Dia telah tua
Permata yang dulu dibanggakan sekarang menyisakan warna
kusam yang getir..
Bangunan tua itu masih
berdiri kokoh ditengah ramainya kendaraan yang melintas di jalan lintas utama Purwokerto-Yogyakarta.
Warna dinding yang sempat kusam kini terlihat segar akibat pengecatan ulang
berwarna putih. Menara cerobong yang dahulu sempat dirobohkan kini juga mulai
dibangun kembali. Menara tersebut harus tetap ada sebagai bukti sisa-sisa
kejayaan yang menjadi bagian utama dari bangunan tua itu. Bangunan tinggi
menjulang tersebut harus dipertahankan sebagai bentuk eksistensi sejarah emas
pabrik gula di masa lalu.
pabrik gula yang terlihat usang, f/pri/2015 |
Miris, mungkin begitu pandangan umum yang menyayangkan
keberadaan pabrik gula kalibagor yang saat ini tidak terurus. Padahal secara status,
keberadaan pabrik gula ini telah dianggap sebagai cagar budaya pemerintah
daerah Banyumas. Bahkan secara perencanaan ekonomi sempat diisukan bahwa pabrik
gula akan kembali di jalankan sebagaimana fungsinya. Namun semua status dan
perencanaan hambar bagai debu-debu pabrik usang yang terbang akibat digilas
oleh laju kendaraan yang melintas.
Pabrik gula Kalibagor yang
terletak di bagian Sokaraja Kidul, Kecamatan Kalibagor, Kabupaten Banyumas ini
merupakan pabrik terbesar di era pemerintahan kolonial Hindia Belanda hingga
menjelang pergantian abad ke 21. Pabrik yang dikenal dengan nama asing Suikerfabriek
Kalibagor merupakan hasil dari
gebrakan sejarah yang dipopulerkan oleh Jenderal Hindia Belanda Jenderal
Johanes Van De Bosh bernama politik Culturstelstel.
Pabrik gula yang dibangun pada tahun 1839 oleh Sir Edward Cooker Jr pada
awalnya didirikan untuk memperbaiki ekonomi negeri Belanda yang hancur oleh
perang dalam dan luar negeri. Pengoperasian pabrik ini pun masih berlanjut
setelah kemerdekaan Indonesia, dimana pabrik ini dinasionalisasikan sebagai Perusahaan
Tambang Perkebunan Negara IX atau PTPN.
Pabrik yang berdiri
seluas 11 hektar ini tidak hanya berdiri bangunan bekas pabrik saja namun juga
bangunan lain seperti perumahan dinas para pegawai belanda dan pribumi. Selain
bangunan, sisa sisa kejayaan pabrik juga ditemukan melalui banyaknya bekas
bekas jalan lori yang dipergunakan sebagai pengangkut tebu. Sebagai bahan baku
utama, tebu-tebu yang digiling oleh pabrik berasal dari wilayah perkebunan
rakyat sekitar Kalibagor, Banyumas bahkan kabupaten tetangga. Dalam
pengoperasiannya pabrik ini mampu menyerap tenaga kerja hingga mencapai seribu
karyawan. Namun akibat goncangan ekonomi di tahun 1997 pabrik ini bangkrut.
Memang pada awalnya pabrik ini sempat akan dilakukan Diamalgasi yaitu penggabungan dengan pabrik lain namun kondisi saat
itu eror sehingga nasib pabrik dan
karyawan pabrik ini terbengkalai.
***
jalan penghubung antara purwokerto-jogja, f/pri/2015 |
“Ganu ya pabrik kie apik
banget” dalam bahasa Indonesia artinya dahulu pabrik ini bagus sekali. Ungkapan
ini saya dapatkan kala sempat bertanya kepada orang tua yang telah tinggal lama
di sekitar kalibagor. Ia tidak mengingat seberapa banyak pabrik ini memberikan
mamfaat bagi masyarakat maupun negara. Namun ia hanya bisa mengingat bahwa
pabrik ini adalah bangunan luas yang selalu ramai. Orang tuanya bahkan kakek
buyutnya pernah menjadi bagian dari pabrik gula. Pabrik yang mengolah gula
rakyat ini telah menggerakan perekonomian masyarakat saat itu.
Dalam berbagai sumber, saya
menemukan bahwa pabrik gula ini bisa mencapai produksi gula hingga 100 ton per
hari. Sebuah jumlah yang besar jika bisa dibayangkan oleh pemerintah saat ini. Namun
di sisi lain, ketimpangan sangat nyata antara jumlah kebutuhan masyarakat
dengan kebutuhan gula membuat pemerintah tega
mencukupinya dengan melakukan impor. Bahkan setiap musim giling tebu di kota
Purwokerto maupun sekitar pabrik akan ada berbagai keramaian aktivitas hiburan
baik itu wayang orang, wayang kulit, dan hiburan lain yang sulit terlupakan
oleh generasi tua sekarang ini yang pernah menjalaninya.
Bangunan tua ini tidak
hanya menyisakan replika kegagahan menara namun juga tulisan besar “ Pabrik
Gula Kalibagor 1839” mengisyaratkan bahwa pabrik ini adalah simbol dari
kemakmuran rakyat. Namun simbol kejayaan ekonomi itu terabaikan oleh halaman
luas yang kini dipenuhi rumput liar atau bangunan tua yang hanya bisa
disinggahi oleh truk besar setiap harinya.
***
“ Jarenne siki ya angker
“ dalam bahasa Indonesia katanya sekarang angker. Kutipan ini terngiang saat
saya menanyakan bangunan tua ini kepadanya. Bangunan tua yang tidak dihuni
hanya menyisakan bangkai-bangkai besar yang tidak terurus. Sesekali memang ada
manusia yang berdiri di sekitar pabrik ini, biasanya mereka hanya ngarit, ambil rumput untuk makan ternak.
Mungkin ya begitu
kodratnya, saat bangunan lagi tidak terisi sudah jamak muncul di masyarakat
bahwa bangunan itu akan menjadi angker atau seram. Hal ini ditambah lagi dengan
adanya beberapa makam orang belanda yang dikuburkan di belakang area pabrik.
Salah satunya makam pendiri pabrik gula Sir Edward Cooke.
prie dn |
Pabrik ini telah menjadi
sejarah kejayaan ekonomi dan sebenarnya juga solusi memperbaiki ekonomi rakyat
Indonesia yang rendah. Namun hingga detik ini pabrik dahulu sempat menjadi
permata telah kusam. Bangunan demi bangunan semakin tidak terurus. Kekokohannya
agaknya akan segera rapuh dan hilang. Sejarah barupa bangunan akan hilang dan
menyisakan fosil-fosil yang tidak bisa dibagikan kepada generasi mendatang.
Jika sudah begini saya sepakat jika sementara baik juga isu angker disematkan untuk
pabrik yang berumur hampir 2 abad ini. Setan sendiri mungkin enggan membiarkan
bangunan ini koyak tanpa di mamfaatkan. Padahal mungkin dalam sejarah pembangunan
dan kejayaannya ada darah rakyat Indonesia yang mati menjadi tumbal akibat
keganasan politik kolonial belanda.
No comments:
Post a Comment