Catatan Perjalanan Koe: Seuntai keindahan di Puncak Lawang





“ Satu kata untuk Puncak Lawang yakni indah “
Sabtu, 21 November 2015
Suasana dingin mulai merambat ke seluruh tubuhku. Aku kembali memulai perjalanan yang dekat dengan alam, Puncak Lawang nama tempat itu. Benar juga rasanya ketika seorang traveler urang awak mengatakan bahwa Sumatera Barat memiliki nilai jual yang tinggi dalam hal wisata. Namun kurangnya motivasi dalam melakukan promosi serta ketersediaan sarana yang kurang lengkap ditambah minimnya dukungan lingkungan sosial membuat ikon-ikon wisata yang ada di ranah minang ini meredup. Oleh karena itu butuh tanggapan serta respon posotif dari semua pihak terkait untuk mewujudkan nilai jual wisata ranah minang dikenal khalayak ramai.
Sumatera Barat adalah bentangan wilayah nagari-nagari yang  kaya akan wisata mulai dari bagian pesisir pantai, wisata kuliner hingga wisata alam pegunungan. Salah satu wisata alam pegunungan  adalah  keindahan alam dari Puncak Lawang yang berada di Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Puncak Lawang, dari namanya bisa ditebak bahwa wisata ini berkaitan dengan alam pegunungan. Suhu udara yang terus dingin sepanjang hari membuat udara di Puncak Lawang cukup lembab. Puncak Lawang yang berada di ketinggian 1210 Mdpl ini bisa menjadi pilihan wajib bagi penyuka wisata alam untuk singgah ke Sumatera Barat.
***

Perjalanan dengan grup PPG-UNP cukup melelahkan dari titik kota Padang- Puncak Lawang berakhir sekitar jam 12.30 WIB. Sekitar tiga jam perjalanan melalui rute via kota Padang-Pariaman-Malalak-Puncak Lawang. Sembari menunggu jatah makan siang yang terbatas aku menikmati untuk kali pertama udara dingin dan panorama alam dari Puncak Lawang ini bersama belasan rombongan lain. Puncak  Lawang bisa dinikmati siapa pun dengan topografi yang minim curam layaknya cadas pegunungan. Selain itu  Puncak Lawang juga menawarkan keindahan arsitektur atau tata bangunan yang menarik. Keberadaan kantin, penginapan, serta bangunan lain ada di Puncak Lawang. Beberapa bangku serta meja tersusun elok menghadap Danau Maninjau dan bukit-bukit yang hijau. Sebuah keindahan yang sempurna.
Keindahan alam Puncak Lawang ini konon juga telah digunakan oleh pembesar kolonial Belanda untuk beristirahat sembari melihat pemandangan Danau Maninjau dari Puncak Lawang ini. Selain itu, ikon Puncak Lawang  pun menjadi destinasi untuk promo wisata international yang dilakukan oleh pemerintah Sumatera Barat beberapa waktu lalu melalui ajang Tds (tour de singkarak).  Jadi bukan isapan jempol kiranya menjadikan Puncak Lawang sebagai plihan di akhir pekan seperti Sabtu minggu untuk berwisata keluarga maupun pribadi.
***
Aku menyandarkan bahuku di sebuah bangku putih yang menghadap ke perbukitan yang merapat. Usai serangkaian aktivitas game outbond ala  PPG aku menghabiskan waktu di bangku tua yang masih kuat ini. Rintikan hujan semakin deras membuat Puncak Lawang terlihat kembali menyepi. Tenda dan penginapan di sesaki dengan hawa manusia yang memilih menghangatkan tubuh ketimbang berhujan ria di luar. Memang menurut Zaki selaku leader outbond mengatakan Puncak Lawang identik dengan hujan.
Aku bermalasan memandang hari sore yang semakin gelap. Gumpalan mendung menutup hari sore akan cerah. Padahal jika sore itu cerah matahari akan menawarkan keindahan dengan sunset diantara danau maninjau. Namun begitulah, akhirnya setelah obrol sana sini dengan rekan PPG aku bergerak menuju sebuah warung yang terawatt rapi tak jauh dari bangku tempat aku meneduhkan diri.
“Buk mie gelas ya…” pesanan mie gelas seharga delapan ribu menjadi penawar untuk kepalaku yang agak sakit, mungkin akibat air hujan. Hujan yang semakin riuh dengan derasnya air dari langit membuatku nyaman dengan hangatnya bangunan warung yang tertutup dari hembusan angin dan rintikan hujan. Sembari menikmati hidangan mie ditambah dengan gorengan yang masih panas aku menikmati sarana yang ada di Puncak Lawang. Jadi bagi yang hendak bermalam di Puncak Lawang dan mencari souvenir di sini tersedia cukup lengkap, sayang sekali penulis tak sempat  untuk bertanya perihal berapa harganya.
***
Minggu, 22 november 2015
Tring…tringggg
Mataku masih setengah terpejam ketika alarm dari HP Samsungku mulai berdering. Setelan alarm  jam 5 pagi memaksa aku untuk beranjak dari tenda no 1 ini. Usai salat aku masih menggerakan badan dan mata. Kegiatan serimonial malam hari dan penyerahan hadiah masih menyisakan lelah yang sangat di badan.
Terlihat siluet bayangan manusia yang berada di dataran Puncak Lawang. Rupanya kesamaan untuk mencari moment memang dimamfaatkan tidak hanya oleku namun juga belasa rekan lainnya bahkan puluhan nantinya. Dengan berbekal kameramilik hendar ivana  aku mengabadikan moment itu. Jepret sana sini menghasilkan gambar yang indah pagi itu. 

