu, harga yang pantas setelah kami tawar, kami mulai bersiap. Perlengkapan pendakian di cek ulang berikut dengan mantel hujan praktis (plastic) di siapkan.
Hujan masih mengguyur sekitar Padang Panjang pada umumnya. Cuaca yang kurang bersahabat untuk melakukan perjalanan membuat kami masih betah mendiami pondokan darurat milik penduduk. Sembari memesan kopi dan teh kami menikmati apa itu kedinginan dan hujan. Kapankah hujan ini akan reda?ujarku dalam hati.
Hujan tidak hanya turun hari ini begitu kata orang asing di sebelahku. Kami yang sama memilih tempat berteduh maota lamak (bercerita enak) tentang pendakian Marapi. Menurutnya hujan sudah turun selama beberapa hari ini. Memang sudah musimnya bahwa para pendaki yang melakukan pendakian akan dihadang dengan guyuran hujan yang seolah tak pernah henti. Ia menyarankan kami untuk pintar memilih lokasi nge-camp­ karena di cadas sering terjadi badai disertai hujan.
“Dan kalo ada anak yang baru mendaki, ingat selama jalan mendaki biasakan menghirup nafas dari hidung dan dikeluarkan lewat mulut” ujar sosok asing yang menurutku telah berumur 40 tahunan. Sosok peduli kalau di alam memang hal wajar. Bahkan selama perjalanan rasa sungkan begitu saja hilang untuk saling bagi-membagi perbekalan ala kadarnya. Solidaritas yang terasa instan menurutku namun begitulah solidaritas ini tak tertandingi rasaku.     
Tidak terasa hampir sejam kami berdiam diri menunggu hujan ini berhenti mengguyur hutan pegunungan. Pertanda bakal cerah kini tinggal pertanda. Ketika curah hujan mulai mengendur kami mulai bersiap menembus hujan dan menuju cadas Marapi. Aneka mantel plastic warna-wari menjadi teman perjalanan kami. Sebuah topi dan lampu senter menjadi penerang dan penghangat perjalanan yang lembab.   
Hutan belantara
Pendakian setapak ini tidak sampai menuju ke cadas sebagaimana misi bersama. Kami akhirnya merebahkan diri di tengah hutan belantara, sekitar jalan masuk lubang mancik (lubang tikus). Tidak butuh waktu lama setelah melihat kelelahan para anggota pendakian disertai guyuran hujan membuat kami pun mengalah dan menginap di hutan belantara ini. Pilihan berhenti adalah hal wajar, memilih Nge-camp atau akan ada yang cedera akibat cuaca dan suasana malam hari yang dingin. Pilihan yang harus dipilih mengingat posisi saat ini dengan cadas tak begitu jauh lagi.
Walau track marapi adalah jalanan yang ramah bagi pendaki pemula namun di kala hujan track ini akan menjadi lembab, becek, serta terjal. Jalanan tanah menjadi lunak untuk di pijak. Maka selain memakai senter sebagian lain juga memilih menggunakan tongkat kayu untuk memapah perjalanan menuju titik bersama. Kesulitan ini bahkan harus dilalui dengan jalanan malam yang gelap gulita dan minim penerangan. Langkah kaki yang semangat mendaki lambat laun mulai tergerus lelah dan melambat. Rasa lelah mulai menyerang para pendaki malam itu.  

