“what do you think about Wae Rebo?”
“Very nice, I like it”
Percakapan itu merupakan bagian dari percakapan ala kadarnya penulis kepada Quentin dan Remi, dua turis asing asal negara Perancis yang berkunjung ke Kampung adat Wae Rebo Sabtu, (28/7). Tidak hanya dua turis asing ini namun juga banyak wisatawan dalam negeri yang menyempatkan diri untuk melihat secara langsung perkampungan yang terletak di atas pegunungan yang tinggi ini. Sama halnya dengan Quentin dan Remi, penulis pun yang melakukan perjalanan panjang demi melihat lekukan-lekukan rumah adat yang menjulang tinggi ke atas. Selain itu, nilai lebih dari kampung adat Wae Rebo adalah kemampuannya dalam menjaga eksistensi dirinya untuk bertahan hingga detik saat ini. Wajar kiranya Wae Rebo menjadi menu wajib yang harus dikunjungi oleh wisatawan ketika menginjakkan kakinya di pulau Flores ini.
Jam tangan penulis menunjukan waktu 09.30 WITA, ketika aku berada di kampung adat itu. Perjalanan selama 3 jam terbayar ketika mata ini memandang deretan jerami yang menjulang tinggi. Perjalanan ini bukan hanya perjalanan yang dilewati dengan menit atau jam melainkan waktu yang cukup panjang. Perjalanan yang penulis lakukan bersama rekan SM-3T Intari Nur Faisah merupakan perjalanan lintas kabupaten, yakni Kabupaten Ende, Nagekeo, Ngada, Manggarai Timur, hingga ujung barat Flores Manggarai Barat. Perjalanan yang menggunakan kendaraan bermotor ini memberikan efek touring yang panjang. Pencapaian menuju ke Wae Rebo adalah sebuah angan yang dipupuk hingga titik ini. Wae Rebo yang didaualat sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO tahun 2012 tentu menjadi sebuah ikon yang menarik hati bagi banyak kalangan,khususnya wisatawan asing. Blasius pemilik penginapan yang juga putra asli dari kampung Wae Reb yang menetap di desa Denge mengatakan hal serupa bahwa Wae Rebo menjadi sebuah magnet bagi banyak wisatawan. “Setidaknya setiap hari memang ada saja wisatawan domestik maupun luar negeri yang sengaja datang ke Wae Rebo “ ujar bapak yang memiliki empat orang anak ini.
Maka ketika bicara tentang Wae Rebo mindset yang muncul dari Wae Rebo adalah sebuah kampung dan pegunungan. Kampung ini berdiri secara terpisah dari pemukiman penduduk biasanya yakni di Denge maupun di kampung Longos (titik terdekat perkampungan pada umunya). Secara administrasi Wae Rebo adalah bagian dari Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai Barat. Kehidupan yang terjalin di kampung Wae Rebo tidak ubahnya seperti aktivitas masyarakat pada umumnya. Masyarakat hidup sebagai petani, kopi, jeruk, sayuran, dan aktivitas lain guna menyambung hidup. Namun hal yang menarik dari Wae Rebo menurut penulis adalah cara bertahan masyarakat untuk tetap hidup diketinggian 1100 Mdpl atau sekitar 9 km dari perkampungan di Denge. Wajar kiranya Wae Rebo yang bertahan mampu menjadi magnet bagi wisatawan untuk melihat bagaimana penduduk Wae Rebo tersebut bertahan.
Penulis adalah salah satu mata manusia yang ingin melihat langsung penduduk Wae Rebo dan perkampungan tersebut tetap hidup. Perjalanan yang dimulai dari lokasi penempatan SM-3T yakni Kecamatan Maurole menjadi titik pertama perjalanan panjang ini dimulai. Memang untuk mencapai kampung Wae Rebo ini pengunjung bisa melakukannya dengan kendaraan bermotor maupun mobil. Tentu saja hal ini memiliki perbedaan yang sangat kontras dilihat dari sisi kenyamanan maupun efektifitas waktu yang dimiliki. Penulis yang melakukan perjalanan bersama Intari membutuhkan waktu dua hari untuk mencapai Wae Rebo. Rute tersebut meliputi Kecamatan Maurole-Detusoko-Kota Ende-Nangapenda-jalan lintas Nagakeo-Boawae-Ngada-jalan lintas Ruteng-Borong-Ruteng-jalan lintas Labuhan Bajo-Kecamatan Satarmese Barat-Kampung Dintor-dan berakhir di kampung Denge.
****
“Tung..tung” suara bunyi lonceng aku pukul dengan agak keras. Getaran suara yang berasal dari bambu ini adalah sebuah keharusan yang harus dilakukan oleh setiap pengunjung sebelum menjejakan kaki ke Wae Rebo. Tanda berupa lonceng inilah yang akan menjadi sebuah tanda akan adanya persiapan yang dilakukan oleh masyarakat Wae Rebo yang biasa bertugas menyambut tamu yang datang ke kampungnya tersebut. Selain itu, setiap pengnjung yang telah memasuki kampung Wae Rebo harus mematuhi segala aturan yang masih dijaga di kampung tersebut. Salah satu yang harus dilakukan adalah menjaga etika selama di kampung tersebut.
“Nanti sebelum melakukan upacara adat, jangan foto-foto dulu kalo gak mau kameranya rusak” tutur Agus Kuncoro, sesama penikmat kampung Wae Rebo yang saat ini sedang melakukan syuting jejak petualangan Trans TV. Sikap saling mengingatkan Agus ini juga merupakan bagian dari saling menyambung lidah dari masyarakat Wae Rebo yang terkadang kesulitan dalam berkomunikasi bahasa indonesia secara komunikatif. Penulis yang mengiyakan mencoba memahami hal tersebut sebagai bagian dari kearifan lokal yang harus dihormati tanpa harus dianggap sebagai ancaman.
