Cerita Papua III: Bagai Ninja Hatori Aku Mencari Sinyal


Mendaki gunung
Lewati lembah
Sungai mengalir indah ke samudera, bersama teman bertualang
Lirik lagu dalam  film ninja hatori
Lirik ini tentu terdengar tidak asing di telinga para generasi 90-an atau 2000 an awal.  Penggalan  dalam lirik ceria ini mengingatkan kembali tentang kisah anak-anak di Hari Minggu saat menonton film animasi produk negeri matahari terbit berjudul Ninja Hatori. Sampai sekarang saya masih menyukai lirik ini, walau tidak lagi disertai dengan menonton kembali filmnya. Lirik ini kerap saya nyanyikan saat saya harus dengan benar-benar menjalani moment seperti yang tertulis di lagu tersebut. Senandung itu kerap  saya  nyanyikan di sini, di Papua.
perjalanan menuju lokasi sinyal (f/prie)


 Papua itu masih identik dengan  pedalaman, ini adalah fakta yang sampai saat ini belum terbantahkan. Kendaraan seperti mobil dan motor adalah alternatif terbatas jika hendak berkunjung di pedalaman ini. Sedangkan moda utama transportasi yang biasa dan terbiasa dilakukan di sini adalah pesawat capung atau jalan kaki. Isu Pembangunan dengan jargon pemerataan adalah bumbu lama yang sering digaungkan. Namun membelah hutan di Papua bukan perkara mudah. Membangun Papua itu mungkin namun itu lama.
Selain cerita jalan-jalan papua pedalaman yang masih hutan, semak belukar, dan bebatuan tebing, cerita tentang ketiadaan sinyal sebagai arus informasi juga masih menjadi bagian dari bab daerah tertinggal. Seolah berada di dunia lain, saya di papua masih hidup dengan surat sebagai penitip pesan.  Di sini handphone dan sinyal sudah dikenal, keduanya dianggap sebagai barang mahal dan sangat susah untuk didapatkan. sehingga untuk mendapatkan salah satunya saya pun diajarkan bagaimana menemukannya.
Saya tinggal kampung imbot, distrik okbape, pegunungan bintang.  Di sini masyarakat telah lama terbiasa dengan ketiadaan sinyal, listrik, hingga infrastruktur jalan yang minim. Berprofesi sebagai guru yang mengajar di pedalaman ini saya diminta untuk terbiasa. Namun ada saaatnya pada suatu waktu saya beranikan diri keluar untuk mencari sesuatu yang sangat rindukan, sinyal. 
 “ Ini tidak tipu pak guru, kalau mau jalan pak guru jalan sekitar tiga jam”  kata kepala kampung suatu ketika menjawab pertanyaanku, dimana mencari sinyal.
“Naik ojek tapi bisa toh...” jawabku membalas
“Bisa tapi, ongkos lagi 100 ribu sekali pergi” jawabnya lagi mentutup percakapan saat itu.   
  “ Puncak Kosikin saya akan ke sana” ujarku dalam hati.
***
Sampai akhir tahun 2017 saya sudah menempuh perjalanan menuju ke Puncak Kosikin sabanyak empat kali. Perjalanan dengan berjalan kaki kerap kami lakukan disamping naik ojek. Jika berkendara dengan ojek membutuhkan waktu sekitar 30-40 menit saja. Sedangkan jika ditempuh dengan berjalan kaki membutuhkan waktu yang lebih panjang sekitar 3-4 jam perjalanan. Jika kalian aku, kalian akan memilih yang mana.
ilustrasi peta menuju puncak kosikin (f/prie)

