Catatan Perjalanan : Sehari di Gunung Meja, Kota Ende

“Untuk apa itu mas?” Gilang bertanya kepada penulis ketika sebuah beberapa botol minuman bekas sengaja penulis masukan ke dalam sebuah kantong plastik. “Benda-benda ini (botol dan plastik makanan_red) dikumpulkan untuk dibuang ke tempat yang seharusnya”. Ujar penulis kepada mereka. Selanjutnya sembari memasukan beberapa botol dan plastik, gilang sedikit mendengarkan penjelasan dari penulis bahwa benda-benda yang terbuat dari plastik maupun kaleng akan sulit mengurai. Oleh karena itu agar terjaga keasrian alam maka jangan membuang sampah di sembarang tempat. Gilang cs, yang masih sekolah tingkat dasar ini lantas ikut membantu mengumpulkan pembungkus makanan maupun minuman yang terbuat dari plastik untuk dimasukan ke dalam kantong plastik ini. Kejadian diatas adalah bagian dari cerita perjalanan yang penulis lakukan bersama teman-teman Guru Muda SM3T Ende, NTT 31 maret 2014. Perjalanan kali ini penulis bersama Guru Muda SM3T terdiri dari Pri, Dila, Tiana, Yuni, Sofi, Anggi, Cici, Mega, Hamda, dan Si Kecil Imam melakukan perjalanan menujuh Gunung Meja . Perjalanan mendaki Gunung Meja ini sama halnya dengan Gunung Iya. Dimana perjalanan ini lebih dikatakan sebagai karyawisata hicking sehari. ***
Gunung Meja sebagai bagian dari keindahan alam Kota Ende memang telah menjadi ikon untuk hicking bagi banyak kalangan. Jika Gunung Iya merupakan gunung aktif, lain halnya dengan Gunung Meja yang merupakan gunung tidak aktif. Adanya legenda Gunung Meja yang terpotong kepalanya oleh Gunung Iya akibat permasalahan asmara menjadi asbab gunung yang berbentuk meja ini menjadi gunung non aktif. Walau seperti itu, Gunung Meja adalah bagian dari kota yang pernah disinggahi Bung Karno sebagai gunung yang mempesona dilihat dari sudut manapun di Kota Ende ini. Untuk mencapai Gunung Meja ini membutuhkan beberapa persiapan yang harus dilakukan terutama menyiapkan bahan-bahan logistik atau makanan serta kondisi fisik yang fit. Menurut penulis Gunung Meja ini yang tidak setinggi Gunung Iya 650 Mdpl yakni sekitar ketinggian 400 Mdpl. Walaupun dengan ketinggian yang kurang dari Gunung Iya sebagai gunung aktif satu-satunya di Kota Ende, Gunung Meja tetap memiliki trek perjalanan yang menantang, khususnya bagi kalangan pemula yang hicking di Gunung Meja ini. ***
Jam menunjukan pukul 06.00 WITA. Personil yang memang telah berencana untuk hicking mulai bersiap-siap. Persiapan logistik berupa air minum dan makanan ringan menjadi persiapan utama, walaupun akhirnya persiapan ini dibeli di sebuah toko di sekitar kaki gunung meja. Arloji jam tangan penulis menunjukan pukul 07.05 WITA penulis bersama Guru Muda SM3T siap berangkat. Usai berfoto bersama maka dengan langkah pasti perjalanan dimulai. Perjalanan ini dimulai dari jalan Perumnas kos-kos raya sebagai rumah orang tua angkat Guru Muda SM3T asal kota padang. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mencari kendaraan, penulis dan Guru Muda SM3T memilih menaiki sebuah angkutan yang biasa dipanggil bemo ini. Sedikit negosiasi tarif untuk menujuh Gunung Meja, akhirnya kesepakatan 5000 rupiah membawa penulis bersama Guru Muda SM3T menujuh perjalanan pertama hicking di Gunung Meja. Perjalanan dengan menggunakan bemo ini tidak membutuhkan waktu yang lama, kurang dari 20 menit perjalanan bemo yang juga dikenal dalam Bahasa Ende sebagai oto telah berada di sekitar Pondok Pesantren Wali Songo. Sembari menunggu tambahan personil yang hendak bergabung yakni Mega dan Mada ( Guru Muda SM-3T UNY) penulis dan rekan-rekan Guru Muda SM-3T melakukan perkenalan singkat di pondok pesantren tersebut. *** “Teman-teman sebelum memulai perjalanan ini kita berdoa terlebih dahulu untuk keselamatan diri “ Berdoa merupakan kegiatan yang menurut penulis wajib dilakukan ketika memulai perjalanan pendakian alam ini. Walaupun Gunung Meja berada dalalm ruang lingkup kota ende, namun keselamatan diri dalam alam tidak ada yang menjamin. Kearifan alam adalah hal yang banyak dan harus dipelajari sebagai manusia budiman yang mencintai alam Indonesia. Perjalanan dimulai…