Rasa lelah memaksa kami akhirnya untuk  mendirikan tenda setelah melewati separuh malam atau sekitar 6,5 jam perjalanan. Tenda yang serasa kembar ini berdiri tegak berbaris ditanah landai yang agak becek. Semua beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan dini hari yang dingin itu. Memasak air, mendirikan tenda, membuat tali jemuran darurat, hingga menyalakan api unggun di sela-sela akar pohon. Lipatan-lipatan baju basah segera diganti untuk mewati dini hari yang lebih hangat.
Percakapan-percakapan santai menyelingi malam itu yang sepi. Sambil menikmati makanan ringan dan minuman hangat aku merasakan hawa kekeluargaan antar sesama pendaki yang kini terasing ditengah hutan. Rintikan hujan menjadi pelengkap malam keakraban kami yang didera kelelahan. Sebagian memilih menghangat diri di tenda dan tiba-tiba telah tertidur tanpa ucapan selamat malam. Akh mereka lelah 
Aku memasuki tenda yang kini hanya menyisakan aku yang masih tersadar. Sembari menunggu subuh aku memilih mendengarkan alunan khas milik frau di tenda sempitku. Dipenghujung dini hari aku mendengarkan lirikan frau tentang sepasang kekasih yang bercinta di luar angkasa. Lirik yang kadang memiliki gaya bahasa yang sulit diterka.
Dan subuhpun datang, aku salat dan setelah itu lekas bergegas menjumpai alam mimpi yang kini terasa berat.
***
Berat mataku untuk terjaga pagi ini. Apalagi matahari pagi masih tak terlihat walau sudah menunjukan waktu 09.00 WIB. Gumpalan kabut putih menyerang jalanan pagi ditengah hutan belantara marapi. Mereka telah bersiap untuk bergegas menuju cadas dan puncak, meninggalkan tenda dan aku untuk berjaga di sini.
“Hati-hati ya…jalan didepan agak susah tracknya jadi saling bantu saja” ujarku kepada mereka.
Berat hati untuk tidak menyamai langkah dan mencapai puncak marapi. Sebenarnya mereka memintaku untuk ikut, namun aku yang baru terjaga masih merasa sangat ngantuk untuk melakukan pendakian ini. Selain itu agaknya aku harus mengamankan beberapa perlengkapan nge camp yang agak berserakan di sekitar tenda.   
“Aku menyusul jika aku ingin”  ujarku
Cadas Marapi 11.00 WIB

Berlama-lama di tenda memang bukan hobiku rupanya. Usai membereskan beberapa perlengkapan sekitar tenda yang berserakan aku pun bersiap melewati lubang mancik dan menuju cadas, dan menjumpai taman eideiweis yang terletak dipunggung Marapi, taman yang aku rindukan.
Pendakian setapakku kini hanya seorang diri, hanya ada beberapa barisan pendaki lain yang telah mendahuluiku di depan. Sembari merasakan hangatnya cahaya matahari yang tertutup kabut aku terus mengayunkan kaki menuju ke cadas. Track lubang mancik yang dikenal terjal kini semakin sulit  untuk dilalui akibat tanah jalan yang becak dan lunak. Track ini semakin sulit tentunya jika ingin turun nantinya. Entah berapa kali aku menjumpai pendaki yang kesulitan untuk melewati track ini jika menurun.   
Cadas…
Setelah melewati jalan sempit dan becek akhirnya kaki ini untuk ketiga kalinya memijak bumi cadas marapi. Rasa puas ketika aku bisa menggapai cadas tinggi  gunung marapi. Gunung yang menurutku membuatku merasakan cinta.

Cerita perjalanan dari tanah Jogja: Sekeping keindahan dari Pantai Gunung Kidul



Bicara Yogyakarta identik dengan keramaian yang ada di sekitar Malioboro, kemegahan istana keraton yang menawan, maupun berbagai kuliner murah meriah di salah satu provinsi di Indonesia ini. Padahal, masih banyak rupanya keindahan dari Yogyakarta, khususnya dari sisi alam. Tulisan ini secara singkat mengupas keindahan pantai Yogyakarta yang penulis kunjungi beberapa saat yang lalu.
Seminggu setelah menginjakan kaki di bumi Yogyakarta ini penulis melakukan perjalanan alam, menengok sejenak indahnya pantai yang ada di kabupaten Gunung Kidul. Perjalanan mengunjungi pantai Gunung Kidul Ini dimulai dari titik pusat kota Yogyakarta. Bersama rekan backpaker ngapak bernama Imam, kami memulai perjalanan di tengah hari selepas zuhur pada hari Minggu (20/3).  Melewati jalan ring road utara kemudian melewati jembatan layang membuat perjalanan ini seolah bagiku lebih panjang dari yang aku perkirakan. 

