Liburan nang Banyumas : Yuk ke Taman Hexagon


Jangan terpikirkan dengan nama Hexagon sebagai taman yang letaknya di luar negeri. Sebaliknya Taman Hexagon adalah karya lokal khas pedesaan. Taman buatan berada di Desa Petir, Kecamatan Kalibagor, Banyumas, Jawa Tengah tidak jauh dari Kota Purwokerto. Lokasi tempat yang berada di pinggiran pedesaan dengan memamfaatkan sepetak lahan pertanian. Peralihan fungsi dengan menyulap sepetak persawahan ini menjadi lokasi wisata yang murah meriah dan ramah keluarga. Saya menyempatkan datang berkunjung sebagai keluarga kecil ke tempat ini pada hari Minggu 8 Desember 2018 lalu.

Foto Istri tercinta dengan anak tersayang f\prion
Secara bahasa nama Hexagon dalam  yang berarti segienam ini memperlihatkan struktur bangunan yang ada di taman ini. Hexagon yang bisa diabadikan mulai dari bentuk suang/ pondok kecil yang berada di dalam taman hingga penataan bambu yang menjadi lantai dasar  bangunan. Saya rasa bagi yang ingin merasakan destinasi wisata berbeda saat berada di Banyumas, taman hexagon bisa dijadikan pilihan.  

                                                       ***


 Saat pertama kali datang dan menikmati suasana yang ada di sekitar taman hexagon saya menyetujui ungkapan bahwa sudah seharusnya sebuah desa di Indonesia  mampu menunjukan potensinya. Pembudidayaan sebuah desa tidak lagi terletak pada budidaya pertanian maupun perternakan namun juga membudayakan wisata di tempat sendiri. Wisata taman hexagon mungkin contoh yang pas bagi yang sudah pernah, akan, atau mau ke sini.

Pasar Kuna

Awalnya saya sempat mengira bahwa taman hexagon hanya taman tok. Namun ternyata taman hexagon terbentuk bersamaan dengan pasar kuna yang tepat berada di di sampingnya. Bagi yang ingin berkunjung tidak ada salahnya untuk mencoba memasuki dan menikmati sajian yang ada di pasar kuna ini.

“Mbak pinten dawet niki?’ tanya istriku dalam bahasa jawa krama halus
“Niki kale keping bu” jawab si penjual perempuan yang mengenakan batik merah.
Sempat agak kaget dengan istilah dua keping namun akhirnya kembali dijelaskan bahwa dalam pasar kuna ini tidak berlaku menggunakan uang kertas (rupiah) melainkan uang keping. Uang unik ini sebenarnya semacam koin berbentuk bulat namun 2 x lebih besar dari uang koin biasa. Bulatan yang bernama uang keping tersebut terbuat dari batok kelapa kemudian diukir dengan nama uang kuna. Untuk mendapatkan uang keping ini pengunjung dapat menukarkan dengan uang rupiah. Satu uang keping dihargai dengan nilai 2.000 rupiah.
Sajian di sepanjang pasar kuna ini juga tidak menjual makanan modern yang berbungkus plastik. Sebaliknya jajanan maupun makanan yang dijual merupakan makanan khas ngapak baik makanan maupun minuman. Tentu saja setiap sajian yang ada memiliki nilai jual yang berbeda-beda ada yang seharga 2K, 3K, bahkan 5k. Kenikmatan yang ada di pasar ini juga dengan adanya pagelaran seni tari dan musik jawa yang dimainkan oleh penari dan pemusik. Alunan khas ini seolah mengingatkan kita dengan era tempo doloe.
Namun sayang dalam penataan kebersihan dan tempat panggung hiburan agak kurang mengenakan mata. Memang pihak setempat telah menyediakan tempat sampah tapi jaraknya saling berjauhan dengan bangku dan meja pengunjung yang tengah menikmati makanan. Tidak jarang bungkus makanan terbuang dibawah meja. Butuh tenaga lebih memang dalam menjaga kebersihan dan merapian ditengah ramainya pengunjung yang datang, apa lagi dalam momen liburan.


