cerita perjalanan jogja : Aku dan Mitos Masjid Agung Mataram



Masjid adalah rumah Tuhan yang suci.
Manusia adalah hamba, yang senantiasa meminta
Dan selalu mensucikan tempat-NYA

Terkadang aku berfikir bahwa wisata Jogja adalah sebuah mitos. Mitos yang yang berbeda dengan arti mitos tradisional pada umumnya. Wisata Jogja yang kaya dengan keindahan dan cerita popular dan menjadi buah bibir hingga ke belahan dunia. Cerita keindahan itulah yang meragukan dan menjadi sebuah mitos. Keindahan tanah Jogja sebagai surga wisata Indonesia perlu dicari kebenarannya dengan mata kepala sendiri.. Ketenaran pantai, gunung, pasar dan bangunan menjadi keistimewaan yang kian membuat Jogja menjadi istimewa dan katanya juga berhati nyaman. Salah satu keindahan dan kemegahan yang kian tenar itu adalah Masjid Agung Mataram yang terletak di Kota Gede, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. 
 
Masjid tua yang telah berdiri ratusan tahun lamanya merupakan warisan cagar budaya yang sampai saat ini masih berfungsi sebagai tempat ibadah bagi kaum muslim (Islam). Masjid yang terletak di selatan pasar Kota Gede atau lebih tepatnya di Jalan Watu Gilang, Kelurahan Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Bantul-Yogyakarta merupakan masjid kuno kebanggaan bagi masyarakat Kota Gede. Kekunoan Masjid Agung Mataram ini tidak hanya sebagai pusat pengajaran Islam di bumi mataram, namun juga sebagai simbol dari wujud toleransi antara keraton muslim dengan masyarakat yang masih menganut kepercayaan lama (Hindu-Budha). 
 
Keramaian masjid ini selalu terlihat hidup karena oleh jamaah yang hendak beribadah ataupun wisatawan yang ingin melihat dengan langsung tapak tilas dari sejarah keberadaan masjid dan komplek yang ada di sekitar Kota Gede. Seperti yang penulis lakukan kala menyambangi masjid tua di hari libur (19/2) terlihat banyaknya deretan parkir terpisah mobil dan motor halaman parkir masjid. Walau masjid ini adalah ikon wisata Kota Gede namun pengunjung yang datang hanya dikenai tarif parkir tanpa tariff masuk.
***
Sebuah pohon beringin tua, deretan rumah klasik, dan sebuah gapura besar menjadi pemandangan pertama sebelum memasuki halaman utama masjid agung. Usai menitipkan motor penulis bersama kekasih hati berjalan lurus menuju ke arah gapura masjid yang berarsitektur khas paduraksa. Sebuah arsitektur yang mencirikan kebudayaan seni bangunan ala Hindu-Budha yang katanya sebagai wujud bukti toleransi antar agama tersebut, menajubkan.
Dalam dua sumber yang berbeda penulis menemukan bahwa masjid tua ini dibangun pada masa Panembahan Senopati pada tahun 1511 sedangkan dalam sumber lain menuturkan bahwa masjid ini dibangun oleh Sultan Abdullah Muhammaad Maulanana Mataram atau dikenal dengan nama tenar Sultan Agung di bangun pada tahun 1640. Namun kedua sumber ini tetap memiliki kesamaan yakni. Pertama, pembangunan masjid pada awalnya dibangun dalam bentuk sederhana yakni dalam bentuk langgar. Pembangunan masjid yang terlihat saat ini merupakan pembangunan kedua yang dilakukan oleh Kasunan Surakarta atau Pakubuwono X. kedua, proses pembangunan masjid dilakukan secara gotong royong antara keratin Mataram Islam bersama masyarakat yang tidak hanya beragama Islam namun juga masih menganut kepercayaan Hindu-Budha. 
 