Berbicara tentang pantai Gunung Kidul terdapat beberapa pantai yang menarik untuk dikunjungi oleh wisatawan. Keragaman antar pantai satu dengan lainnya akan menambah rasa puas dengan jalan-jalan wisata di sepanjang pantai yang berada di wilayah kabupaten Gunung Kidul ini. Adapun pantai-pantai yang terdapat di sepanjang Gunung Kidul ini meliputi Pantai Baron, Kukup, Sepanjang, Drini, Sundak, dan pantai lainnya yang menarik. Oleh karena itu, bagi pembaca yang akan menghabiskan waktu yang lama ketika berada di provinsi istimewah ini tidak ada salahnya untuk singgah di pantai-pantai di Gunung Kidul ini.
***
Denyit motor vixion kami terhenti di pos gerbang pintu masuk wisata pantai Kidul. Usai membayar harga tiket senilai dua puluh ribu kami memasuki jalanan Baron. Nama Baron merupakan nama wilayah dengan destinasi wisatanya yakni pantai. Imam menuturkan bahwa retribusi masuk itu tidak hanya berlaku untuk satu pantai saja, melainkan beberapa pantai sepanjang pantai baron. Dimana jarak antar pantai ini tidak kurang dari 1 KM.
“Dengan tiket tadi bisa kita memasuki pantai sekitar 4 tempat bro” ujarnya sembari memelankan laju motor karena jalanan pantai yang ramai.


Jam tangan ruggerku menunjukan waktu 14.35 wib ketika aku menginjakan kaki ke pantai Kukup, pantai pertama yang kami kunjungi pada sore minggu yang terasa panas. Adapun lokasi pantai Kukup ini berada di desa Kemadang, kecamatan Tanjung Sari, kabupaten Gunung Kidul. Usai menjejerkan motor di tempat parkir dan membayar jasa parkir tiga ribu rupiah kami mulai berjalan mendekati bibir pantai yang saat itu ramai pengunjung.
Sembari berjalan menuju ke lokasi pantai pasir putih Imam masih menjelaskan bahwa wisata pantai Kukup tidak hanya menawarkan keindahan dari pasir pantainya yang berwarna putih. Namun juga dengan pernak-pernik yang dijual bebas di wisata tersebut. Pedagang kuliner yang menjajakan barang dagangannya bisa jadi penarik minat wisatawan di kawasan selatan Daerah Istimewa Yogyakarta ini. Mulai dari udang goreng, aneka makanan  rumput laut, ikan laut, bahkan juga menjual aneka ikan hias. Selain kuliner, jasa foto juga banyak sekali ditemui di lokasi ini. Dengan bermodalkan kamera DSLR para jasa pencari foto ini menawarkan jasa fotonya kepada para pengunjung. Adapun kisaran harga kuliner dan foto ini sekitar 10.000-30.000 rupiah.
***
Pantai Kukup masih terasa  menyengat padahal hari telah beranjak sore. Sesampai kami berada di tepian pantai kami terus berjalan dan memilih berteduh di pinggiran pantai yang berlubang. Sore yang menurutku tidak enak jika menikmati suasana angin pantai di bawah guyuran panas matahari. Bongkahan tanah menjadi pelindung yang gratis buat kami daripada menyewa jasa tikar dan payung. Harga yang terlalu mahal untuk kocek kami berdua yang biasa pas-pas an.  