SELAMAT DATANG DI HEXAGON   

Setelah puas menikmati suasana pasar kuna saya dan keluarga kecil lainnya beranjak menuju ke taman hexagon. Usai membayar tiket masuk senilai 5.000 per orang kami mulai memasuki taman yang semua bahan dasar bangunan terbuat dari bambu. Memasuki lokasi wisata ini pun pengunjung bebas menggunakan fasilitas yang ada, salah satunya topi jerami khas pak tani. Topi jerami ini biasa ditawarkan oleh penjaga pintu masuk.


“Matunuwun nggeh mas” ujarku mengucapkan terima kasih usai menerima topi jerami.
Walau tidak terlalu luas, di dalam Taman Hexagon ini terdapat berbagai bangunan kekinian yang bisa dijadikan sebagai objek foto. Salah satunya miniatur menara eifel yang diberi nama menara efring. Miniatur ini memiliki tinggi sekitar 15 meter dan terbuat dari bahan bambu adalah monumen yang menarik pengunjung untuk melihat lebih dekat. Tidak ada pungutan atau retribusi tambahan bagi pengunjung yang hendak menaiki menara efring ini maupun sekedar selfi. Dari atas ketinggian menara efring ini pengunjung akan melihat keramaian sekitar Taman Hexagon baik sekitar taman itu sendiri maupun sekitar pasar kuna yang letaknya bersebelahan.
    Selain Efring, pengunjung bisa juga mengabadikan moment dalam foto maupun video dengan berbagai aksesoris buatan yang di tengah-tengah Taman Hexagon seperti tiruan bunga sakura dengan latar gunung fuji, papan nama dengan berbagai tulisan, atau narsis bersama sepeda ontel. Silakan pilih.   

Puas dengan Menara Efring dan lainnya saya menikmati siang yang panas dengan ngadem di pondok yang diberi nama saung. Pondok bambu dengan ciri bangunan berbentuk hexagon ini menjadi satu-satunya tempat nyantai yang aman dari sengatan matahari. Ngaso  di saung ini kita bisa menikmati angin sepoi dan pemandangan dengan latar Gunung Slamet. Walau tidak serame di pasar kuna yang penuh dengan kuliner tradisional di sini kita juga bisa memesan makanan yang ada cafe hexagon. Menu dengan harga jual yang pas  sehingga tidak harus merogoh kocek terlalu dalam. Aneka menu yang ada di sini diberi harga yang sepantasnya. Seperti memesan es teh dengan tempe mendoan diberi harga 8 ribu saja. Dan memesan di cafe ini tidak sama dengan pasar kuna yang kudu memakai uang kuna, cukup dengan lembaran uang rupiah saja.
Hal terakhir yang saya ingat dari taman ini adalah berbagai permainan tradisional disediakan di pondok tersendiri. Pengunjung bebas memainkan permainan tradisional itu, mulai dari ayunan, engklek, eggrang bahkan memainkan alat musik tradisional. Walau masih kurang lengkap dan banyak setidaknya Taman Hexagon memang dibuat dengan seapik mungkin sebagai taman yang tidak hanya menghadirkan satu macam isi, tapi berbagai isi. Jadi, kapan mau ke sini?



EIDELWEIS PAPUA



“Bunga terbaik yang saya temukan di dataran tinggi ini, di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua bernama Bunga Eidelweis”
Awalnya sih  memang masih diragukan apakah tumbuhan yang saya temukan adalah Eidelweis. Namun setelah melakukan konfirmasi dengan beberapa sumber, akhirnya saya bisa memastikan bahwa flora ini adalah Bunga Eidelweis khas Papua. Flora yang mempunyai nama keren bunga keabadian ini mungkin salah satu tumbuhan yang langkah di sini. Dan, saya menemukannya tumbuh di suatu tempat yang jarang tersentuh manusia.
Sebenarnya, untuk menemukan Eidelweis di sini bukan perkara yang mudah. Sepanjang kota Oksibil yang masih dataran tinggi dan merupakan ibu kota kabupaten Pegunungan Bintang ini ternyata bukan habitat utama pertumbuhan Eidelweis. Letaknya yang berada di ketinggian tidak menjadi jaminan untuk menemukan setangkai kehidupan dari Eidelweis

