Catatan Perjalanan : Nangaba is wonderful





 “Nangaba is wonderful…” begitulah kalimat yang terungkap ketika penulis melakukan hacking di air terjun ini. Air terjun setinggi sekitar 25 meter ini mer upakan wisata alam yang terletak di pedalaman yang jauh dari Kota Ende. Jarak yang jauh serta track jalan yang agak berat toh tidak membuat semua personil guru-guru muda SM-3T yang mengikuti hacking ini merasa menyesal. Sebaliknya rona-rona kepuasan akan perjalanan ini terpancar. Entah berapa jepretan dari berbagai kamera berhasil mendokumentasikan perjalanan serta air terjun ini. Daya tarik dari Nangaba ini memang bukan sekedar isapan jempol saja. Beruntung rasanya bisa sampai di wisata alam yang terletak di flores ini.


Perjalanan ini merupakan perjalanan liburan yang dilakukan oleh penulis bersama guru muda SM-3T asal Jogjakarta UNY. Pemilihan Nangaba merupakan pemilihan yang berawal dari penuturan rekan guru muda SM-3T lainnya yang pernah berkunjung ke air terjun tersebut. Nangaba yang merupakan air terjun alami dan baru dikenal juga penulis dengar dari warga sekitar. Menurutnya air terjun ini dulunya tidak pernah ada yang tahu, bahkan hanya segelintir orang desa saja yang kebetulan mencari kayu atau berburu sampai di air terjun ini. Namun sekarang air terjun ini menjadi daya tarik wisatawan baik dalam negeri maupun luar negeri. 


Untuk mencapai air terjun Nangaba dimulai dari basecamp UNY di jalan Ujung Aspal. Ketika matahari menunjukan waktu 07.00 WITA, rombongan yang berjumlah belasan guru muda SM-3T ini bersiap untuk segera berangkat. Melewati pasar Kota Ende terlebih dahulu beberapa diantaranya sarapan dan menyiapkan bekal. Perjalanan menuju ke air terjun Nangaba ini disepakati melalui jalan lintas alam. Artinya wisata alam ini akan dilakukan dengan track ala hacking. Oleh karena itu stamina menjadi kebutuhan utama agar mampu menjalani track hacking yang lumayan berat. Usai sarapan rombongan ini mencari angkutan umum arah kecamatan nangapanda. Dengan modal ongkos sekitar 5000 rupiah akhirnya perjalanan ke air terjun Nangaba siap dimulai. 


Rute untuk mencapai air terjun Nangaba ini dapat dilalui dengan dua jalan, pertama melalui jalan pedesaan yang bisa dilalui dengan motor maupun mobil. Perjalanan ini nantinya akan berhenti di dusun Woloora, desa Tonggopapa, kecamatan Ende. Setelah itu perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju ke bawah dengan berjalan kaki. Untuk waktu yang dihabiskan jika dimulai dari Kota Ende hingga di air terjun Nangaba ini sekitar 1,5 jam atau 2 jam. Jalan kedua untuk mencapai air terjun Nangaba ini dapat juga dilakukan dengan jalan kaki. Sama halnya yang penulis bersama guru muda SM-3T lakukan ini. Usai menaiki angkutan umum ini penulis bersama rombongan berhenti di simpang masuk di jalan raya. 


Perjalanan yang dicapai dengan jalan kaki ini setidaknya melewati perumahan warga desa. Ketika melewati batas akhir perkampungan entah kenapa ada jasa seorang pemuda yang menawarkan diri untuk mengantar ke air terjun tersebut. Pada awalnya kami menolak namun agaknya memang si pemuda tadi hendak memberikan jasa bantuan tersebut tanpa bayaran. Walaupun pada akhirnya kami sekedar memberikannya beberapa cemilan serta uang beberapa ribu rupiah. Perjalanan usai melewati batas akhir perkampungan dilalui dengan jalan mengikuti alur sungai yang terkadang menanjak serta semak belukar. Jika jalan pertama menghabiskan waktu sekitar dua jam maka perjalanan dengan cara hacking ini membutuhkan waktu yang lebih lama yakni hampir empat jam perjalanan. Air terjun yang terletak di alam ini juga saat itu belum memiliki retribusi yang ditentukan oleh pemerintah setempat. Maka dari itu perjalanan ini memang tetap membutuhkan biaya namun biaya untuk pribadi. Jika dilihat perjalanan ini memang penulis agaknya memberikan saran bahwa Nangaba yang merupakan wisata alami ini perlu mendapat perhatian pemerintah dengan perbaikan jalan atau peningkatan lokasi seba gai lokasi hacking yang nyaman serta menarik pengunjung

