Satu
malam, waktu yang tak pernah cukup…
Usai menjelajah alam Singgalang awal
bulan Agustus lalu, kembali aku melanjutkan track
pendakian ke Gunung Marapi. Gunung api yang berhadapan langsung dengan Gunung
Singgalang. Semua berlangsung singkat saja, semua demi moment kemerdekaan, dan
aku demi sebuah kenangan. Perjalananku tidak lagi bersama rombongan Singgalang lalu
namun dengan rombongan dari satu angkatan Pendidikan Profesi Guru-Universitas
Negeri Padang (PPG-UNP). Tekad untuk mengibarkan bendera merah putih di
ketinggian 2891 MDpl membawa Aku, Febi, Hamdi, Romi, Frans, Devi, Yopi, Fitri, Anggi,
dan Lia melakukan pendakian. Perjalanan yang dimulai sejak tanggal 15 Agustus ini
hanya bisa aku lalui semalam saja.
***
“Beko
di ateh kan ado upacara (nanti di atas kan ada upacara)“ tutur seorang
bapak yang kini beralih profesi dari petani menjadi juru parkir Gunung Merapi.
Sambil mengatur puluhan motor para
pendaki yang masuk juru parkir dengan jaket hitam lusuh itu bercerita lepas tentang
marapi hari ini, entah kepadaku atau kepada orang lain yang serupa denganku
yakni bertanya. Rapatnya parkiran motor di area stasiun TV nasional swasta Kota
Baru-Padang Panjang setidaknya menjadi tanda kalau pendakian menuju ke Gunung
Marapi mencapai ribuan. Sayang lelaki paruh baya itu tidak tahu menahu jumlah
pasti pendaki yang naik ke Marapi hingga sore tanggal 15 Agustus itu.
“yang
jaleh banyak lha yang naiak (yang jelas banyak lah yang naik)”. Tuturnya
polos,
Usai
membayar registrasi berupa biaya masuk sebanyak 12.500 dan parkir 10.000 per
motor kami memulai bersiap perjalanan.
Sekilas sebelum memulai jalan kaki ini,
perjalanan ini sendiri ditempuh dengan menggunakan sepeda motor dari titik
start kota Padang sejak pukul 13.45 WIB. Perjalanan membutuhkan selama 2,5 jam.
Sesampainya di Padang Panjang kami bergegas bergerak ke pos pelaporan
pendakian. Alhasil perjalanan ini dimulai sekitar sore yang akan meninggalkan
matahari. Usai lapor diri kami beristirahat di pintu rimba guna melaksanakan
salat Magrib berjamaah, romi selaku imam membawa kami untuk menjama’ dengan Salat
Isya sekalian.
***
Dalam perjalanan pendakian ini aku
tersenyum geli, seolah berkhayal imajiner. Andai saja sosok seperti Gie masih
hidup, tentu ia akan senang bahwa banyak orang yang menjadikan gunung sebagai
tempatnya keheningan dan ketenangan. Padahal di masa lampau mendaki gunung
adalah sekumpulan aktivitas yang hanya dimiliki orang aneh seperti Gie. Namun
entahlah apakah ia akan senang ketika mendaki hanya menjadi ajang gaya-gaya an.
Akh sapa yang akan tahu. Gie telah
lama meninggal, kini hanya beberapa pejuang yang memiliki kemiripan seperti Gie
yang masih hidup dengan ketenangan di gunung.
Bayangan imajiner itu muncul usai aku
melihat banyaknya pendaki gunung yang sepakat ingin mencapai puncak. Tidak
hanya puluhan atau ratusan namun ribuan. Satu hal yang kami takutkan adalah
masih adakah tempat di atas puncak itu untuk kami. Perjalanan dimulai dengan
saling sapa, melewati, bahkan tertinggal.
Namun pendakian ini berakhir dengan
pecahnya dua rombongan. Lahan untuk mendirikan tenda yang sempit ketika di
cadas akhirnya membuat pilihan sebagian rombonganku berhenti dan nge camp di sekitar shelter 3. Sedangkan
beberapa orang lain termasuk aku yang masih kuat tetap nanjak menuju cadas dan
mencari lahan untuk mendirikan tenda. Perjalanan ini sendiri yang dimulai sejak
jam 18.50 berakhir di cadas di jam 01.00 wib.