Jam menunjukan waktu 07.30 WITA penulis dan Guru Muda SM-3T telah mulai melangkahkan kaki menujuh Gunung Meja. Rute perjalanan diawali dengan melewati perkebunan warga. Selama melewati perkebunan ini, Penulis melihat tanaman yang ditanam warga pada umumnya merupakan tanaman-tanaman pilihan yang bisa bertahan (hidup) dengan suhu udara yang panas yakni tanaman ubi dan pohon kelapa. Walaupun terdapat tanaman lain namun bukan prioritas tanaman yang akan ditanami. Dalam perjalanan beriringan penulis dan rekan-rekan Guru Muda SM-3T menikmati pemadangan alam yang terlihat di sekitar gunung meja. Perbukitan yang masih hijau masih terlihat asri dengan pepohonan yang cukup rapat. Selain itu, panorama ini semakin indah ketika melihat lautan yang membiru dengan cahaya matahari pagi ini. Semangat yang terihat dari rombongan Guru Muda SM-3T plus si kecil imam menjadi sugesti bahwa perjalanan ini akan sangat menyenanangkan. “Selamat datang di hicking Gunung Meja”
Sebuah sambutan yang terlontar oleh salah seorang Guru Muda SM-3T ketika akan melalui trek hicking. Perjalanan yang diawali dari perkebunan warga tidak terlalu lama. Selanjutnya trek hicking dimulai dengan pendakian melewat jalan setapak yang terus naik ke atas puncak gunung meja. Dengan tingkat kemiringan bertingkat sekitar 40 derajat hingga 50 derajat ini cukup membuat beberapa rekan-rekan Guru Muda SM-3T menggunakan sebuah tongkat kayu untuk menopang badan untuk naik ke atas. Tanah sebagai tempat berpijak juga bukan tanah lembab atau tanah bebatuan namun tanah kering yang membuat beberapa kali terpeleset olehnya.
Namun hicking ala pendakian ini memberikan nuansa yang berbeda. Dimana rute perjalanan pendakian ini dikelilingi oleh pepohonan alam yang eksotis. Tidak cukup dalam hitungan jari ketika beberapa kali pemberhentian rekan-rekan Guru Muda SM-3T menghabiskannya dengan berfoto. Moment yang pertama bagi rombongan termasuk penulis menjadi pemicu untuk mengabadikannya dalam bentuk jepretan¬ foto. *** Puncak gunug meja akhirnya ditaklukan oleh 9 personil Guru Muda SM-3T. perjalanan yang menghabiskan waktu sekitar 50 menit mengantarkan kami ke puncak gunung meja. Usai beristirahat sejenak perjalanan hicking dilanjutkan ke arah tugu yang memang menjadi titik puncak hicking yang dilakukan banyak orang. Hal ini terlihat dari aksi vandalis (coretan) yang terdapat di sekitar tugu.
Puncak Gunung Meja memang tidak seindah dengan Gunung Iya sebagai gunung aktif. Ruang mata yang terbatas memandang di sekiitar Gunung Meja bisa membuat kekecewaan bagi yang hendak melihat pantai lepas. Namun puncak tetaplah sebuah puncak yang memang memiliki perbedaan tanpa harus disamakan dengan puncak lainnya. Gunung Meja memang tidak memiliki ruang untuk memandang bebas namun cela-cela yang terdapat dalam pepohonan menjadi cela keindahan untuk melihat keindahan dari atas Gunung Meja ini. Pemandangan puncak merupakan pemandangan berupa tanaman liar yang tergabung dengan tanaman warga yang sengaja menanam tanaman yang bisa menopang hidup mereka. Gunung Meja juga menjadi lahan bagi mereka (warga) untuk mencari kayu bakar. Dalam proses pendakian ini penulis berpas-pasan dengan warga yang hendak pergi ke kebun untuk mencari kayu bakar atau memetik tanaman, pekerjaan yang biasa menjadi rutinitas mereka.
Perjalanan hingga di puncak Gunung Meja membawa sebuah rasa kebersamaan yang cukup erat. Latar sebagai Guru Muda SM-3T menambah rasa kebersamaan yang menghabiskan waktu di alam liar menjadi hangat. Kegiatan di puncak dihabiskan dengan makan bersama dengan makanan ringan ala kadarnya dan aksi jepret dengan berbagai kamera yang telah dipersiapkan. Sekitar dua jam penulis bersama rekan-rekan Guru Muda SM-3T menghabiskan waktu dipuncak. Sebelum turun, kembali ke rumah penulis bertemu dengan gerombolan anak-anak yang hicking tanpa pemandu dewasa. Tidak butuh lama gerombolan yang masih sekolah SD ini menjadi teman di perkenalan kami. ***
Perjalanan mendaki ke atas tidak seindah dengan pendakian menurun. Beberapa kali beberapa rombongan terjatuh ketika menuruni punggun gunung meja. Kondisi jalan yang berupa tanah kering ditambah dengan perlengkapan alas kaki yang tidak mumpuni membuat perjalanan ini berakhir dengan jatuh bangun rombongan. Namun akhir perjalanan ini penulis dan rekan-rekan Guru Muda SM-3T mendapat tumpangan dari sebuah mobil pengangkut tanah menujuh ke pasar ende. Perjalanan menujuh ke pasar inilah yang membawa mata penulis yang melihat lekat Gunung Meja berjalan menjauhinya. “Terimah kasih untuk hari ini,dan selamat berjuang untuk perjalanan selanjutnya..”