Ada banyak sebab kenapa aku memilih berjalan kaki menuju ke Puncak Kosikin guna mencari sinyal. Pertama, melatih lebih kuat kaki untuk berjalan. Kedua, biar lebih hemat ^_^. Seringkali ketika aku memulai perjalanan menuju ke Puncak Kosikin dibarengi oleh beberapa siswa. Entah sengaja  atau memang mereka penyuka petualangan, maka jadilah kami memulai perjalanan Puncak Kosikin ramai-ramai.
Adapun track perjalanan menuju Puncak Kosikin , kerap aku membayangkan seperti naik gunung. Jalanan yang datar, naik, turun, dan melewati beberapa anak sungai yang tidak begitu dalam. Walau seperti itu setiap perjalanan  kami harus membawa bekal. Dinginya Puncak Kosikin serta tidak ada sumber makanan membuat kita harus membawa bekal, walaupun itu hanya sekedar roti.
Perjalanan naik-turun ini sebenarnya bukan perjalanan yang dibilang gampang. Tanjakan batu yang melelahkan seringkali membuat nafasku ngos-ngosan. Jika sudah begini kami melepas lelah dengan meminum air yang ada di sepanjang perjalanan. Adapun perjalananku ini dimulai biasanya sejak jam 7 pagi. Dengan estimasi waktu sekitar 3-4 jam biasanya sampai di Puncak Kosikin sekitar pukul 10.30-11.00 WITA. Satu hal yang harus dipegang jika hendak mencari sinyal yakni jangan sampai di atas jam 12.30 WITA. Cuaca Puncak Kosikin  mulai mendung dan tertutup kabut mulai jam 12.30 hingga sore hari. Jika tetap nekad begini biasanya rasa dingin akan membuat kita menggigil. 
***
puncak yang seperti lembah (f/prie) 
Puncak Kosikin, entah bagaimana nama itu tersemat  di tempat ini. Posisi bukit yang berada di puncak  merupakan  pintu angin yang dijadikan pedoman oleh pilot penerbangan jika ingin melakukan pendaratan di Bandara Oksibil, Pegunungan Bintang. Sebagai puncak tertinggi sebelum memasuki Pegunungan Mandala, Puncak Kosikin merupakan jalur lintas kabupaten yang nantinya akan menghubungkan antara Pegunungan Bintang dan Kabupaten Yahokimo (Tapi entah kapan).


Bicara kondisi, Puncak Kosikin berada di titik terdingin menurutku. Titik sinyal terakhir sebelum menembus distrik pedalaman ini bukan tempat yang ramah jika pergi dengan tanpa bekal. Namun di sini ada keindahan alam tersendiri yang membuatku terpesona. 

Cerita Papua: Tempat ngumpetku asyik, Kampung Imbot

Papua dikenal dengan misteri pedalamannya
Dan, Kampung Imbot adalah bagian dari papua itu.

“ Di sini terkadang kita bisa melihat gumpalan putih di atas sana loh” tunjuk Dona, guru Indonesia Cerdas (IC) yang berasal dari Kupang, NTT sambil mengarahkan jarinya ke atas puncak Pegunungan Mandala setinggi 4760 Mdpl.

kampung imbot,papua (f/prie)
Udara pagi itu di kampung ini masih terasa dingin menurutku. Kampung Imbot yang berada tepat dibawah kaki Gunung Mandala ini tidak henti-hentinya meniupkan hawa dingin yang membuat gigiku kadang bergetar. Walau cahaya fajar pagi telah menyingsing sejam yang lalu dari pukul 05.15 namun aku masih belum menemukan hawa hangat dari sang mentari pagi. Sebaliknya, gumpalan-gumpalan awan yang menyelimut terlihat perlahan mulai menutup kembali dinding biru pegunungan Mandala yang tadinya cerah. Mungkin mentari pagi ini malu untuk bersinar akibat banyaknya gumpalan awan yang berkumpul menutup sinarnya. Menikmati matahari di Kampung Imbot kita harus terbiasa melihatnya sekitar 3-4 jam saja. Selebihnya hanya kabut, gerimis, dan hujan.

Di sebuah bangku kayu tak bercat aku meneguk secangkir kopi pagi sembari memberi salam kepada masyarakat Kampung Imbot yang mulai beraktivitas. Dengan perlengkapan tanpa alas kaki, pakaian yang lusuh, noken, dan parang mereka menerjang dinginnya pagi memulai beraktivitas untuk berkebun. Masyarakat Kampung Imbot adalah petani sayur. Di lereng dan lahan sepetak tanah subur Papua mereka tanami dengan sayuran penyambung hidup.

“Yepum” salam dua arah yang saling bertautan antara aku dan mereka ketika memulai percakapan.
Ungkapan Yepum dalam bahasa asli papua adalah terimakasih. Namun dalam keseharian Yepmum bisa menjadi kata “salam” selain ucapan selamat siang atau selamat pagi.   
***

Jika kelak kalian singgah di kampung ini kau tidak akan menemukan kemacetan seperti kota besar karena sebagian aktivitas mereka dijalani dengan berjalan kaki. Kampung Imbot yang berada dibawah administratif Distrik Okbape merupakan pedalaman yang jauh di pusat kabupaten. Pembangunan apa pun masih terlihat manual di sini. Sehingga wajar dalam keseharian masyarakat terbiasa untuk berjalan kaki hingga 5-6 jam. Listrik, sinyal, hingga barang murah adalah hal yang belum menyentuh pedalaman Kampung Imbot atau Distrik Okbape.
imbot (f/prie)