Tengah malam yang kian dingin kontras
dengan pemandangan suara gaduh dan riuh dibanding dengan tawa malam para
pendaki. Kerlipan lampu malam terlihat berdenyut indah. Namun sayang biasan
puncak singgalang tertutup awan gelap. Tebaran bintang dan bulan juga kompak
menyembunyikan dirinya dibalik kumpulan awan. Setelah sesampai cadas aku
menyempatkan diri untuk mencari lahan guna menegakan tenda. Ratusan tenda yang
telah berdiri membuat rekan lain mencari lahan yang cukup. Puncak kemerdekaan
memaksa aku berbagi tempat dengan mereka yang lebih dahulu tiba di cadas.
***
Sebuah tenda tegak dengan sempurna, kami
yang berada di cadas kembali membagi kelompok. Aku dengan Romi memilih tanah
datar tanpa atap tenda sebagai tempat tidur. Suasana yang sempurna untuk
memandang langit yang kini bertabur dengan bintang. Pertanda hujan tak turun malam itu.
Jadi, praktis malam itu untuk kali kedua
aku tidur tanpa tenda. Rupanya pendakian yang terpisah dengan rombongan awal
dalam kondisi yang tidak seimbang. Tenda isi 3 yang terbawa rupanya,sedangkn
jumlah anggota yang sampai cadas ada 5 orang. Bentangan matras dan sleping bad menjadi penghangatku di
samping sebuah minuman hangat dan mie yang aku beli dari sebuah kadai di area cadas seharga 5000 rupiah.
***
Aku tersentak dengan butiran dingin di
wajahku, entah apakah itu butiran salju atau butiran es, begitu dingin. Butiran
itu memaksaku untuk membuka mata, rupanya tetesan embun yang ditandai dengan
gumpalan awan hitam dipagi ini. Setelah menunaikan salat subuh kembali aku
menatap bayangan gunung singgalang yang kini tertutup habis.
“Sayang sekali kita gak dapat sunrise”
Salah satu sebab pendakian Marapi
menjadi pendakian favorit karena sunrise
dan sunset. Namun cuaca memang sedang
tidak bersahabat. Gumpalan awan hitam menggulung cahaya pagi dalam lelapnya
sinar mentari. Walau seperti itu keindahan puncak Marapi masih aku rasakan
ketika menuju ke puncak. Bebatuan yang lembab serta lembah eidelweis tetap
memberikan pesona. Namun sayang sekali pendakianku ini hanya sejenak, akan ada
cerita lain mungkin esok ketika aku kembali lagi ke sini.
***
Banyak keindahan yang ditawarkan oleh
Marapi. Gunung aktif ini memiliki pesona keindahan yang wajib di nikmati. Namun
cuaca bisa menjadi kendala dalam menikmati pesona ala mini. Oleh karena
itu,bagi yang hendak mendaki gunung Marapi ada baiknya mempersiapkan
perlengkapan yang utuh dan baik.
“Alam memiliki penguasa dan manusia
tidak bisa melawannya, kecuali menaklukannya”
Kadai di cadas
Marapi
Benar kata orang bahwa perniagaan adalah
urat nadi bagi urang minang. Lihat
saja dalam pendakian yang penulis lakukan ini. Sepanjang perjalanan, penulis
tidak hanya menjumpai pepohonan maupun akar kayu namun juga kadai (baca:warung). Sepanjang
perjalanan menuju ke cadas penulis menjumpai setidaknya terdapat lima kadai . empat dalam proses perjalanan
pendakian dan satu kadai ketika
berada di cadas. Sayang penulis tidak banyak bertanya perihal kadai kepada si pemilik.
Kadai
yang dibuat sepanjang perjalanan ini memang
dimamfaatkan benar oleh pendaki yang kelelahan maupun pendaki yang membutuhkan.
Sesuai dengan prinsip ekonomi mungkin bahwa adanya pedagang karena adanya
kebutuhan. Penulis sendiri merasa terbantu kala berada di cadas. Dengan uang
lima ribu rupiah setidaknya penulis mendapatkan air panas dalam satu botol
penuh.
Bahkan jajanan yang dijual para urang kadai ini tidak hanya dijual
ditempat, kadang ada juga yang berjalan-jalan menghampiri pendaki yang duduk
atau ditenda guna menawarkan dagangannya.
“Air panas, kopi, teh, mie rebus,
bakwan, rokok..” begitu tawarnya kala melintasi tenda kami.
Apa
pun itu, begitulah uniknya cadas di Marapi ini. Jadi bagi yang mendaki di
moment liburan pasti akan menemukan kadai-
kadai di sekitar perjalanan Marapi ini.
No comments:
Post a Comment