Catatan Perjalanan : Singgalang aku kembali



Sejujurnya aku tidak menyangka akan kembali ke Gunung ini. Sebuah Gunung yang di masa lalu berhasil memaksa aku berjalan tertatih-tatih hingga menuju puncak setinggi 2877 Mdpl. Ketika itu saya masih menyandang status sebagai mahasiswa S1, jurusan Sejarah UNP,  dan Gunung Singgalang adalah pendakian untuk kali pertama saya jalani. Jika melihat saat itu kadang aku tersenyum kecut. Bagaimana tidak saat itu aku yang berhasil mencapai puncak Singgalang berujar “cukup kali ini” . ungkapan tidak lagi untuk kali ke dua mendaki non aktif dan lembab ini. Namun di Singgalang inilah lantas aku jatuh cinta kepada alam. Maka  sebab dua tahun setelah pendakian itu  saya kembali lagi mendaki Gunung yang berhadapan langsung dengan Gunung merapi.

“Teman-teman saya tahu ini adalah rute yang sulit namun saya yakin kalian bisa” petuah singkat ini aku paparkan seusai mengadahkan doa bersama sebelum pendakian Sabtu (1/8). Kali ini aku membawa tim yang berbeda dengan tahun 2013 lalu. Kali ini (tahun 2015) hanya ada Aku, Jefri, Hasduni, Meri, Rahmi, dan Doni. Kami semua tidak seumuran, tidak satu  jurusan, kesamaan kami adalah darimana kami berasal yakni sama-sama pernah di organisasi mahasiswa bernama Ganto dengan lembaga pendidikannya Universitas Negeri Padang (UNP).
Jam menunjukan waktu 18.30 wib, usai membayar retribusi masuk berupa registrasi 7500 rupiah per orang dan parkir 10.000 per motor kami mulai bersiap. Masing-masing kembali menyiapkan perlengkapannya. Satu yang jelas bahwa pendakian ini akan dilakukan malam hari. Masing-masing menyiapkan senternya  di tangan.

Secara keseluruhan perjalanan ini gagal langsung ke puncak, perencanaan ideal yang akan tiba di tengah malam berakhir di tengah rimba. Terkadang walau puncak yang selalu teratas namun prioritas kebersamaan tim adalah utama. Perjalanan malam, dengan tim yang belum pernah ke Singgalang, serta cuaca yang kadang tak menentu memutuskan kami nge camp  di shelter 3. Dan sebenarnya keputusan ini bisa dibilang cukup berani karena memang banyak pendaki lain yang berbarengan dan memilih nge-camp di bawah.  
***
Perjalanan malam yang berakhir di sekitar shelter 3 ini berjalan baik. Cuaca malam yang bersahabat memudahkan perjalanan. Namun track jalan bagi pemula memang membuat shock perjalanan. Jalanan mendaki Singgalang sebenarnya dimudahkan dengan tanda tiang per tiang setinggi 4 meter sebagai penunjuk jalan. Namun hal ini tidak dengan kontur tanah, tidak ada jalanan datar yang memudahkan pendakian. Jalanan mendaki malam hari itu lebih banyak dihabiskan  dengan suara-suara nafas yang tersengal karena menanjak dibandingkan dengan suara musik yang didendangkan.
Singgalang yang merupakan Gunung non aktif berhasil menciptakan kelembaban akut di sekitar pendakian. Hal ini juga yang akan diperparah jika cuaca tidak bersahabat (hujan).jalan akan licin dan menyulitkan pendakian. Penulis pribadi lebih menyarankan bagi pendaki pemula untuk menjajal track merapi. Namun jika ingin mendaki dengan track yang menantang Gunung Singgalang pilihannya.
Detak waktu malam usai dan bersiap meninggalkan waktunya ke dini hari. Usai menikmati makan malam berupa mie dan minuman panas lantas Jefri, duni dan lainnya menegakan tenda untuk bisa segera beristirahat. Walau pendakian Singgalang terus menanjak namun masih terdapat lahan datar jika ingin sekedar mendirikan tenda. Sama halnya kami, lahan yang dikelilingi pohon-pohon besar menyisakan tanah yang datar sekitar 6 x 4 meter. Tenda ini berdiri meski jauh dari sumber air terdekat.
***
Hari kedua,
Penulis menyebutnya hari kedua, karena memang kami berangkat dari titik kota padang di siang hari. Perjalanan menggunakan motor selama 2,5 jam ini sempat beberapa kali singgah untuk salat, makan, dan berhenti untuk keperluan pribadi. Jadi usai menikmati malam yang dingin dan berkabut di shelter 3 kami disambut dengan matahari pagi dari ufuk merapi yang berdiri megah dan gagah perkasa.
“Semua siap..” teriak doni usai packing perlengkapan yang diturunkan malam tadi.
Untuk menuju ke puncak tidak terlalu jauh dari titik ini. Sekitar 2 jam perjalanan lagi aku kira. Berbeda dengan malam hari aku rasa tenaga serta fisik kali ini cukup fit untuk nanjak menuju ke cadas Singgalang. Pendakian kedua yang disambut dengan semangat memacu langkah kami untuk segera ke puncak dan menikmati alam danau telaga dewi.