EIDELWEIS TANPA BUNGA

.
Eidelweis merupakan tanaman khas yang tumbuh di pegunungan dengan tingkat kelembapan dan udara berkategori dingin estrem (dingin sekali). Setiap pegunungan yang dibuka untuk pendaki (hiking) pasti mengetahui hal ini ketika jejak kaki mereka sampai di puncak. Tanaman langkah yang menjadi ikon puncak gunung juga merupakan tanaman terlarang untuk diambil secara sembarangan, namun entahlah jika di Papua ini.   
Kali pertama saya menemukan bunga ini saat saya menjalankan rutinitas mencari sinyal di puncak Kosikin (lihat cerita saya di judul bagai ninja hatori aku mencari sinyal). Petualangan mencari sinyal lantas membawa saya tersentak saat melihat sebuah tumbuhan setinggi 40 cm dan memiliki daun lembut yang berwarna putih. Sepanjang perjalanan Okbape dan Kosikin mungkin ini adalah pertama kalinya saya menemukan tumbuhan ini, Eidelweis.
Saat menemukan pertama kali, saya masih meragukan bahwa tumbuhan ini adalah Eidelweis. Saya melewatkan tumbuhan ini setelah mengambil beberapa foto. Namun saat kembali menemukan tumbuhan lain yang serupa dan berbunga barulah saya melihat bahwa tumbuhan ini memiliki kesamaan dari bentuk bunganya seperti bunga Eidelweis. Seperti aturan pegunungan yang melarang memetik tangkai maupun bunga tersebut, akhirnya saya memilih untuk mengambil keseluruhan tanaman ini, mencabutnya hingga ke akarnya. Kelembapan dan kedinginan udara di kampung Imbot, Distrik Okbape saya rasa bisa memindahkan dan menumbuhkan tanaman ini di sana. Pemindahan tanaman ini dilakukan sembari saya melihat lebih detail tanaman  lebih jauh.
BUNGA EIDELWEIS
Eidelweis Papua secara detail tidak memiliki perbedaan yang mencolok dibanding dengan Eidelweis di beberapa pulau lain (Sumatera dan Jawa). Perbedaan Eidelweis  papua ini terlihat dari  daun serta tangkainya. Jika tangkai dan bunga Eidelweis di pulau luar papua bisa bercabang serta lebih hijau, berbeda sekali dengan bentuk tangkai Eidelweis papua yang menumbuhkan bunga ini hanya dengan satu batang tanpa tangkai bercabang. Dedaunan yang cenderung berwarna putih pekat  sebenarnya bukan warna daun melainkan semacam bulu-bulu halus rapat yang menutupi daun Eidelweis sendiri yang berwarna hijau. Maka saat jari menyentuh daun Eidelweis Papua ini kita akan merasakan lembut dan ketebalan bulu putih yang menutupi daunnya Eidelweis berwarna hijau.
Dalam hal proses tumbuhnya, Eidelweis  Papua berbeda dengan puncak lain dimana terdapat keseragaman Eidelweis yang tumbuh di sekitarnya. Sedangkan di puncak Kosikin,  saya hanya bisa menjumpai tiga batang tanaman ini di sekitar area puncak yang biasa tertutupi oleh kabut jika lewat dari jam 12.00 WITA . Padahal saya sangat berharap untuk menemukan lebih banyak lagi tanaman sejenis yang tumbuh kembang secara bersamaan. Sebagai tanaman khas pegunungan tidak lah berlebihan bahwa tanaman Eidelweis Papua termasuk flora yang tergolong langkah di Kabupaten Pegunungan Bintang. Dan saat tulisan ini ditulis Eidelweis yang saya cabut masih tumbuh di plant bag hitam berukuran sedang di depan rumah, Kampung Imbot. Entah berapa lama lagi saya akan menjumpainya berbunga saya akan menunggunya.
Flora dan fauna yang terdapat di papua merupakan bagian terbaik yang ada di Indonesia. Saya berharap tulisan tentang flora maupun fauna nantinya akan ada kembali.

