Catatan Pendakian Gunung Merapi : Jalan Lusuh Menuju Marapi




Perjalanan yang tak selalu senang, perjalanan yang tak selalu cerah, inilah perjalanan yang terkadang menyesakan dada
Wajah kota Padang beberapa hari ini selalu bermuram durja. Lipatan tebal awan hitam tak hentinya berada di atas dimana aku berdiri. Gumpalan ini seharusnya telah menjadi pertanda bahwa suasana hari akan turun hujan. Sungguh menyenangkan jika mengingat kebiasaan lumrah di kala hujan maupun mendung adalah berdiam diri di rumah dan menikmati hangatnya gumpalan kain tebal dan seruput minuman hangat. Namun itu doloe.
Kali ini usai melaksanakan latihan kepemimpinan dasar yang diadakan PPG UNP rekan ekonomi dan menyertakan aku bersegera dengan  tekad bulat menembus hujan dan melakukan pendakian ke gunung Marapi-Padang Panjang. Euphoria dan hawa gunung terlalu memikat teman-teman dari ekonomi ini untuk mengijakan kaki di sana. Beranggotakan delapan orang saja yakni aku, David, Willy, Yendra, Dila, Desi, Adel, dan Rina, kami memulai perjalanan di bawah langit mendung dan hujan.
Tiga buah tenda isi tiga, sebuah kompor gas, dua buah gas, lima matras, tiga sleping bag, dan peralatan nesting masuk ke masing-masing carel ukuran sedang. Perlengkapan yang sewajarnya menurutku walau akhirnya aku sadar dengan banyaknya kekurangannya nanti.
Tower Koto Baru 19.30 WIB..
Aku berdiam diri di bangunan mushalla yang dibangun dekat pintu masuk pendakian sembari menunggu waktu salat isya masuk. Perjalanan melelahkan dari kota Padang berhasil kami tembus hingga menjelang Magrib. Usai membayar registrasi masuk dan parkir sebesar 100 ribu, harga yang pantas setelah kami tawar, kami mulai bersiap. Perlengkapan pendakian di cek ulang berikut dengan mantel hujan praktis (plastic) di siapkan.
Hujan masih mengguyur sekitar Padang Panjang pada umumnya. Cuaca yang kurang bersahabat untuk melakukan perjalanan membuat kami masih betah mendiami pondokan darurat milik penduduk. Sembari memesan kopi dan teh kami menikmati apa itu kedinginan dan hujan. Kapankah hujan ini akan reda?ujarku dalam hati.
Hujan tidak hanya turun hari ini begitu kata orang asing di sebelahku. Kami yang sama memilih tempat berteduh maota lamak (bercerita enak) tentang pendakian Marapi. Menurutnya hujan sudah turun selama beberapa hari ini. Memang sudah musimnya bahwa para pendaki yang melakukan pendakian akan dihadang dengan guyuran hujan yang seolah tak pernah henti. Ia menyarankan kami untuk pintar memilih lokasi nge-camp­ karena di cadas sering terjadi badai disertai hujan.
“Dan kalo ada anak yang baru mendaki, ingat selama jalan mendaki biasakan menghirup nafas dari hidung dan dikeluarkan lewat mulut” ujar sosok asing yang menurutku telah berumur 40 tahunan. Sosok peduli kalau di alam memang hal wajar. Bahkan selama perjalanan rasa sungkan begitu saja hilang untuk saling bagi-membagi perbekalan ala kadarnya. Solidaritas yang terasa instan menurutku namun begitulah solidaritas ini tak tertandingi rasaku.     
Tidak terasa hampir sejam kami berdiam diri menunggu hujan ini berhenti mengguyur hutan pegunungan. Pertanda bakal cerah kini tinggal pertanda. Ketika curah hujan mulai mengendur kami mulai bersiap menembus hujan dan menuju cadas Marapi. Aneka mantel plastic warna-wari menjadi teman perjalanan kami. Sebuah topi dan lampu senter menjadi penerang dan penghangat perjalanan yang lembab.   
Hutan belantara
Pendakian setapak ini tidak sampai menuju ke cadas sebagaimana misi bersama. Kami akhirnya merebahkan diri di tengah hutan belantara, sekitar jalan masuk lubang mancik (lubang tikus). Tidak butuh waktu lama setelah melihat kelelahan para anggota pendakian disertai guyuran hujan membuat kami pun mengalah dan menginap di hutan belantara ini. Pilihan berhenti adalah hal wajar, memilih Nge-camp atau akan ada yang cedera akibat cuaca dan suasana malam hari yang dingin. Pilihan yang harus dipilih mengingat posisi saat ini dengan cadas tak begitu jauh lagi.
Walau track marapi adalah jalanan yang ramah bagi pendaki pemula namun di kala hujan track ini akan menjadi lembab, becek, serta terjal. Jalanan tanah menjadi lunak untuk di pijak. Maka selain memakai senter sebagian lain juga memilih menggunakan tongkat kayu untuk memapah perjalanan menuju titik bersama. Kesulitan ini bahkan harus dilalui dengan jalanan malam yang gelap gulita dan minim penerangan. Langkah kaki yang semangat mendaki lambat laun mulai tergerus lelah dan melambat. Rasa lelah mulai menyerang para pendaki malam itu.  

