Di antara kereta yang
beranjak ke timur
Serta jerit peluit
yang masih tersisa di telinga
Udara seperti bergetar
meski hujan telah lama reda
Kita berjalan keluar
meninggalkan deretan bangku itu
Dan segera nampak
aspal yang mengkilat dan trotoar yang bersih..
Acep zam zam noor
Aku mengawali tulisan tentang malioboroku dari sebuah karya
puisi milik sastrawan Indonesia kelahiran tasikmalaya, Acep Zam Zam. Dengan
bahasa puisinya yang halus ia menceritakan sepetak tentang Malioboro, tutur
tulisan membuatku terbius untuk menelusuri kawasan ramai Malioboro di suatu
petang awal Maret lalu tahun 2016. Perjalanan panjang dari kota bengkoang, Padang
Sumatera Barat membawa jejak kakiku di kota istimewah Yogyakarta ini. Sebuah
ransel merah besar dan pakaian lusuh menjadi saksi bagaimana aku menelusuri
jalanan ramai yang kaya dengan sejarah.
***
Udara sore kota Yogyakarta menamparku pelan, membangunkan
dan mengingatkan aku bahwa telah berada central java. Seusai menitipkan karelku
di sebuah penginapan murah aku mulai berjalan di sekitar kawasan Malioboro.
Rasa tak sabar untuk menyambangi jalan Malioboro terbayar sudah ketika aku
memulainya dengan menaiki becak dengan harga murah.
“Sepuluh ribu aja mas...” ujar tukang becak berwajah
cokelat.
Sembari menikmati kayuhan becak yang berjalan pelan dan
lambat aku mengulang ingatanku tentang Malioboro. Sejarah mencatat keramaian
Malioboro tidak hanya berlangsung hari ini atau kemarin namun keramaian
tersebut telah lama hidup bahkan sejak Indonesia belum berdaulat. Malioboro pada
masa kolonialisme dan imperialisme di
Indonesia berada di bawah kedaulatan kesultanan mataram (Yogyakarta). Nama
Malioboro yang berarti karangan bunga juga diidentikan dengan nama pejabat
kolonial Inggris bernama Marlborough. Konsep kota Yogyakarta sedemikian
berhasil mampu menjadi tata kota yang megah dan menawan. Perpaduan antar
bangunan-bangunan ini bahkan tercampur dengan gaya bangunan khas eropa, jawa,
dan cina. Sampai sekarang perpaduan bangunan tersebut masih berdiri kokoh di
sekitar kawasan Malioboro.
Namun selain
kekokohan dan perpaduan bangunan, sisi lain dari Malioboro ini adalah ruang
berupa jalan yang tersusun berdasarkan sumbu imaginer yang diyakini sebagai
sumbu atau poros yang saling berhubungan. Malioboro yang berada di tengah terhubung
lurus antara arah selatan dan utara. Arah Selatan yang terhubung dengan keraton
kesultanan Yogyakarata membawa garis tersebut jauh hingga ke pantai selatan.
Sedangkan arah utara kawasan ini simetris dengan titik tugu Yogyakarta kemudian
sejajar dengan garis Gunung Merapi. Jadi tidak heran jika kawasan Malioboro
kerap menjadi tempat meting point
bagi para traveller maupun backpaker yang hendak berwisata di
sekitar Jogja. Selain itu, kawasan ini berdekatan dengan tempat wisata lainnya
seperti tugu, keraton, taman pintar, alun-alun yang bisa dijangkau dengan
berjalan kaki maupun dengan menggunakan jasa becak, tentunya setelah ditawar.
***
Aku meninggalkan lamunan sejarahku tentang Malioboro masa
silam. Usai membayar becak dengan harga pas aku pun mulai menelusuri jalanan
Malioboro yang kian ramai. Bersama seseorang traveller asal Banyumas Intari kami berdua menikmati indahnya
Malioboro di kala malam hari.
“ wow lampu jalannya keren ya...” ujarku.