Tulisan di bawah rumah sederhana Kalibagor 5 Desember 2018
    

Cerita Papua III: Bagai Ninja Hatori Aku Mencari Sinyal


Mendaki gunung
Lewati lembah
Sungai mengalir indah ke samudera, bersama teman bertualang
Lirik lagu dalam  film ninja hatori
Lirik ini tentu terdengar tidak asing di telinga para generasi 90-an atau 2000 an awal.  Penggalan  dalam lirik ceria ini mengingatkan kembali tentang kisah anak-anak di Hari Minggu saat menonton film animasi produk negeri matahari terbit berjudul Ninja Hatori. Sampai sekarang saya masih menyukai lirik ini, walau tidak lagi disertai dengan menonton kembali filmnya. Lirik ini kerap saya nyanyikan saat saya harus dengan benar-benar menjalani moment seperti yang tertulis di lagu tersebut. Senandung itu kerap  saya  nyanyikan di sini, di Papua.
perjalanan menuju lokasi sinyal (f/prie)


 Papua itu masih identik dengan  pedalaman, ini adalah fakta yang sampai saat ini belum terbantahkan. Kendaraan seperti mobil dan motor adalah alternatif terbatas jika hendak berkunjung di pedalaman ini. Sedangkan moda utama transportasi yang biasa dan terbiasa dilakukan di sini adalah pesawat capung atau jalan kaki. Isu Pembangunan dengan jargon pemerataan adalah bumbu lama yang sering digaungkan. Namun membelah hutan di Papua bukan perkara mudah. Membangun Papua itu mungkin namun itu lama.
Selain cerita jalan-jalan papua pedalaman yang masih hutan, semak belukar, dan bebatuan tebing, cerita tentang ketiadaan sinyal sebagai arus informasi juga masih menjadi bagian dari bab daerah tertinggal. Seolah berada di dunia lain, saya di papua masih hidup dengan surat sebagai penitip pesan.  Di sini handphone dan sinyal sudah dikenal, keduanya dianggap sebagai barang mahal dan sangat susah untuk didapatkan. sehingga untuk mendapatkan salah satunya saya pun diajarkan bagaimana menemukannya.
Saya tinggal kampung imbot, distrik okbape, pegunungan bintang.  Di sini masyarakat telah lama terbiasa dengan ketiadaan sinyal, listrik, hingga infrastruktur jalan yang minim. Berprofesi sebagai guru yang mengajar di pedalaman ini saya diminta untuk terbiasa. Namun ada saaatnya pada suatu waktu saya beranikan diri keluar untuk mencari sesuatu yang sangat rindukan, sinyal. 
 “ Ini tidak tipu pak guru, kalau mau jalan pak guru jalan sekitar tiga jam”  kata kepala kampung suatu ketika menjawab pertanyaanku, dimana mencari sinyal.
“Naik ojek tapi bisa toh...” jawabku membalas
“Bisa tapi, ongkos lagi 100 ribu sekali pergi” jawabnya lagi mentutup percakapan saat itu.   
  “ Puncak Kosikin saya akan ke sana” ujarku dalam hati.
***
Sampai akhir tahun 2017 saya sudah menempuh perjalanan menuju ke Puncak Kosikin sabanyak empat kali. Perjalanan dengan berjalan kaki kerap kami lakukan disamping naik ojek. Jika berkendara dengan ojek membutuhkan waktu sekitar 30-40 menit saja. Sedangkan jika ditempuh dengan berjalan kaki membutuhkan waktu yang lebih panjang sekitar 3-4 jam perjalanan. Jika kalian aku, kalian akan memilih yang mana.
ilustrasi peta menuju puncak kosikin (f/prie)

Ada banyak sebab kenapa aku memilih berjalan kaki menuju ke Puncak Kosikin guna mencari sinyal. Pertama, melatih lebih kuat kaki untuk berjalan. Kedua, biar lebih hemat ^_^. Seringkali ketika aku memulai perjalanan menuju ke Puncak Kosikin dibarengi oleh beberapa siswa. Entah sengaja  atau memang mereka penyuka petualangan, maka jadilah kami memulai perjalanan Puncak Kosikin ramai-ramai.
Adapun track perjalanan menuju Puncak Kosikin , kerap aku membayangkan seperti naik gunung. Jalanan yang datar, naik, turun, dan melewati beberapa anak sungai yang tidak begitu dalam. Walau seperti itu setiap perjalanan  kami harus membawa bekal. Dinginya Puncak Kosikin serta tidak ada sumber makanan membuat kita harus membawa bekal, walaupun itu hanya sekedar roti.
Perjalanan naik-turun ini sebenarnya bukan perjalanan yang dibilang gampang. Tanjakan batu yang melelahkan seringkali membuat nafasku ngos-ngosan. Jika sudah begini kami melepas lelah dengan meminum air yang ada di sepanjang perjalanan. Adapun perjalananku ini dimulai biasanya sejak jam 7 pagi. Dengan estimasi waktu sekitar 3-4 jam biasanya sampai di Puncak Kosikin sekitar pukul 10.30-11.00 WITA. Satu hal yang harus dipegang jika hendak mencari sinyal yakni jangan sampai di atas jam 12.30 WITA. Cuaca Puncak Kosikin  mulai mendung dan tertutup kabut mulai jam 12.30 hingga sore hari. Jika tetap nekad begini biasanya rasa dingin akan membuat kita menggigil. 
***
puncak yang seperti lembah (f/prie) 
Puncak Kosikin, entah bagaimana nama itu tersemat  di tempat ini. Posisi bukit yang berada di puncak  merupakan  pintu angin yang dijadikan pedoman oleh pilot penerbangan jika ingin melakukan pendaratan di Bandara Oksibil, Pegunungan Bintang. Sebagai puncak tertinggi sebelum memasuki Pegunungan Mandala, Puncak Kosikin merupakan jalur lintas kabupaten yang nantinya akan menghubungkan antara Pegunungan Bintang dan Kabupaten Yahokimo (Tapi entah kapan).