 
. *** 



Wisata alam ala hacking ini tidak hanya melalui jalan yang lebih panjang dan berliku namun juga pemandangan alam yang tersaji ketika hendak menuju ke air terjun tersebut. Lintasan-lintasan alam berupa batu-batuan yang besar serta genangan air yang tenang menjadi view yang menarik bagi penulis pribadi dan rombongan lainnya. beberapa kali kami juga harus menyebrang melalui jembatan berupa polongan air maupun batu yang sulit untuk di seberangi. Tips memang untuk melakukan hacking ini adalah sebaiknya mengenakan pakaian yang simple serta makanan yang cukup sebagai bekal karena ketika berada di air terjun tersebut tidak ada toko makanan maupun minuman secara bebas dan legal. 
Sekitar pukul 11.00 WITA akhirnya perjalanan ini sampai di puncak keindahan yakni air terjun Nangaba . Ketinggian serta lebar air terjun ini memang menjadikan air terjun ini berbeda dengan lainnnya. Bahkan dalam bahasan artikel yang pernah penulis baca bahwa debit air ini tidak menurun walaupun kondisi alam sekitar ende sedang mengalami musim kemarau. Curah air inilah yang mungkin dimamfaatkan oleh warga sekitar untuk membangun polongan besi yang berisi air guna mencukupi kebutuhan air di sekitar. Ketika musim kemarau memang kebutuhan akan air menjadi hal utama untuk didapatkan. 


Geliat air terjun yang deras dengan airnya serta peluh keringat yang hinggap membuat rasa ingin segera merasakan kesejukan air tersebut. Tidak butuh lama dan aba-aba ketika masing-masing dari rombongan mulai mencoba dingin dan sejuknya air terjun tersebut. Pada awalnya berenang yang dilakukan dengan cara melewati batas tepi, namun melihat tebing datar dan menanjak di sekitar air terjun mereka mencoba dengan gaya lainnya yakni melompati dari batas normal ketinggian. Hasilnya wah hasil jepretan maupun rasa bagi yang mencoba cukup seru.
Waktu terus beranjak menunjukan hari yang semakin siang. Kami hanya berenang sejenak sebelum akhirnya menunaikan Salat Zuhur dan makan siang. Setelah itu aktivitas berenang dilanjutkan. Ibarat kesempatan mungkin ini adalah kesempatan yang didapatkan sekali, khususnya penulis yang terbiasa dengan wilayah pesisir pantai kampung aewora ini. Oleh karena itu tanpa ba-bi-bu kami mulai menikmati keindahan alam Nangaba dengan berenang di terjun ini. Airnya memang sangat dingin, sesuai dengan kondisi alam yang epkat dengan hutan, letak ketinggian yang tidak terlalu dalam jadi memudahkan bagi pengunjung untuk berenang ke tempat ini. Dalam perjalanan ini penulis dan rombongan tidak hanya ditemani oleh rombongan itu sendiri namun juga rombongan lain yakni sebuah keluarga yang sengaja singgah ke air terjun ini. Rupanya sedari dulu mereka hendak ke sini namun ketika masa libur lebaran akhirnya mereka sampai di sini. Sedikit salam kenal dan foto-foto akhirnya. Perkenalan yang singkat ini juga membawa kami pada kesimpulan yang sama yakni tertarik datang karena adanya cerita berupa pengalaman sebelumnya.
*** 

