Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT )

Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan
Dalam keadaan terkucil seperti ini.
Sulit rasanya menemukan lawan bicara di sini (Ende)
Dialog Baim Wong kala memerankan tokoh Soekarno dalam film Ketika Bung di Ende

Kutipan dialog di atas aku temukan ketika menonton ulang film Ketika Bung di Ende 2013. Baim Wong yang berperan sebagai Soekarno, seorang orator ulung, singa podium yang harus merasakan kepahitan hidup ketika diasingkan di Ende, Nusa Tenggara Timur. Menjalani hukuman di pengasingan selama empat tahun yakni sejak tanggal 14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938 membuat seorang Soekarno tidak berdaya. Namun di ujung ketidakberdayaannyalah Soekarno menemukan sebuah gagasan dalam memandang Indonesia lebih luas. Semua itu tidak terlepas dari rumahnya yang sederhana sebagai tempat ia menjalani hidup, kebiasaannya merenung di bawah pohon sukun, hingga dialog antar etnis dan agama selama pengasingan. Ia melahirkan Gagasan berupa filosofi dasar dari Negara Indonesia bernama pancasila (lima dasar).
Akhir Desember 2013 menjelang pergantian tahun aku bersama rekan-rekan guru SM-3T (Sarjana Mendidik Terluar, Teringgal dan Terdepan) menyambangi situs rumah pengasingan Bung Karno di Kota Ende. Lokasi ini tidak terlalu jauh dari pusat kota, situs ini tepatnya berada di jalan perwira, Kelurahan Kota Raja, Kecamatan Ende Utara. Dari pusat kota Ende menuju ke Rumah Bung Karno dapat ditempuh dengan berjalan kaki atau menggunakan jasa antar ojek maupun angkutan umum.
Sebenarnya keinginanku menyambangi rumah pengasingan ini didorong oleh rasa ingin tahu bagaimana kehidupan Soekarno yang diasingkan di tempat terasing. Di rumah yang sebenarnya dimiliki oleh Haji Abdullah Abuwaru disewa oleh Soekarno yang membutuhkan tempat tinggal selama pengasingan bersama Inggit (istri), Ratna Juami (anak angkat), dan Amsih (Mertua Soekarno). Sampai saat ini rumah ini masih berdiri kokoh dengan khas arsitekturnya yang tidak mengubah bentuk aslinya.
Kami mengijakan kaki di depan pagar seusai turun dari angkutan kota dari pasar ende. Tampak dari luar, rumah ini tidak terlalu besar untuk dikatakan sebagai sebagai sebuah istana yang bertingkat, kesederhanaan rumah dengan cat putih di dinging dan halamannya yang hijau menampakan keasrian di sekitarnya. Mantap dengan keindahan rumah di luar pagar kami hendak memasuki rumah tersebut. Namun muncul guratan kekecewaan ketika mendapati pintu pagar rumah Bung Karno yang terkunci. Kami tidak menemukan penjaga khusus layaknya museum.
Seolah tidak ingin putus asa kami pun menanyakan perihal rumah Bung Karno ke sebuah toko yang berada di samping situs rumah Bung Karno.
oh…sebentar e petugasnya segera datang…” ujar seorang ibu paruh baya yang biasa di panggil mama’e berteriak lantang memanggil seseorang.
kunci…kunci ada orang mau masuk…” teriaknya
Tampak seorang lelaki dengan langkah setengah berlari mendekati kami. Ia tersenyum ramah sembari menyilahkan kami untuk masuk ke Rumah Bung Karno, tentunya dengan pintu pagar yang telah ia buka.

Usai melakukan registrasi seadanya, salah satunya menulis buku tamu di pintu masuk kami dipersilahkan masuk dan berkeliling melihat isi dari bekas rumah di Bung Karno ini. Ruangan yang besar ini tampak rapi dengan segala benda yang mengingatkan tentang masa-masa saat Soekarno berada di Ende. Dan kami memiliki banyak waktu berkeliling memuaskan dahaga rasa penasaran terhadap apa yang di dalam rumah Bung Karno.
***
Jika Soekarno hidup kembali, apakah ia akan mengira bahwa ende tetap sebuah negeri yang kecil, sebagaimana ia pertama kali datang ke Ende di tahun 1934 silam?.

