Catatan Perjalanan: KAMPUNG ADAT TUJUH MOSALAKI
“Setidaknya butuh waktu 60 menit untuk tiba di kampung adat Nggela” ujar Ari, Guru Muda SM-3T penempatan Kecamatan Wolowaru, Minggu (15/6).
Petikan percakapan ini adalah bagian dari perjalanan lanjutan yang penulis lakukan di tanah Flores ini. Kampung adat Nggela merupakan salah satu pilihan wisata yang bisa ditemukan di Kabupaten Ende atau lebih tepatnya sekitar 105 KM dari Kota Ende. Kampung adat ini berada di Kecamatan Wolojita, sebuah kecamatan yang berdampingan dengan Kecamatan Wolowaru. Untuk mencapai lokasi ini memang penulis tidak menemukan kendaraan khusus yang mengantarkan pelancong atau wisatawan ke lokasi ini. Walaupun terdapat beberapa angkutan umum yang melintas namun agaknya rute perjalanan memiliki skala waktu yang tidak sering. Oleh karena itu, bagi pelancong yang hendak menikmati suasana kampung adat Nggela sebaiknya menggunakan kendaraan pribadi atau sewa khusus.
Perjalanan wisata Flores ini penulis lakukan bersama teman-teman Guru Muda SM-3T yakni penulis, Dila Monisa asal Padang, Dian dan Dies yang merupakan Guru Muda SM-3T asal Semarang. Dengan menggunakan kendaraan roda dua perjalanan ini dimulai dari batas Kecamatan Wolowaru, dimana jarak tempuh dari kecamatan tersebut ke Kampung adat Nggela sekitar 15 KM. penasaran, ingin tahu, serta keinginan berwisata membuat penulis bersama tiga perempuan tangguh ini berangkat ke Kampung adat Nggela, sebuah kampung yang hanya penulis dengar dari cerita-cerita.
Dengan jarak tempuh 15 km dari Kecamatan Wolowaru menuju ke Kampung adat Nggela memang tidak terlalu jauh. Namun perjalanan ini toh terasa agak panjang dan sedikit melelahkan ketika melihat kondisi jalanan yang agak rusak. Beberapa kali penulis mencoba mengendalikan motor dengan waspada ketika menemukan berbagai lubang-lubang besar yang terdapat di tengah jalan. Selain itu, kondisi jalan yang miring serta penurunan tajam menjadi tantangan tersendiri. Maka kehati-hatian menjadi alamat wajib yang harus diperhatikan selama melakukan perjalanan menuju ke Kampung adat Nggela ini. Perjalanan yang dimulai sekitar jam 12.30 WITA ini berakhir sekitar jam 13.30 WITA.
***
“Kampung ini terdapat tujuh mosalaki dan rumah-rumah ini menjadi tanda hidupnya Mosalaki tersebut” bapa tua.
Tidak banyak keterangan yang bisa di dapatkan dalam percakapan singkat antara kami, Guru Muda SM-3T dengan para orang-orang tua yang berada di lokasi tersebut. Sembari meminta izin untuk singgah dan mengambil dokumentasi dari Kampung adat Nggela, mereka sedikit menjelaskan perihal Kampung adat Nggela ini. Sebuah rumah adat yang masih eksis di Kabupaten Ende, NTT. Rumah adat ini menjadi sebuah lambang hidupnya dari adat yang masih dipegang oleh masyarakat setempat. Walaupun mayoritas masyarakat adalah masyarakat yang menganut agama katholik namun kelestarian adat masih tetap dipegang oleh masyarakat tersebut.
Perjalanan Kampung adat Nggela masih berlanjut, usai bercakap dengan para orang-orang tua, penulis dijanu dengan keramahan di sebuah rumah milik seorang warga. Sikap ramah tamah ditunjukan oleh si pemilik rumah membuat penulis terkesan. Banyak keterangan yang diperoleh dalam percakapan-percakapan ini. Salah satunya kerajinan warga di Kampung adat Nggela yang membuat kain sarung atau kain kecil yang dibuat dengan tangan sendiri. untuk menjual kepada wisatawan mereka menjual kisaran harga 300 ribu hingga 3 juta rupiah tergantung dengan motif serta bahan yang digunakan. Tentu saja pilihan ini disesuaikan dengan kondisi keuangan. Jika di cermati, promosi penjulan kain ini sangat menarik karena warga di Kampung adat Nggela mampu memamfaatkan kondisi iklim wisata ini sebagai salah satu alternatif mata pencarian warga.