Lampu jalan yang menyala dengan warna putih menjadi terlihat
mewah dengan pembungkus lampu yang berwarna hijau dibalut desain lampu klasik.
Desain klasik ini seolah mengisyaratkan bahwa Malioboro bagian dari sejarah
panjang sumbu imaginer. Selain model lampu jalan klasik,berbagai hiasan di
sepanjang trotoar pejalan kaki terlihat unik mulai dari berbagai hasil karya
berupa patung hingga slogan-slogan ramah tamah ala kota pelajar ini.
Jogja berdiri dan eskis dengan sedemikian menarik setidaknya
begitulah simpulanku ketika aku menelusuri jalanan ramai Malioboro hingga ke
titik nol kilometer. Mindset Jogja
sebagai kota ramah dan murah menjadi magnet bagi pengunjung domestik yang
berasal dari berbagai wilayah di Indonesia, bahkan bagi wisatawan asing luar
negeri. Malioboro yang dibangun sebagai menjadi kawasan ekonomi perdagangan dan
laju mobilitas kehidupan kota hingga saat ini mampu bertahan.
Aku memilih duduk bersama Intari sembari beristirahat
sejenak di sebuah bangku taman yang terbuat dari kayu. Kami menikmati suasana
ramai pejalan kaki sebelum kembali melanjutkan jalan kaki kami sendiri menuju
ke titik nol Malioboro. Bangku taman yang berada di setiap trotoar ini memang
memanjakan pengunjung untuk bisa beristirahat jika lelah berjalan-jalan. Selain
bangku hiburan berupa suara radio Malioboro pun terdegar nyaring tak jauh dari
aku duduk.
“Selamat datang di kawasan belanja Malioboro. Selamat
menikmati wisata yang ada di Malioboro dan tetap waspada dengan barang bawaan
anda semua ya...” tutur penyiar radio yang berbicara secara lugas dan friendly
tersebut.
Denyut nadi Malioboro menjadi kebutuhan bagi siapa pun.
Pedagang, pengunjung, bahkan bagi kota jogja sendiri sebagai citra populer
sebagai kota yang istimewah bagi siapa pun yang menyambanginya. Bahkan denyut nadi Malioboro juga menjadi
nafkah bagi tukang becak hingga guide. Walau seperti itu bagi yang datang dan
menikmati surga belanja murah di Malioboro boleh menawar dari setiap jasa
maupun barang yang diperjual-belikan.
***
Benteng Vredeburg
Setelah berlelah-lelah berjalan menelusuri pusat kawasan
belanja kota Yogyakarta aku terhenti di sebuah pintu gerbang. Barisan motor
parkir, taman, monumen, dan sebuah gerbang besar yang berdiri kokoh. Aku
mengejanya pelan dan nama ejaan tersebut membawaku kembali pada ingatan
historis.
“benteng vredeburg” begitu tulisannya
Sebuah benteng yang berdiri di sekitar titik nol Malioboro
ini merupakan bukti tua dan nyata tentang keberadaan bangsa asing yang masuk
dan berkuasa di Indonesia khususnya tanah jawa. Benteng yang dibangun pada
tahun 1765 ini merupakan benteng tua dari bangunan peninggalan kolonial
belanda. Pendirian benteng kokoh ini pada awalnya bertujuan untuk memperkuat
hegemoni bangsa belanda di tanah jawa dan untuk mengatur sistem pemerintahan
secara politik dan ekonomi.
Namun setelah Indonesia menjadi negara yang berdaulat
peninggalan belanda ini berubah fungsi menjadi salah satu bangunan cagar budaya
yang dilindungi. Perubahan fungsi ini juga menjadikan benteng ini sebagai
museum yang saat ini diperuntukan secara umum bagi pengunjung. Dengan membayar
beberapa ribu rupiah pengunjung dipersilahkan untuk menikmati kekokohan benteng
vredeburg dari dekat dan menelusuri di setiap ruangan.