nang kene bae yak....” ujar Imam mengajakku duduk dengan logat ngapaknya yang kental.
Sambil menikmati keseruan duduk di bawah lekukan tanah yang keras, Imam kembali bercerita tentang keindahan alam yang ada di Gunung Kidul ini. Kali ini ia menuturkan bahwa ada beberapa kawasan pantai yang indah dan bisa untuk nge-camp (kemping). Wah menurutku keren, karena selama ini menurut anggapanku bahwa ngecamp hanya ada di gunung namun  ada juga di pantai.
“ok lha Mam, next time yo mangkat negcamp nang pantai”
“sipp” ujar imam sembari mengacungkan jempolnya ke arahku.
***
Setengah jam aku menghabiskan snack sembari menikmati keindahan pantai Kukup ini. Perhatian pemerintah DIY terjadap wisata alam di sepanjang Gunung Kidul berhasil agaknya menambah keindahan dari pantai ini. Keberadaan tangga penghubung antara satu tebing rendah ke bongkahan batu karang membuat pengunjung bebas menikmati desiran angin dan hentakan ombak. Selain itu keberadaan pedagang serta tempat sampah menambah nilai jual bahwa kawasan pantai ini tertata dengan baik dan tertib.
Masih berada di bawah lekukan tanah yang keras aku memperhatikan garis pantai yang panjang. Walau hentakan ombak besar berkali-kali menerjang namun pinggiran pantai tetap kering. Karang-karang yang terletak di pinggiran berhasil menahan laju ombak yang keras. Maka tidak jarang banyak penunjung bermain-main di sekitar pantai dan menangkap ikan-ikan kecil dengan jaring kecil yang dijual bebas dan murah sepertinya.
Pantai Kukup menjadi pilihan wisata keluarga pada saat penulis datang. Pinggiran pantai yang berlatar karang terlihat bening. Ikan-ikan kecil dengan warna-warna yang tidak senada terlihat di sisi karang yang dangkal. Maka tidak jarang sebuah jaring kecil laku di jual bebas di sini. Mereka menggunakan jaring tersebut untuk menangkap hewan laut yang terlihat apik di sekitar mereka. Penulis sendiri yang mencoba berjalan di sisi pantai yang dangkal dengan mudah menemui ikan-ikan tersebut sembari mencari bintang laut, namun sayang bintang laut tidak mudah ditemui di pantai ini.
Selain menikmati pinggiran pantai sembari bermain menangkap ikan, selfi atau berfoto di tengah pantai juga jadi pilihan banyak pengunjung di sini. Tips bagi pengunjung yang hendak menikmati alam pantai ini bisa membawa topi untuk menahan panas pantai yang menyengat.
***
Ada pulau dengan jembatannya


Matahari semakin menunjukan warna senjanya. Sebelum aku meninggalkan pantai ini , terlebih dahulu aku ingin menyebrang ke sebuah pulau kecil yang tak jauh dengan pantai Kukup. Melalui jembatan penyebrangan aku sampai di sebuah pulau kecil yang tertulis nama Pulau Jumino. Pulau ini oleh pemerintah setempat diperbaiki hingga sepadan. Keberadaan Pulau Jumino ini sangat strategis sehingga bisa melihat sesuatu dengan lebih puas, pemandangan pantai lepas, matahari tenggelam, maupun desiran ombak.
Menyebrang menuju ke pulau ini tidak terlalu jauh. Menapaki jembatan sepanjang delapan puluh meter pengunjung telah tiba di pulau tersebut. Sembari menikmati hembusan angin dari arah pantai dan gemuruh ombaknya biasanya pengunjung menikmati berbagai jajanan kuliner yang dibeli sebelumnya. Sangat pas kiranya jika pantai ini dijadikan tempat refreshing untuk melepas penat setelah beraktivitas.
Di pulau ini para pengunjung dapat menikmati fasilitas yang disediakan pemerintah berupa bangunan untuk sekedar berteduh dari cuaca hujan maupun panas dan deretan bangku seadanya. Walau seperti itu, bagi yang berada di pulau ini hendaknya waspada jika ingin berada di sisi tepi (luar bangunan) walau sisi ini terlihat indah namun hendaknya tetap hati-hati jika terjatuh dan terseret oleh ombak pantai Kukup yang keras.

Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...