***
Kampung adat Nggela ini memiliki struktur yang khas sebagai sebuah rumah adat. Atapnya yang menjulang tinggi menunjukan khasnya dari Kampung adat Nggela ala Flores. Poin ini bisa dilihat dan dipahami bahwa Kampung adat Nggela berusaha bertahan hidup dari sisi modernisasi yang maju saat sekarang ini. Selain itu, keberadaan upacara adat berupa tinju adat serta upacara seperti laka pare menjadi bagian dari kearifan lokal yang menarik banyak wisatawan. Penulis bersama Guru Muda SM-3T mengabadikan moment ini dalam bingkai foto. Namun pengabadian ini dilakukan tanpa adanya upacara adat karena telah berlalu momentnya.
Rumah-rumah adat yang berjumlah sekitar belasan ini berdiri secara simetris dalam dua baris. Adapun lapangan tengah yang menjadi pembatas antara baris pertama dan kedua rumah adat ini adalah makam-makam orang yang telah mninggal maupun batu-batu yang merupakan bebatuan dari zaman megalitikum. Penulis melihat bebatuan ini dengan bentuk yang berbagai jenis. Nilai adat yang masih bertahan tentunya di kampung adat ini.
Maka bagi yang hendak singgah ke kampung ini tentu tidak akan menyesal, khususnya bagi para pelancong yang menyukai dengan wisata sosial. Oleh karena itu bagi yang hendak pesiar ke Kampung adat Nggela ini baiknya pada saat adanya acara adat yang tentu akan merasakan suasana humanis dalam perkampungan ini. Kampung adat Nggela yang berada di Kecamatan Wolojita setidaknya menjadi pilihan wisata lanjutan yang telah berkunjung ke Danau Kelimutu. Lokasi yang tidak terlalu jauh menjadi rekomendai penulis bagi pelancong untuk singgah dan merasakan asmofer di Kampung adat Nggela ini. Tidak ada pungutan atau biaya tiket bagi pengunjung yang singgah ke kampung ini, kecuali bagi yang ingin membeli kain adat dari kampung ini yang khas dari Kecamatan Wolojita.
***
Tidak terasa waktu telah beranjak sore, usai menikmati perkampungan adat ini, perlahan penulis berserta teman-teman meninggalkan kampung ini. Sembari mengambil beberapa gambar dari sudut rumah adat ini, penulis melambaikan tangan kepada beberapa bocah yang terdengar menyorak ke arah kami. Teriakan selamat siang hingga good morning menjadi nyanyian yang agak lucu terdengar. Mungkin hal ini memang anak-anak tersebut terbiasa dengan kedatangan turi asing maupun domestik yang berkunjung Kampung adat Nggela ini.
Kampung adat Nggela yang berada di sudut terakhir jalan ini bersebelahan dengan pasar. Keramaian yang biasa dilakukan pada hari-hari tertentu.Perjalanan menujuh ke Kecamatan Wolowaru kami lanjutkan kembali ke Kecamatan Maurole. Perjalanan yang singkat di Kampung adat Nggela ini mengesankan penulis bahwa kampung tersebut layak diletarikan sebagai bentuk kebhinekaan Indonesia yang memiliki ragam bahasa, suku, dan budaya yang berbeda. Namun perbedaan yang terdapat dalam corak warna Indonesia bukan menjadi perpecahan namun menjadi perpaduan yang harus dibanggakan. Adanya dukungan infratruktur oleh pemerintah, serta corak budaya oleh masyarakat setempat tentu akan menjadi warna tersendiri bagi para pengunjung.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku
( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...
-
Judul : Kuli Kontrak Penulis : Mochtar Lubis Penerbit : Yayasan Obor Indonesia Tebal : 107 Halaman Tahun Terbit : 1985 Kuli k...
-
Judul : Raden Fatah Penyuting : Daryanto Penerbit : Tiga Kelana Tebal : 470 Halaman Tahun terbit : 2009 ============================...
-
Judul : 41 warisan kebesaran gus dur Penulis : M.Hanif Dhakiri Penerbit : LKiS Tebal : 204 Halaman Tahun terbit : 2010 Sejara...
No comments:
Post a Comment