Catatan Perjalanan : Melepas penat dengan wisata alam Siti Nurbaya


Siti Nurbaya siapa yang tidak mengenal tentang sosok perempuan yang konon berasal dari ranah minang. Kisah asmara Siti Nurbaya dengan Samsul Bahri yang terhalang oleh kekuasaan Datuk Maringgi terkenal ceritanya nan abadi, tempo dulu hingga sekarang. Di kota Padang, penggunaan nama Siti Nurbaya dijadikan ikon antara lain wisata Jembatan Siti Nurbaya, Makam Siti Nurbaya, Taman Siti Nurbaya bahkan baru-baru ini digunakan juga untuk event kesenian maupun dalam event olahraga. Singkat kata nama Siti Nurbaya itu telah lekat dengan ingatan di ranah minang ini. Dan tulisan ini adalah seri penulis yang kali ke ketiga menyambangi Taman Siti Nurbaya di sela padatnya perkuliahan.  
Kamis, (14/5) cuaca Kota Padang agak berawan, sambil menyiapkan kamera nikon kesayanganku aku berdoa semoga hujan tidak turun hari ini. Wisata sambil refreshing setelah melewati perkuliahan yang padat membawaku dan beberapa rekan untuk rehat dengan  melihat alam serta kota Padang lebih luas melalui puncak taman Siti Nurbaya. Taman yang juga terdapat _eplica makam Siti Nurbaya ini terletak masih kawasan area kota Padang, lebih tepatnya di Muaro Padang. Jaraknya tidak terlalu jauh selama berada titik startnya kota Padang, dan aku memulainya dari Air Tawar, kampus Universitas Negeri Padang  (UNP).     
***
Sebuah angkot berwarna putih bermotif unik berhenti mendadak di hadapanku. Setelah diskusi panel sederhana dengan rekanku untuk menentukan rute perjalanan akhirnya Aku, Yusuf, Aririn, Marlianti, dan Yunika menaiki angkutan umum yang lebih dikenal dengan angkot. Perjalanan ini tidak membutuhkan waktu lama. Wisata murah ke taman Siti Nurbaya hanya dua kali menyambung angkot Air Tawar-Pasar Raya-Muaro Padang, butuh sekitar sejam perjalanan. Sedangan biaya yang dikeluarkan juga tidak terlalu mahal cukup 4000 rupiah untuk sekali perjalanan.

Pasar raya di pertengahan siang sekitar jam 10 pagi masih sepi. Para pedagang baru datang dan sedikit yang mulai menata barang dagangan mereka. Setiba di pasar raya kami segera mencari angkot berwarna biru arah ke Muaro Padang. Sembari menunggu beberapa kami memilih untuk mencari makanan untuk di makan setiba di taman siti nurbaya nanti. Hasilnya dua platik penuh dengan gorengan berhasil di angkut ke angkot biru yang selanjutnya kami naiki.
***
Perjalanan di mulai, tanpa angkot apa lagi ojek perjalanan ini dimulai dengan kaki, lebih tepatnya berjalan kaki. Yunika yang merasa sudah lama meninggalkan kebiasaan naik tanjakan kini hanya berdehem dalam hati, “aku bisa, aku kuat” mungkin begitu sugesti yang coba ia tanamkan. Memang sebelumnya aku tidak menceritakan detil perjalanan ini.
“yuk kita jalan” ujarku setelah membayar uang masuk lima ribu per orang.

Tidak selalu pengunjung yang datang ke Taman Siti Nurbaya seperti kami, bergaya ala traveler sebaliknya beberapa kali aku berselisih dengan pengunjung yang datang dengan pakaian atau style olahraga. Memang taman Siti Nurbaya menjadi rute untuk sekedar melepas penat setelah jogging pagi. Bisa juga menjadi alternative bagi yang menyukai jogging di sepanjang taplau untuk singgah ke taman Siti Nurbaya ini.
Apa yang ada di taman Siti Nurbaya ini? Hal ini yang ingin aku tulis dalam cerita ini. Perjalanan menuju puncak taman Siti Nurbaya ini setidaknya pengunjung akan menemukan peninggalan sejarah berupa meriam non aktif bekas masa kependuduk jepang dan bungker. Penulis sendiri tidak mampu menuliskan lebih jauh karena hanya itu saja yang penulis tahu tentang keberadaan peninggalan sejarah tersebut. Selain itu, sepanjang mata kita akan melihat pantai dan lautan lepas yang memukau.
Maka ketika melewati hal yang menarik dalam tanda relative ini entah berapa kali moment tersebut diabadikand alam jepretan kamera. Hasilnya natural dan indah menurutku. Setelah memanjakan mata dengan melihat keindahan laut kini kami harus berolahraga nafas. Yup, jalan-jalan ala hacking dimulai. Untuk mencapai ketinggian taman Siti Nurbaya sekitar 220 Mdpl setidaknya gerakan kaki melambat dan nafas mulai tersengal. .
“yuk, dikit lagi nyampek di ujung sana” begitu jawab ku sederhana saja ketika lian menanyakan ujung pendakian ini.
Memang untuk menuju puncak butuh pendakian trek yang menanjak. Keberadaan penyanggah sangat membantu bagi pengunjung yang kesulitan menaiki jalan menanjak. Namun jalan yang menanjak ini sangat bagus jika mampu dimamfaatkan sebagai angel dalam menjepret foto.
***
Puncak, walaupun tidak harus berkeringat berlebihan namun akhirnya aku sampai di puncak ini kembali. Tidak hanya kami, namun juga terdapat pengunjung lainnya. Taman Siti Nurbaya tidak terlalu luas seperti lapangan bola. Namun barisan taman tersebut tersusun rapi dan indah pepohonan nan rindang tumbuh besar di pinggiran taman, sedangkan tatanan lantai taman juga terukir indah dengan garis-garis tanpa makna. Bagi pengunjung yang tidak membawa bekal pribadi di taman terdapat penjual yang menjual makanan dan minumaan yang bisa di santap kala di puncak.

Tidak hanya manusia yang ada dan menikmati alam di puncak taman Siti Nurbaya ini namun juga monyet yang berkeliaran bebas di dahan-dahan pohon. Monyet tersebut tidak terlalu besar untuk ukuran badanya. Namun kelincahan hinggap diantara dahan cukup membuat aku terkagum. Tips bagi yang membawa makanan harap berhati-hati karena monyet ini tidak segan untuk mengambil dengan tersembunyi maknan yang tergeletak sembarangan.
***
Usai menghabiskan sekitar 90 menit di puncak kami memutuskan untuk turun dan pulang. Gumpalan awan yang berlipat agaknya akan segera menurunkan beban air ke bumi ranah minang ini. Namun sebelum pulang kami sempat menyinggahi  makam Siti Nurbaya. Ingat di makam ini tidak dianjurkan untuk mengambl gambar, jadi biasanya pengunjung yang datang ke tempat ini hanya sekedar melihat makam Siti Nurbaya yang konon hanya replika saja.


Jadi, ada yang berminat ke Taman Siti Nurbaya.

No comments:

Post a Comment

Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...