“Hore cadas..”   suara Ami memecah kelelahannya usai ia mengijakan kaki di cadas Singgalang.
Tepat sekitar setengah sebelas siang kami sampai. Rasanya terbayar rasa puas kala mengijakan dan menikmati alam di Singgalang. Cadas Singgalang masih menyisakan bebatuan keras walau Gunung tersebut katagori  non aktif. Sayangnya,  waktu untuk menikmati cadas tidak terlalu lama. Usai mendirikan tenda kami memulai perjalanan lagi untuk menuju telaga dewi. Pilihan untuk melihat telaga ini bukan karena cadas ini kurang menarik namun lebih ingin mencapai target awal bahwa pendakian ini harus sampai di telaga yang konon memiliki mistik.
Perjalanan dari cadas ke Telaga Dewi cukup jauh dengan jarak tempuh sekitar 1,5 jam. Bedanya, track nanjak kali ini lebih mudah karena beban bawaan yang ditinggal di dalam tenda. Cukup satu tas dengan beberapa botol aqua besar untuk mengangkut air dari telaga.
Tidak seperti malam hari, perjalanan menuju ke Telaga Dewi lebih baik dan berhasil aku abadikan dalam jepretan kamera. Keindahan alam sumaetra barat dari puncak cadas Singgalang, eksotisnya hutan gambut yang identik dengan hijau, serta panorama yang ditawarkan oleh Telaga Dewi seolah menjadi penghapus lelah perjalanan yang kami lakukan sejak kemarin. Senyum-senyum yang tersungging, espresi yang kurang dan lebih, serta mengabadikan moment mumpung lagi di Singgalang terbayar selama perjalanan ini.
***
Jam digitalku menujukan waktu 13.31 WIB ketika sampai di Telaga Dewi ini. Jika aku menilai apa yang berbeda antara pendakian ku tahun 2013 dan 2015 mungkin di telaga inilah jawabannya. Meski hutan gambut juga berbeda karena bisa aku nikmati namun Telaga Dewi yang paling mencolok. Yang terlihat berbeda adalah warna yang mencolok dari panorama telaga dewi. Ketika mengijakan kaki menuju ke tepian telaga, aku terlebih dahulu berhenti di sebuah kayu yang sengaja tertancap di  sana. Welcome to Telaga Dewi begitu bacanya. Simple memang namun mengesankan. Tak perlu ambil lama beberapa rekan mengabadikan moment untuk foto di samping papan nama ini. 


Hal berbeda kedua dari pendakian doloe adalah sebuah kayu yang juga sengaja di sandarkan diantara kayu lain yang berdekatan. Pohon yang memiliki cabang dua lantas diselipkan dua buah kayu. Keren. Setidaknya dengan kayu tersebut kita bisa menikmati alam Telaga Dewi dari ketinggian sekitar 4 meter.
***
Waktu adalah kesempatan  dan waktu adalah pilihan. Kami tidak tuntas rasanya menikmati alam di telaga ini namun langit mendung serta hari menjelang sore memaksa kami untuk segera bergegas, packing dan kembali ke padang. Kali ini dengan langkah cepat dengan sedikit berlari kami meninggalkan telaga itu.
“ Aku rasa next time ku akan kembali lagi, ingin lebih menikmati alam pemandangan di sini..” bisikku dalam hati sembari menoleh ke telaga yang semakin jauh dari pandangan.


  • Singgalang antara keindahan dan kesukarannya

Gunung Singgalang berada di ketinggian 2877 MDpl, bukan termasuk katagori sebagai gunung tertinggi di sumatera barat. Talamau yang terletak di pasaman merupakan gunung non aktif yang tertinggi di sumtera barat ini yakni 2900 mdpl. Sedangkan untuk gunung api, gunung merapi padang panjanglah titik tertingginya. Dengan tingkat tinggi yang berbeda ini singgalang maupun marapi menjadi gunung yang kerap di singgahi oleh penjelajah alam. Track jalan yang mudah di lalui serta lokasinya yang strategis menjadikan gunung ini sebagai  pilihan. 

 
Gunung Singgalang maupun Merapi berada jalur yang berlawanan. Oleh karena itu ketika berada di salah satunya dapatlah kita meyaksikan kemegahan masing-masing gunung tersebut. Walau seperti itu toh tetap memiliki perbedaan yang mencolok. Gunung Singgalang adalah non aktif dengan tingkt kelembaban lebih tinggi dibandingkan dengan merapi. Begitu juga dengan track jalan yang dilalui. Namun tak ada salahnya jika memasukan dua nama gunung ini sebagai daftar gunung yang wajib di daki.   
Namun Singgalang bukanlah gunung yang ramah bagi para pendaki pemula. Tingkat kelembaban serta jalan yang selalu nanjak memang bukan sekedar isapan jempol. Maka bagi yang ingin mendaki gunung ini da baiknya melakukan persiapan fisik yang mantap. Dan gunung adalah alam yang tak memiliki tuan kecuali pemilik sang pencipta. Oleh karena itu tak ada salahnya untuk selalu berdoa dan menjaga sikap.
              

Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...