***
Untuk kali pertama penulis menjejakan kaki di kampung adat yang menjadi warisan dunia ini. Setelah membunyikan bel berupa ketukan berulang dari sebuah bambu langkah selanjutnya penulis bersama wisatawan yang baru tiba harus mengikuti upacara sederhana dari rumah adat utama atau yang disebut wealue. Upacara sederhana ini dipimpin oleh pimpinan adat yang megucapkan beberapa kalimat dalam bahasa Manggarai yang asing terdengar. Konon bahasa yang diucapkan sebagai bagian dari budaya ini mengatakan bahwa si ketua adat memohon kepada leluhur untuk memberikan izin kepada penulis bersama pengunjung lainnya selama berada di Wae Rebo .
Usai membayar biaya masuk berupaa biaya upacara sederhana 20.000 per kelompok dan 100.000 rupiah per orang maka dimulailah proses menikmati kampung adat Wae Rebo. Kampung ini penuh dengan gumpalan awan putih yang berada di sekitar perkampungan. Atap rumah adat yang menjulang tinggi terlihat kokoh berdiri menahan beban yang ada dalam rumah tersebut. Rumah yang dibangun dengan kesederhanaan ini setidaknya menjadi bagian dari budaya yang tidak bisa dihilangkan hingga saat ini.
Suasana perkampungan Wae Rebo yang cukup ramai karena musim libur sekolah. Oleha karena itu, anak-anak mereka yang telah libur kembali ke Wae Rebo untuk sekedar membantu orang tua mereka atau untuk berlibur di Wae Rebo. Selaian itu tebaran kopi terlihat berjajar di depan halaman rumah yang sederhana itu. Kopi adalah maskot dari Wae Rebo, dimana rasa kopi dari kampung ini memiliki rassa yang kha bagi penikmat kopi. Maka biasanya pengunjung yang hendak pulang kembali ke asalnya mereka akan membeli kopi maupun kain asli Wae Rebo yang dijual dengan harga yang bervariasi. Jika kopi dijual dengan harga sekitar 35.000 rupiah hingga-50.000 rupiah per bungkunya. Edangkan kain mencapai harga ratusan ribu rupiah. Penulis akhirnya menjatuhkan pilihan kepada kopi saja untuk dibeli dan segera dinikmati sesampainya di rumah.
***
Waktu memang berjalan cepat ketika kita merasakan nyaman, begitu halnya ketika undangan makan siang dari ketua adat kepada penulis dan pengnjung lainnya. jika jam tangan tadi menunjukan waktu 09.30 WITA kini jam tangan ku menunjukan waktu 12.00 Wita. Usai makan bersama dengan makanan berupa nasi yang ditambah sayur dan ambal cabe yang teramat pedas maka kini saatnya penulis bersiap untuk beranjak pulang. Sebuah pilihan memang bagi pengunjung yang hendak memilih menginap atau tidak selama di Wae Rebo. Namun karena penulis memiliki jadwal lain yang harus dilakukan maka perjalanan di Wae Rebo cukup eharian aja tanpa inap semalam. Bagi pengunjung yang hendak inap semalam di Wae Rebo akan dikenakan biaya inap ekitar 250.000 per orang.
Berpamitan kepada ketua adat seraya mengucapkan terimah kasih untuk suguhan tersebut. Penulis kembali menikmati sejenak aroma Wae Rebo yang dilihat dengan mata telanjang tanpa bidikan kamera. Senyum keramahan penduduk, udara yang dingin, rumah-rumah yang dibangun kokoh, serta aturan yang dibuat menjadi bagian dari khas Wae Rebo yang memang harus diletarikan hingga saat ini. Jejak kaki ku dengan Intari kini kemabli berada di ata kampung Wae Rebo. Walaupun jam tangan menunjukan waktu siang namun cuaca kampung Wae Rebo masih dingin, bahkan tertutup oleh kabut yang berjalan menutupinya sejenak dan perlahan.
***
“
Syukurlah jika sudah sampai, dan terima kasih ya untuk kedatangannya ke Wae Rebo” sebuah pean pendek ku baca pelan. Rupanya pesan yang baru terkirim langsung dibalas oleh bapa Blasius. Dalam komunikasi tulisan ini, orang asli Wae Rebo ini juga menawarkan penginapan di Denge bagi pengunjung yang kemalaman atau datang di sore hari dengan tarif inap 175.000 per orang. Biaya ini termasuk makan dan minum selama di rumahnya yang ia sulap menjadi home stay yang nyaman bagi pengunjung yang datang berkunjung ke Wae Rebo.
Keramahan ini juga penulis dapatkan dikediaman Ibu Veronika, warga kampung Denge yang menawarkan pelepas dahaga berupa kelapa muda. Kebaikan ini merupakan kenyamanan yang dirasakan penulis dan berkesan selama perjalanan menuju Wae Rebo. “Padahal kita tadinya ingin tanya arah jalan doank, namun malah dapat minum serta ngobrol yang menyenangkan” tutur Intari setelah berpamitan dari kediaman ibu etus atau ibu veronika ini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku
( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...
-
Judul : Kuli Kontrak Penulis : Mochtar Lubis Penerbit : Yayasan Obor Indonesia Tebal : 107 Halaman Tahun Terbit : 1985 Kuli k...
-
Judul : Raden Fatah Penyuting : Daryanto Penerbit : Tiga Kelana Tebal : 470 Halaman Tahun terbit : 2009 ============================...
-
Judul : 41 warisan kebesaran gus dur Penulis : M.Hanif Dhakiri Penerbit : LKiS Tebal : 204 Halaman Tahun terbit : 2010 Sejara...
No comments:
Post a Comment