Rasa lelah memaksa kami akhirnya untuk  mendirikan tenda setelah melewati separuh malam atau sekitar 6,5 jam perjalanan. Tenda yang serasa kembar ini berdiri tegak berbaris ditanah landai yang agak becek. Semua beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan dini hari yang dingin itu. Memasak air, mendirikan tenda, membuat tali jemuran darurat, hingga menyalakan api unggun di sela-sela akar pohon. Lipatan-lipatan baju basah segera diganti untuk mewati dini hari yang lebih hangat.
Percakapan-percakapan santai menyelingi malam itu yang sepi. Sambil menikmati makanan ringan dan minuman hangat aku merasakan hawa kekeluargaan antar sesama pendaki yang kini terasing ditengah hutan. Rintikan hujan menjadi pelengkap malam keakraban kami yang didera kelelahan. Sebagian memilih menghangat diri di tenda dan tiba-tiba telah tertidur tanpa ucapan selamat malam. Akh mereka lelah 
Aku memasuki tenda yang kini hanya menyisakan aku yang masih tersadar. Sembari menunggu subuh aku memilih mendengarkan alunan khas milik frau di tenda sempitku. Dipenghujung dini hari aku mendengarkan lirikan frau tentang sepasang kekasih yang bercinta di luar angkasa. Lirik yang kadang memiliki gaya bahasa yang sulit diterka.
Dan subuhpun datang, aku salat dan setelah itu lekas bergegas menjumpai alam mimpi yang kini terasa berat.
***
Berat mataku untuk terjaga pagi ini. Apalagi matahari pagi masih tak terlihat walau sudah menunjukan waktu 09.00 WIB. Gumpalan kabut putih menyerang jalanan pagi ditengah hutan belantara marapi. Mereka telah bersiap untuk bergegas menuju cadas dan puncak, meninggalkan tenda dan aku untuk berjaga di sini.
“Hati-hati ya…jalan didepan agak susah tracknya jadi saling bantu saja” ujarku kepada mereka.
Berat hati untuk tidak menyamai langkah dan mencapai puncak marapi. Sebenarnya mereka memintaku untuk ikut, namun aku yang baru terjaga masih merasa sangat ngantuk untuk melakukan pendakian ini. Selain itu agaknya aku harus mengamankan beberapa perlengkapan nge camp yang agak berserakan di sekitar tenda.   
“Aku menyusul jika aku ingin”  ujarku
Cadas Marapi 11.00 WIB

Berlama-lama di tenda memang bukan hobiku rupanya. Usai membereskan beberapa perlengkapan sekitar tenda yang berserakan aku pun bersiap melewati lubang mancik dan menuju cadas, dan menjumpai taman eideiweis yang terletak dipunggung Marapi, taman yang aku rindukan.
Pendakian setapakku kini hanya seorang diri, hanya ada beberapa barisan pendaki lain yang telah mendahuluiku di depan. Sembari merasakan hangatnya cahaya matahari yang tertutup kabut aku terus mengayunkan kaki menuju ke cadas. Track lubang mancik yang dikenal terjal kini semakin sulit  untuk dilalui akibat tanah jalan yang becak dan lunak. Track ini semakin sulit tentunya jika ingin turun nantinya. Entah berapa kali aku menjumpai pendaki yang kesulitan untuk melewati track ini jika menurun.   
Cadas…
Setelah melewati jalan sempit dan becek akhirnya kaki ini untuk ketiga kalinya memijak bumi cadas marapi. Rasa puas ketika aku bisa menggapai cadas tinggi  gunung marapi. Gunung yang menurutku membuatku merasakan cinta.

Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...