Catatan Perjalanan : Setapak menujuh Kampung adat Wae Rebo

“Selamat siang..” sapaan hangat dari masyarakat asli Wae Rebo ketika penulis bertemu mereka di jalan setapak ini.
 “Selamat siang juga bapa, mama, “ujarku membalas sapaan mereka sembari ikut mengulurkan tangan ketika mereka hendak menjabat tanganku ini.
Hal diatas adalah peristiwa yang lumrah namun mengesankan ketika penulis bersama Intari melakukan perjalanan dengan jalan kaki menuju Kampung adat Wae Rebo. Melalui batas awal dari kampung denge sebagai kampung terakhir yang bisa menggunakan motor maka rute selanjutnya adalah berjalan kaki. Pendakian yang tidak terlalu menanjak namun terus menerus ini menjadi pengalaman yang baru bagi penulis dan Intari berada di sini. Jalanan yang dilewati ini setidaknya menjadi uji nyali bagi penikmat alam yang jauh dari hingar-bingar keramaian kota.
Tulisan ini menuliskan rute pendakian yang penulis lakukan untuk mencapai Kampung adat Wae Rebo. Sebuah kampung yang menjadi magnet karena karakteristik kampung tersebut mampu bertahan hingga saat ini. Penghargaan yang didapatkan sebagai bagian dari warisan budaya dunia oleh UNESCO tahun 2012 menjadi bukti bahwa Kampung adat Wae Rebo merupakan bagian dari budaya bangsa yang mendunia. Tidak hanya wisatawan lokal yang sengaja untuk melihat Kampung adat Wae Rebo namun juga turis-turis asing dari berbagai belahan dunia datang dan singgah menikmati kekayaan alam dari Kampung adat Wae Rebo ini. Maka wajar kiranya Kampung adat Wae Rebo yang terletak di Manggarai Barat menjadi destinasi wisata yang terus menarik minat wisatawan, dan salah satu ikon yang patut dipilih selama di Flores ini.
Pendakian menuju Kampung adat Wae Rebo ini setidaknya akan melewati sungai serta perbukitan yang memiliki alur sebagai jalan setapak utama. Alur inilah yang digunakan oleh masyarakat sekitar untuk mengangkut bahan ke desa Denge untuk dijual maupun masyarakat yang membawa bahan makanan untuk dibawa ke Kampung adat Wae Rebo. Jalannan ini juga yang digunakan oleh wisatawan untuk berkunjung ke Kampung adat Wae Rebo. Maka wajar kiranya daam perjalanan wisatawan dan masyarakat bertemu untuk sekedar tegur sapa.
Pendakian untuk menuju Kampung adat Wae Rebo membutuhkan waktu normal sekitar 4-5 jam perjalanan. Namun bagi masyarakat asli waktu ini tentu akan terlalu lama karena mereka biasa mendaki dengan lebih cepat. Pada rute awal yakni dari desa denge usai menitipkan motor di rumah bapak blasius kami melakukan pendakian pada jam 06.30 WITA. Tidak hanya kami berdua, namun juga teradapat beberapa wisatawan asing dan domestik yang telah berjalan terlebih dahulu. Usai negosiasi tentang jalan pendakian dan porter kami akhirnya memilih untuk tidak menggunakan jasa porter yang dikenakan biaya 100.000 per hari ini. “biar hemat dikit” ujarku. Perjalanan panjang dari ende ke manggarai barat ini lumayan mengeluarkan ongkos yang besar untuk ukuran kantong Backpacker Sekalian seperti penulis ini.
Setidaknya dalam alur perjalanan ini dari batas kampung denge, perjalanan yang melalui jalan setapak belum terlalu mendaki,hingga batas sungai pertama. Kondisi jalan yang agak becek membuat kaki harus berhati-hati akan melangkah. Selain itu, binatang penghisap darah terkadang muncul walau tidak terlalu banyak. Maka dari itu pakaian yang hendak dipakai usahakan celana panjang dan baju panjang. Namun penulis tidak merekomendasikan kepada pengunjung ketika dalam perjalanan ini menggunakan baju yang berlapis atau tebal. Memang suhu udara dingin ketika berada di Denge maupun Kampung adat Wae Rebo namun dalam perjalanan kaki ini akan membuat badan terasa agak hangat bahkan berkeringat.
Titik pertama dari denge perjalanan setapak ini akan berhenti di waelembu, sebuah titik pemberhentian setelah melewati lintasan sungai yang kedua. Pada titik ini biasanya pengunjung beristirahat sembari melihat pemandangan alam hutan yang tertutup. Selain itu, tanda baca berupa pesan dari masyarakat Wea Rebo menjadi bahan bacaan selama pemberhetian ini. Salah satu pesan yang tertulis dari spanduk ini adalah permintaan kepada pengunjung untuk menjaga etika selama di alam liar seperti tidak membuang sampah sembarang tempat maupun berteriak-teriak tanpa alasan yang jelas. Sebuah pesan yang menjadi kearifan lokal di alam yang jauh dari keramaian. Penulis yang mengenakan baju hitam pendek serta celana training berbahan