Bicara kondisi, Puncak Kosikin berada di titik terdingin menurutku. Titik sinyal terakhir sebelum menembus distrik pedalaman ini bukan tempat yang ramah jika pergi dengan tanpa bekal. Namun di sini ada keindahan alam tersendiri yang membuatku terpesona. 

Cerita Papua: Tempat ngumpetku asyik, Kampung Imbot

Papua dikenal dengan misteri pedalamannya
Dan, Kampung Imbot adalah bagian dari papua itu.

“ Di sini terkadang kita bisa melihat gumpalan putih di atas sana loh” tunjuk Dona, guru Indonesia Cerdas (IC) yang berasal dari Kupang, NTT sambil mengarahkan jarinya ke atas puncak Pegunungan Mandala setinggi 4760 Mdpl.

kampung imbot,papua (f/prie)
Udara pagi itu di kampung ini masih terasa dingin menurutku. Kampung Imbot yang berada tepat dibawah kaki Gunung Mandala ini tidak henti-hentinya meniupkan hawa dingin yang membuat gigiku kadang bergetar. Walau cahaya fajar pagi telah menyingsing sejam yang lalu dari pukul 05.15 namun aku masih belum menemukan hawa hangat dari sang mentari pagi. Sebaliknya, gumpalan-gumpalan awan yang menyelimut terlihat perlahan mulai menutup kembali dinding biru pegunungan Mandala yang tadinya cerah. Mungkin mentari pagi ini malu untuk bersinar akibat banyaknya gumpalan awan yang berkumpul menutup sinarnya. Menikmati matahari di Kampung Imbot kita harus terbiasa melihatnya sekitar 3-4 jam saja. Selebihnya hanya kabut, gerimis, dan hujan.

Di sebuah bangku kayu tak bercat aku meneguk secangkir kopi pagi sembari memberi salam kepada masyarakat Kampung Imbot yang mulai beraktivitas. Dengan perlengkapan tanpa alas kaki, pakaian yang lusuh, noken, dan parang mereka menerjang dinginnya pagi memulai beraktivitas untuk berkebun. Masyarakat Kampung Imbot adalah petani sayur. Di lereng dan lahan sepetak tanah subur Papua mereka tanami dengan sayuran penyambung hidup.

“Yepum” salam dua arah yang saling bertautan antara aku dan mereka ketika memulai percakapan.
Ungkapan Yepum dalam bahasa asli papua adalah terimakasih. Namun dalam keseharian Yepmum bisa menjadi kata “salam” selain ucapan selamat siang atau selamat pagi.   
***

Jika kelak kalian singgah di kampung ini kau tidak akan menemukan kemacetan seperti kota besar karena sebagian aktivitas mereka dijalani dengan berjalan kaki. Kampung Imbot yang berada dibawah administratif Distrik Okbape merupakan pedalaman yang jauh di pusat kabupaten. Pembangunan apa pun masih terlihat manual di sini. Sehingga wajar dalam keseharian masyarakat terbiasa untuk berjalan kaki hingga 5-6 jam. Listrik, sinyal, hingga barang murah adalah hal yang belum menyentuh pedalaman Kampung Imbot atau Distrik Okbape.
imbot (f/prie)