Usai aksi jepret sana sini aku kembali duduk di sekitar bibir Puncak Lawang. Sebuah bangku besi anti karat aku hadapkan kea rah danau maninjau. Danau yang menjadi salah satu pencarian utama penduduk maninjau. Udara pagi terlihat sopan menghembuskan oksiden pagiya. Aku menarik resletingku semabri menikmati udara pagi ini. Desiran angin terlihat tak membuat riak-riak kecil di pinggiran danau. Sungguh tenang.
Dataran luas yang ditumbuhi oleh rumput hijau ini mempunyai ukuran sama seperti lapangan bola. Deretan bangku besi tak berkarat juga sengaja disediakan sebagai penawar lelah ketika menikmati keindahan alam di Puncak Lawang.
***
Matahari pagi mulai menampakan cahaya indahnya. Pantulan hangat mentari pagi jatuh begitu saja ditanah hijau yang membutuhkan cahaya keindahan. Beberapa saat usai olahraga pagi sarapan pagi bersama kami berhamburan lagi ke tepian Puncak Lawang. Entah kenapa seolah tak pernah ada rasa puas untuk kami menikmati keindahan dari atas tertinggi ini. Mungkin  benar juga ungkapan orang bijak jika keindahan yang dilihat dari ketinggian tidak hanya indah yang akan dirasakan namun juga ada kedamaian.
Aku sendiri kerap berpindah antara satu bangku ke bangku lainnya. Seolah tak ingin melewatkan apa pun perubahan dari puncak ini. Danau Maninjau yang terlihat suram di pagi buta mulai menampakan warna tawarnya. Seiring waktu hembusan angin lantas membawa gumpalan-gumpalan awan ke sekitar danau. Panorama yang terlihat seperti magic selalu berubah. 

“1…..2……3…..” aba-aba foto terlihat akur didengarkan oleh mereka yang  ingin mengabadikan moment ini dan nanti berakhir di media sosial. Berbagai foto dengan aksi senyum, tertawa, bahkan dengan gaya meloncat terabadikan dalam bingkai kamera digital ini. Sungguh hari yang berbahagia. Sayang sekali waktu menikmati ala mini tak lah begitu lama.



 

Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...