Walau seperti itu, Distrik Okbape yang terdiri dari enam kampung yakni Kampung  Imbot,  Kampung Bape, Kampung Bapenka, Kampung Kasawi, Kampung Akmer, dan Kampung Bongpom adalah kampung yang mampu mempresentasikan diri sebagai kampung yang memiliki keasrian lingkungan. Keindahan  Pegunungan Mandala yang membentang hingga udara perkampungan yang sejuk membuat kampung ini cocok untuk dijadikan tempat ngumpet dari namanya kejenuhan. Ngumpet dalam bahasaku adalah menghabiskan  waktu tanpa teknologi dan beban. Namun entahlah  Potensi wisata alam dan kampungnya yang bisa untuk ngumpet apakah kelak akan terealisasikan oleh pemerintah setempat.

Waktu mulai beranjak siang, kopi yang aku teguk perlahan sudah mulai habis. Masyarakat kampung masih terlihat hilir mudik menunaikan aktivitas sabtunya . Bagi mereka hari sabtu adalah hari terakhir dalam satu minggu untuk beraktivitas., sedangkan hari minggu adalah hari non aktivitas (hari ibadah gereja).  Seharian bekerja di kebun, pada sore hari mereka membawa hasil kebun berupa boneng (ubi), sayur warakum, buah topinong, daun ubi, pisang. Khusus untuk boneng makanan tersebut adalah pengganti beras yang cukup mengenyangkan tak kala lapar.
Namun terkadang aktivitas mereka di hari Sabtu terkadang tidak hanya untuk berkebun namun juga ada yang pergi ke kota Kabupaten Pegunungan Bintang bernama Oksibil untuk berbelanja. Oksibil sebagai ibu kota kabupaten memang menjadi magnet bagi masyarakat di sini untuk menunaikan hajat mereka. Namun keinginan untuk singgah atau sekedar pesiar ke kota memang bukan perkara mudah. Akses jalan yang susah mengakibatkan harga tranportasi untuk ke Oksibil sangat mahal. Daya jual dan daya beli masyarakat masih dalam masa pertumbuhan sehingga ongkos dan berbelanja masih terasa mahal menurutku..
Jika ingin berpergian ke kota kabupaten yang hanya berjakar 35-40 km ini, Masyarakat bisa memilih  untuk mengunjungi oksibil dengan jasa ojek 300 ribu, mobil 200 ribu, atau dengan berjalan kaki sekitar 9 jam perjalanan. Penulis pernah melakukan semua pilihan tersebut. Dan Pilihan-pilihan ini adalah hal lumrah jika kau berada di sini. 

“Da hati-hati e bapa” begitu teriakku kepada tetangga rumah yang hari sabtu ini berangkat ke kota dengan menggunakan jasa ojek.

‘Selamat ke kota, menunaikan hajatmu” ujarku dalam hati.

sore hari di kampung imbot (f/prie)
Imbot memang pedalaman yang masih perawan. Walau seperti itu arus informasi, pengetahuan, hingga perubahan terjadi perlahan di sini. Perubahan yang terasa lambat, perlahan akan menemukan ritme kemodernisasian kelak. Namun kadang kondisi yang serba ketiadaan ada kedamaian yang mereka pegang sebagai bentuk kearifan lokalnya. Perkampungan yang mayoritas beragama kristen protestan adalah penganut agama yang baik. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tidak terbiasa dengan merokok, minuman keras, hingga memakan sirih pinang. Keren kan.


prie dn 
 Di pedalaman ini sembari menikmati masa ngumpet dengan suasana tanpa internet, listrik (PLN), maupun suasana mall kota besar aku masih bisa menemukan informasi melalui siaran radio. Frekuensi dari tanah merah atau dikenal bouven digul memberikan informasi seputar indonesia dan papua. Sedangkan  jika ingin berkirim kabar aku menulis sepucuk surat atau menjelajah mencari sinyal (di cerita papua selanjutnya baca).

Jika sudah begini, aku jadi teringat Hatta dan Pramodeya yang dipaksa ngumpet. Namun keduanya adalah tokoh yang  gemar menulis dan membaca kemudian menghasilkan hasil pemikirannya. Hasil ngumpet mereka yang bermamfaat.    
    



       

Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...