Rombongan kembali berkemas usai berenang dan makan siang. Bersiap untuk kembali ke Kota Ende melanjutkan aktivitas yang akan segera dilakukan. Jika pada awal pergi datang dengan jalan hacking ini maka lain halnya dengan pulang rombongan hacking ini pulang dengan jalan kedua. Jalan ini tidak terlalu sulit hanya sedikit menanjak dan tiba di perkampungan warga. Tidak butuh waktu lama sebuah mobil proyek melintas di depan kami. Dengan kebaikan dari si pemilik mobil kami pun beranjak meninggalkan titik tempat air terjun itu. Kepuasan terlihat di wajah kami. Penulis pun berharap ada waktu lain yang bisa membawa penulis kembali ke tempat ini. Semoga, 

Jepretan kamera




Jepretan kamera


Jepretan kamera


Jepretan kamera




Jepretan kamera



Catatan Perjalanan : Kali terakhir: Berkunjung ke kota religius



Jalanan ini begitu panas menyengat, entah berapa kali aku harus menyeka keringat yang bercucuran sambil mencari tukang tambal ban….”



Langkah pertamaku tidak mulus ketika memulai perjalanan menuju ke Flores Timur yakni Larantuka. Ketika baru beberapa Km keluar dari Kota Maumere perjalanan panjang ini harus terhambat dengan pecahnya benen ban motor yang kendarai. Alhasil selama sejam kurang masih harus mencari tukang tambal ban dan mengganti benen ban yang pecah tersebut. Memang sangat resiko jika harus menambal benen dengan rute perjalanan yang masih panjang.  
Larantuka aku tidak mengenal dekat dengan daerah tersebut. Namun yang jelas daerah ini  merupakan kabupaten yang terletak di pulau flores di bagian timur. Untuk mencapai Larantuka setidaknya membutuhkan waktu normal sekitar empat hingga lima jam perjalanan. Jika melihat rute perjalanan kali ini terlihat ada perbedaan, dimana perjalanan menuju ke Larantuka lebih nyaman dibanding dengan track jalan di daerah flores lainnya. Track jalan menuju ke Larantuka ini tidak terlalu berbelok maupun menanjak. Sebalikya jalanan aspal yang melebar serta lurus menjadikan perjalanan ini bisa dilalui dengan nyaman.

 Adapun perjalanan kali ini penulis lakukan bersama beberapa orang yakni aku, Intari, Romi, serta Risa. Larantuka merupakan ikon wisata agama di flores ini. Untuk satu waktu yakni bulan April Larantuka menjadi ikon wisata rohani yang bertaraf international. Perayaan samanta santa adalah perayaan tahunan yang diadakan di wilayah timur flores ini. Ribuan orang datang berduyun-duyun ke tempat ini untuk menyaksikan secara langsung ritual keagamaan Katholik.




Lain halnya jika berkunjung di luar hari tersebut penulis bersama rekan-rekan melihat bahwa kota Larantuka ini   sepi dengan ikon wisata layaknya di wilayah flores lainnya. namun ini hanya sebatas Larantuka saja, ketika ada kesempatan untuk melewati atau menyebrang dari Larantuka ke Lembata atau Alor dan pulau-pulau lainnya kita akan melihat ikon wisata dunia yang hanya ada di Flores Timur. Namun penulis tidak sempat menyinggahi pulau-pulau tersebut karena keterbatasan akan waktu serta dana. Maka tema yang penulis ambil ketika melakukan perjalanan ke Larantuka adalah last touring. Bagi penulis perjalanan Larantuka adalah bagian dari obsesi  menjelajahi daratan flores yang terbayar ketika berada di kabupaten tersebut pada awal Agustus 2014.