kain tipis seperti dasar payung sesekali menyeka keringat yang sudah mulai bercucuran. Sedangkan intari yang mengenakan kaos hitam ala jogja serta training juga merasakan hal yang sama. Usai beristirahat sejenak serta minum air seperlunya perjalanan dilakukan lagi. Kali ini rute waelembu menujuh ke Pocoroko agak terjal. Kondisi jalan yang terus naik ke atas serta babatuan bekas longsor membuat kami harus berhati-hati. Bahkan sesampai di jalanan ini kami bertemu dengan wisatawan yang mulai merasa kelelahan bersama porter yang sengaja mereka sewa untuk mengangkut beban tas yang cukup berat untuk dibawa ke Kampung adat Wae Rebo. Perjalanan yang ditemani dengan suara burung menjadi musik tersendiri yang nyaring terdengar. Hutan lebat yang membuat mata ini terbatas untuk memandang semakin terasa pekat ketika kabut putih mulai menyelimuti. Tidak ada hal yang mengusik keamanan selama perjalanan ini. Walaupun kondisi jalanan yang agak licin dan terjal namun langkah kaki tidak terbawa jatuh bahkan terpeleset. Maka penulis merekomendasikan bagi pengunjung yang hendak naik ke Kampung adat Wae Rebo hendaknya menggunakan sepatu atau sandal yang bisa nyaman untuk melakukan pendakian agar kaki tidak terasa pegal atau terpeleset. ***
Akhirnya perjalanan ini membawa kami ke Pocoroko. Tempat pemberhentian kedua, usai waelembu. Pada titik inilah biasanya masyarakat sekitar menggunkan jasa komunikasi dengan nyaman. Pada titik kampung Denge maupun Longos hingga Kampung adat Wae Rebo tidak terdapat jaringan untuk berkomunikasi. Jika masyarakat denge harus ke tepian pantai di perkampungan muslim dintor maka masyarakat Kampung adat Wae Rebo harus berjalan menujuh ke Pocoroko. Namun dalam perjalanan ini penulis dan intari tidak dapat menikmati romantisme sinyal tersebut, adanya akibat kabut tebal membuat jaringan ini agak terhambat. Melewati Pocoroko ini sebenarnya tidak terlalu jauh. Hanya sedikit pendakian dan penurunan menuju Kampung adat Wae Rebo. Selain itu, batas ukuran perjalanan juga sudah diukur dalam papan kecil yang sengaja ditulis dan ditanam di sekitar jalan setapak ini. Hal ini cukup membantu bagi pengunjung untuk segera sampai ke Kampung adat Wae Rebo. Penulis pun yang ikut terbantu setidaknya bisa mengatur ritme langkah untuk segera sampai di Kampung adat Wae Rebo tersebut. Dalam perjalanan ini penulis sesekali berhenti di papan penunjuk tersebut guna menuliskan kembali angkah yang telah hilang di papan. Tulisan yang ditulis rupanya terlepas dan hilang oleh karena itu berbekal spidol permanen tulisan itu kembali penulis ukir dalam tintah hitam. ***
Perjalanan yang membutuhkan waktu 4 jam ini kami lewati sekitar 3 jam perjalanan. Proses perjalanan yang terus jalan karena tidak inap di Kampung adat Wae Rebo membuat perjalanan ini harus dipercepat. Usai membunyikan tanda masuk pengunjung di sebuah rumah sebagai gerbang masuk penulis menuruni jalan menuju Kampung adat Wae Rebo. Perjalanan panjang ini akhirnya berakhir ketika mata ini memandang sendiri puncak-puncak Kampung adat Wae Rebo ini. Masyarakat yang tersenyum ramah menjadikan titik sambutan yang mereka lakukan kepada setiap pengunjung. Alam Kampung adat Wae Rebo memang indah, seperti dalam cerita maupun dalam tulisan orang-orang hebat yang pernah singgah di Kampung adat Wae Rebo ini. Waktu yang seolah tidak cukup dan terlalu cepat memaksa langkah kaki penulis untuk segera turun kembali denge. Perjalanan panjang terbayar usai langsung berinteraksi dengan masyarakat Kampung adat Wae Rebo dan utamanya alam Wae Rebo itu sendiri. jepretan kamera dalam bingkai gambar maupun video menjadi kenangan yang tidak terlupakan. * **
Untuk mencapai Kampung adat Wae Rebo memang sangat jauh. Penulis yang melakukan aksi Backpacker Sekalian dari Kecamatan Maurole (Ende) menuju ke Manggarai Barat memang membutuhkan waktu yang agak lama. Maka salah satu pilihan singgah dalam perjalanan ini dan memudahkan adalah penerimaan yang baik dari teman-teman Guru Muda SM-3T asal UNRI. Tema Backpacker Sekalian yang merupakan saling kunjung ini, juga sekalian untuk berwisata namun mana yang lebih dominan maka penulis ingin menyeimbangkannya. Kebaikan teman-teman Guru Muda SM-3T asal UNRI yang memberikan tempat untuk sekedar beristirahat setidaknya menjadi pengalaman bagi penulis yang melakukan perjalanan jauh ke Ruteng ini. Trims teman-teman sesama Guru Muda SM-3T…