Seperti pada awal tulisan, aku menyambangi situs rumah Bung Karno untuk melihat titik awal dimana ia menemukan gagasan tentang Indonesia yang luas. Sebuah rumah yang sederhana untuk orang besar seperti Soekarno. Rumah seluas 742,6 m2 yang memiliki dua bangunan utama dengan ukuran yang berbeda yakni 11 x 9 m2 dan 12 x 3 m2 dan beberapa ruangan. Ketika memasuki bangunan rumah yang telah dipugar ulang tahun 2009 ini kami menikmati berbagai dokumentasi baik berupa foto, tulisan bahkan benda tertata baik tersedia untuk dinikmati oleh pencinta nostalgia.
Pandanganku tiba-tiba tertarik untuk memandang sebuah foto yang dibingkai cukup besar yang tergantung di dinding. Lelaki dewasa yang mengenakan sebuah peci berwarna hitam, memakai jas putih dengan ditambah dasi berwarna hitam, ia tampak gagah. Tidak jauh dari bingkai foto ini aku melihat sebuah kotak kaca yang berbentuk persegi yang berisi sebuah benda panjang yang melengkung. Sebuah tongkat yang dulunya menemani Soekarno guna berjalan-jalan menyapa orang, mengumpulkan massa, dan menyerukan kemerdekaan.
Merdeka bung” ujarku dalam hati.
Sembari melihat foto-foto dokumentasi tentang kehidupan Founding Father selama di Ende aku mencoba untuk menyelami sebuah jiwa zaman (zeitgeist) dari kepahitan Soekarno. Merasakan kesepian ketika berada di tanah Flores. Suasana sangat berbeda antara Jawa dan Flores pada masa awal pergerakan nasional, awal abad 20. Di Jawa Soekarno berperan sebagai pemimpin dan singa podium, ia terbiasa berhadapan dan berinteraksi dengan banyak orang. Berbeda besar dengan Ende, statusnya sebagai tahanan politik semakin menjauhkannya dari massa. Perbedaan itu juga terlihat dari segi jumlah penduduk tahun 1934 dimana Ende saat itu berjumlah penduduk 5000 jiwa, jauh berbeda dengan penduduk Batavia di tahun yang sama telah mencapai lebih dari 30.000 jiwa. Kesulitan ini semakin besar ketika ia dikucilkan dari masyarakat sekitar hanya karena dianggap sebagai orang yang berbahaya (interniran).
Namun Soekarno tetaplah seorang Soekarno, empat tahun selama di Ende telah membentuk sang singa podium yang tak ingin kehilangan podiumnya. Jika memang tidak harus dia berada di garis terdepan sebagai orator maka ia pun siap memerankan diri sebagai otak dari sebuah perubahan itu. Massa tidak akan datang kepadanya, namun ia yang memperkenalkan dirinya. Ia abai dengan statusnya sebagai tahanan politik. Bersama rakyat jelata yang terdiri dari pedagang, petani, nelayan ia berhasil memperkenalkan makna kemerdekaan dalam bentuk kebebasan. Soekarno memperkenalkan sebuah grup drama. Grup drama yang diberi nama kalimutu ini setidaknya mementaskan naskah karya tangan dingin Soekarno. Adapun naskah tersebut antara lain yakni Rahasia Kelimutu 2, Rendo Rate Rua, Nggera Ende, Amuk, Dokter Syaitan, Kut-Kutbi, Aero Dinamit, Djula Gubi, Maha Iblis, Anak Haram Jadah, Sang Hai Roemba, dan 1945. Beberapa naskah tersebut masih terpajang di etalase lemari rumah pengasingan Bung Karno.
***
Ende tetap sebuah negeri yang kecil, namun tetap ada kebanggaan dari negeri yang berjuluk sunda kecil, pulau Flores, Timur Indonesia. Walau hanya empat tahun Soekarno hidup di daratan Flores, Ia masih mengingatnya bahkan sempat berkunjung ke Ende di tahun 1950, ia tetap menyatakan bangganya menjadi bagian Flores. Kebanggaan Soekarno seolah itu yang kami rasakan ketika singgah di cagar budaya rumah pengasingan Bung Karno ini. Rumah yang sederhana memang awalnya merasa kesepian, namun ia sadar tempat pengasingannya adalah rumahnya.
Kebanggaan Soekarno ini juga menjadi kebanggaan orang Ende, bahkan Flores. Bapak bangsa yang sadar Indonesia ini kaya dengan keanekaragaman kala dirinya terbiasa merenung duduk di bawah pohon sukun, pohon yang tidak jauh dari rumahnya. Pancasila adalah pemersatu dari perbedaan itu. Mengijakan kaki di rumah ini membawa semangat nasionalisme bagiku dan bagi mereka yang cinta Indonesia.

Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...