Walau seperti itu, Distrik Okbape yang terdiri dari enam kampung yakni Kampung  Imbot,  Kampung Bape, Kampung Bapenka, Kampung Kasawi, Kampung Akmer, dan Kampung Bongpom adalah kampung yang mampu mempresentasikan diri sebagai kampung yang memiliki keasrian lingkungan. Keindahan  Pegunungan Mandala yang membentang hingga udara perkampungan yang sejuk membuat kampung ini cocok untuk dijadikan tempat ngumpet dari namanya kejenuhan. Ngumpet dalam bahasaku adalah menghabiskan  waktu tanpa teknologi dan beban. Namun entahlah  Potensi wisata alam dan kampungnya yang bisa untuk ngumpet apakah kelak akan terealisasikan oleh pemerintah setempat.

Waktu mulai beranjak siang, kopi yang aku teguk perlahan sudah mulai habis. Masyarakat kampung masih terlihat hilir mudik menunaikan aktivitas sabtunya . Bagi mereka hari sabtu adalah hari terakhir dalam satu minggu untuk beraktivitas., sedangkan hari minggu adalah hari non aktivitas (hari ibadah gereja).  Seharian bekerja di kebun, pada sore hari mereka membawa hasil kebun berupa boneng (ubi), sayur warakum, buah topinong, daun ubi, pisang. Khusus untuk boneng makanan tersebut adalah pengganti beras yang cukup mengenyangkan tak kala lapar.
Namun terkadang aktivitas mereka di hari Sabtu terkadang tidak hanya untuk berkebun namun juga ada yang pergi ke kota Kabupaten Pegunungan Bintang bernama Oksibil untuk berbelanja. Oksibil sebagai ibu kota kabupaten memang menjadi magnet bagi masyarakat di sini untuk menunaikan hajat mereka. Namun keinginan untuk singgah atau sekedar pesiar ke kota memang bukan perkara mudah. Akses jalan yang susah mengakibatkan harga tranportasi untuk ke Oksibil sangat mahal. Daya jual dan daya beli masyarakat masih dalam masa pertumbuhan sehingga ongkos dan berbelanja masih terasa mahal menurutku..
Jika ingin berpergian ke kota kabupaten yang hanya berjakar 35-40 km ini, Masyarakat bisa memilih  untuk mengunjungi oksibil dengan jasa ojek 300 ribu, mobil 200 ribu, atau dengan berjalan kaki sekitar 9 jam perjalanan. Penulis pernah melakukan semua pilihan tersebut. Dan Pilihan-pilihan ini adalah hal lumrah jika kau berada di sini. 

“Da hati-hati e bapa” begitu teriakku kepada tetangga rumah yang hari sabtu ini berangkat ke kota dengan menggunakan jasa ojek.

‘Selamat ke kota, menunaikan hajatmu” ujarku dalam hati.

sore hari di kampung imbot (f/prie)
Imbot memang pedalaman yang masih perawan. Walau seperti itu arus informasi, pengetahuan, hingga perubahan terjadi perlahan di sini. Perubahan yang terasa lambat, perlahan akan menemukan ritme kemodernisasian kelak. Namun kadang kondisi yang serba ketiadaan ada kedamaian yang mereka pegang sebagai bentuk kearifan lokalnya. Perkampungan yang mayoritas beragama kristen protestan adalah penganut agama yang baik. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tidak terbiasa dengan merokok, minuman keras, hingga memakan sirih pinang. Keren kan.


prie dn 
 Di pedalaman ini sembari menikmati masa ngumpet dengan suasana tanpa internet, listrik (PLN), maupun suasana mall kota besar aku masih bisa menemukan informasi melalui siaran radio. Frekuensi dari tanah merah atau dikenal bouven digul memberikan informasi seputar indonesia dan papua. Sedangkan  jika ingin berkirim kabar aku menulis sepucuk surat atau menjelajah mencari sinyal (di cerita papua selanjutnya baca).

Jika sudah begini, aku jadi teringat Hatta dan Pramodeya yang dipaksa ngumpet. Namun keduanya adalah tokoh yang  gemar menulis dan membaca kemudian menghasilkan hasil pemikirannya. Hasil ngumpet mereka yang bermamfaat.    
    



       

Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...