***
Perjalanan ini dimulai dari Kampung Aewora yang indah (bisa dilihat di http://priedn.blogspot.com/2014/07/catatan-perjalanan-kampungaewora.html.) Perjalanan ditempuh dengan menggunakan sepeda motor. Rute yang dilalui adalah Kampung Aewora-Kota Baru-Maumere-Larantuka. Perjalanan ini membutuhkan waktu normal sekitar 5 jam perjalanan dengan kecepatan normal. Saya yang menggunakan motor mio sewaan berangkat sekitar jam 09.00 WITA. Perjalanan ini penulis lakukan juga dengan rekan lain yang melakukan touring Larantuka dengan rute jalan yang berbeda yakni Kota Ende-Moni-Wolowaru-Maumere-Larantuka.
Dalam perjalanan ini sedikit terhambat ketika penulis harus melakukan servis motor terlebih dahulu dan peristiwa ban pecah. Servis motor ini sebenarnya dilakukan untuk menjaga kestabilan motor yang dipakai. Persiapan seperti ini memang sangat kecil dan kadang dilupakan namun jika melihat dampak positifnya tentu hal ini akan sangat berguna. Perjalanan panjang ke Larantuka tentu tidak hanya mengandalkan fisik yang kuat namun juga kondisi motor yang fit.
***


Ka foto dima lai ko kawan (mau foto dimana lagi kawan?)”
Perjalanan ke Larantuka berakhir jam 16.00 WITA. Perjalanan ini disambut oleh Romi yang telah terlebih dahulu sampai di Larantuka. Udara yang menghangat kurasakan menjadi sambutan atas kedatangan kami. Sejak kedatangan ini entah berapa kali jepretan demi jepretan kami lakukan untuk mengabadikan moment di Larantuka ini.



Larantuka yang terhampar dengan keindahan alam yang menawan. Sebagai wilayah yang terletak di ujung pulau timur ini,  penulis melihat hamparan pulau-pulau yang terpisah dengan Larantuka. Entah apa nama pulau tersebut, namun aku ingin ke sana, mungkin suatu ketika nanti. Barisan bukit yang kokoh menandai keindahan akan larantuka ini, tidak ketinggalan Gunung Ayah Ibu, Lewotobi menambah destinasi keindahan alam yang terlihat dari jauh. Ketika menelusuri jalanan masuk kota ini, ungkapan bahwa kota Larantuka adalah kota religius memang bukan sekedar nama saja. Dimana setiap sudut kota terlihat simbol agama yang berdiri dengan kokohnya. Walau seperti itu keberadaan masjid masih dapat ditemukan di tengah kota ini. Dimana masjid  tersebut terletak di perumahan muslim.  Selain itu, tatanan kota ini juga menarik dengan jalanan serta pertokoan yang rapi. Namun sekali lagi udara memang terlihat panas di kota ini layaknya kota lainnya yang ada di pulau flores ini.
Kota kecil yang merapat dengan banyaknya bangunan menjadikan jalanan ini dibuat dengan sistem satu arah. Tidak perlu khawatir karena sistem jalan di kota ini tidak terlalu rumit. Kota yang padat namun tidak terlalu luas memudahkan untuk memahami jalanan di kota ini. 

Adapun dalam mengambil gambar yang hendak di jadikan objek dapat dilalukan di berbagai sudut kota yang merupakan kota pesisir pantai. Objek tersebut diantaranya, Pertama pembatas jalan sebelum memasuki kota Larantuka. View yang dapat dilihat dari pembatas jalan ini adalah pulau-pulau kecil yang terdapat di sekitar Larantuka. Pemandangan laut yang membiru menjadi nilai tambah dalam melihat keindahan yang terdapat di pembatas jalan ini. Kedua, taman rohani Katholik yang terletak di pinggiran kota Larantuka. Adapun objek yang terlihat di taman ini adalah sebuah simbol agama Katholik yang dibuat dengan gaya artsitektur yang menarik.
***



Touring selesai ketika puas berada di kota Larantuka ini walau hanya sejenak. Dalam perjalanan kembali ke Aewora penulis singgah di sebuah jalanan yang terletak di pesisir wilayah Kabupaten Maumere. Dalam perjalanan singgah ini penulis bersama Intari menghabiskan waktu untuk memamfaatkan moment dengan mengambil beberapa gambar. Hasilnya menajubkan.  

 JEPRET 1




JEPRET 2



 JEPRET 3





JEPRET 4


JEPRET 5   
 

Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...