7 comments:

  1. Trekking menuju waerebo wajib pakai guide gan?

    ReplyDelete
  2. gak sih friend, tapi di aturan wajib. kmrn saya dg teman gak pake guide soalnya kondisi keungan yg tipis. tapi kebetulan kmrn juga ada turis yg pake guide jadi kita jln breng...

    ReplyDelete
  3. kalo menginap di waerebo, kabarnya 250.000/orang (dapat makan selama tinggal) ?? benar begitu gan?

    ReplyDelete
  4. oh ya, kalo pakai guide berapa gan?? trus nginep dirumah pak blasius gak?

    ReplyDelete
  5. kalau mw inap di waerebo kita dikenakan biaya 250/orang ditambah uang upacar adat minimal 20.000 per kelompok bukan per orang. nanti tk inapnya sudah termasuk makan dan mnum selama di waerebo

    ReplyDelete
  6. biaya Guide 100 per hari kalo tidak salah. itu bisa patungan saja dg teman2 lain yg membutuhkan guide. dan fungsi guide selain menunjukan jalan juga memberitahukan kita ttg apa saja di wae rebo tersebut

    ReplyDelete
  7. oh y untuk no pak blasius kalo mw inap ini ada 081339350775, hrga inap ditempat beliau adalah 175/orang. termasuk makan dan minum

    ReplyDelete

Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...