Aku berdiri lurus menghadap-NYA. Di bangunan suci yang besar aku menunaikan kewajibanku mengahadap Tuhan sang pencipta. Ada kedamaian dalam sanubari namun semoga ini bukan hanya dari latar aku berdiri namun semoga karena hati yang senantiasa ingin bersujud di rumah-MU yang suci.
Seusai menunaikan salat zuhur penulis mengamati sembari mendokumentasikan beberapa sudut masjid yang menarik. Ruangan bagian dalam masjid yang luas menawarkan rasa kesejukan bagi jamaah yang hendak beribadah. Di bagian dalam masjid terdapat benda klasik yang berfungsi sebagai mimbar khatib yang terukir indah. Bagian dalam atap terdiri dari kayu-kayu yang di desain lurus memanjang, dan sebuah bingkai yang membingkai batu bata sebagai pondasi awal masjid. Lain halnya pada sisi luar, masjid yang bisa menampung ratusan orang ini memiliki keindahan yang membuat Masjid Agung Mataram ini terlihat megah. Masjid yang berbentuk limas ini memiliki atap puncak yang tidak bulat seperti bentuk masjid lainnya, melainkan berbentuk atap tiga tumpang. Sedangkan sudut menarik lainnya terdapat pada halaman masjid dimana banyak ditemukan berbagai peninggalan seperti sebuah menara jam kuno peninggalan Sultan Pakubuwono X, sebuah beduk yang merupakan hadiah dari Nyai Pingitan serta papan keterangan yang menjelaskan tentang Masjid Agung serta bangunan berbentuk kurungan.

Keindahan, kemegahan, serta kesejukan dari Masjid Agung Mataram Kota Gede ini rasanya bisa menjadi refrensi bagi pembaca yang hendak berwisata sekaligus menyegarkan hati dan pikiran. Keberadaan Masjid Agung yang terbangun dalam bentuk kompleks menutup kebisingan dari jalanan menjauh dari keramaian kendaraan maupun teriakan yang berasal dari keriuhan pasar. Selain itu masjid ini dibangun dengan tembok besar setinggi 2,5 meter sehingga tertutup dari pandangan luar. Singkatnya, berwisata di Masjid Kota Gede merupakan perjalanan untuk merefleksikan kemegahan Kerajaan Mataram yang masih hingga saat ini.
Keberadaan tembok besar yang menutupi masjid ini dan hanya memiliki tiga pintu masuk gapura utama memiliki beberapa bangunan lain yang menarik. Bangunan-bangunan tersebut antara lain bangunan sendang seliran yang berfungsi sebagai pemandian. Pemandian ini terpisah antara pemandian perempuan dan laki-laki. Pengunjung yang datang biasanya memamfaatkan pemandian ini dengan cara membasuh kepala maupun mandi. Ada berkah dibalik itu katanya.

Selanjutnya di sisi lain terdapat beberapa pendopo yang saling berhadapan, pendopo yang dihuni abdi dalam kerajaan bertugas menjaga keasrian sekitar kompleks. Pengunjung yang datang ke sini diminta menuliskan identitas dan infak untuk menikmati keindahan pendopo dan keramahan dari abdi dalam tersebut. Terakhir di dalam kompleks ini terdapat pemakaman khusus keluarga kerajaan yang terdiri para pendiri KerajaanMataram antara lain Panembahan Senopati, Hadiwijaya, Sultan Hamengkubuwono II, serta keluarga beberapa bangsawan Mataram lainnya. Berbeda dengan kompleks lain, bagi pengunjung yang hendak memasuki pemakaman guna berziara harus mengikuti berbagai syarat seperti tidak memfoto, menggunakan pakaian yang ditentukan.
***

Semoga ada waktu untuk aku kembali
Waktu yang terasa sebentar, kunjungan dua jam ku di kompleks Masjid AgungMataram dan sekitarnya harus berakhir. Persinggahanku di Masjid Agung berhasil membenarkan sebuah mitos dari masjid ini. Keindahan serta kemegahannya bukan sekedar kekaguman semu belaka. Tulisan dan dokumentasi foto ini adalah bingkai kecil yang bisa penulis abadikan dan tuliskan. Nilai keindahan dan kemegahan selebihnya banyak di rasakan dalam hati yang merasa kenyamanan kala berada di sini. Jadi, bagi yang berkeinginan merasakan wisata dengan nuansa spiritual Masjid AgungMataram bisa menjadi refrensi bagi pengunjung yang singgah di Jogja. Namun jika masih menikmati keindahan ini dalam barisan aksara dengan rasa penasaran berarti anda juga merasakan hawa mitos seperti saya sebelumnya.









Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...