Catatan Perjalanan : Menatap Ende dari Ketinggian 655 Mdpl

Jika laksana sebuah lukisan, maka inilah lukisan keindahan alam yang telah Tuhan berikan. Tegak kokoh, Gunung Iya mengibarkan sebuah bendera keindahan.. Lautan yang membiru, gurun hijau, Dengan bukit sebagai pembatasnya.. Gunung Iya, 9 maret 2013
Ungkapan diatas rasanya pas untuk menggambarkan apa yang kami berlima ungkapkan ketika berada di puncak Gunung Iya ini. Perjalanan mendaki sehari ini setidaknya menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi setiap pendaki atau pengunjung ke lokasi Gunung Iya, yang berada di Kota Ende, NTT ini. Adapun perjalanan yang hari ini penulis lakukan adalah pendakian bersama guru-guru muda SM-3T asal Kota Padang UNP yakni Pri, Tiana, Ayu, Dila, dan Leni. Pendakian yang dikemas dalam hecking ini memberikan kesan kecintaaan guru muda SM-3T terhadap alam Indonesia yang luas dan indah. Maka untuk mengolah dan menjaga keindahan tersebut adalah dengan memajukan SDM dengan cara pendidikan.
Perjalanan mendaki Gunung Iya ini sebenarnya tidak juga dikatakan sebagai pendakian, melainkan hacking. Namun embel-embel Gunung Iya dan ketinggian maka perjalanan ini dikatakan sebagai pendakian. Sebelum melaksanakan perjalanan di hari Minggu, 9 Maret 2014, penulis dan rekan-rekan terlebih dahulu mencari info tentang Gunung Iya ini. Hal ini sangat penting dan jangan dianggap lalai, dengan info ini berguna untuk meminimalisir faktor X yang akan menghambat perjalanan pendakian. Persiapan berupa fisik serta bahan makanan adalah hal yang harus dicek secara berulang. Puncak Gunung Iya adalah puncak alam yang tiada menyediakan bahan makanan yang siap saji atau siap dijual. Kamera, tas, topi, air minum, mie instan, cokelat, syal, alat tulis, alat P3K, dan sarung menjadi persiapan yang penulis lakukan secara pribadi.
Pemilihan Gunung Iya sebagai rute perjalanan ini adalah sebuah pilihan yang dianggap cukup menantang dalam mengisi hari libur. Kota ende yang memiliki pilihan beberapa gunung seperti Gunung Meja, Gunung Reja,dan Gunung Iya. Ketiga gunung inilah yang mengapit Kota Ende hingga saat ini. Adapun Gunung Iya memiliki keistimewaan sebagai gunung yang masih aktif. Letusan gunung ini pun pernah terjadi,salah satunya pada tahun 1960-an. Oleh karena ini info berupa kondisi gunung adalah hal wajib di cari tahu oleh pendaki atau penikmat alam. Selain itu, rute dalam pendakian Gunung Iya juga terdapat tantangan bagi pendaki yang hendak mencapai puncak. Setidaknya ada beberapa fase yang akan dilalui oleh pendaki dalam perjalanannya hingga tingkat kemiringan yang akan dilaluinya. Oleh karena itu dalam melakukan pendakian ini, salah satu tips yang penulis berikan adalah pendakian ini baiknya dilakukan pada pagi hari yakni jam 06.00 hingga jam 09.00 WITA.
Hal ini yang penulis lakukan bersama teman sejawat guru muda SM-3T asal kota Bengkoang ini. Perjalanan dimulai dari batas awal rumah perumnas yang berada di jalan kos-kos raya. Dengan modal 10.000 rupiah per orang lantas para pendaki ini menaiki angkutan umum kota ende yang biasa dinamakan bemo. Jam 08.00 WITA kami mulai menikmati perjalanan melalui angkutan umum ini menujuh ke kampung tanjung yang merupakan lokasi pembuangan akhir sampah Kota Ende. Memilih menaiki angkutan umum ini setidaknya membutuhkan waktu Sekitar 30 menit dari Perumnas hingga Tanjung. Tidak butuh waktu lama penulis dan rekan-rekan untuk mengulang cek perlengkapan mendaki ini. Usai membayar uang masuk 4000 rupiah per orang dan membeli minuman maka perjalanan menaklukan Gunung Iya dimulai.
Ketika pendakian akan dilakukan, penulis dan rekan-rekan berdoa terlebih dahulu, kegiatan doa ini adalah pendekatan spritual agar perjalanan ini memberikan mamfaat bagi penulis dan rekan-rekan guru muda SM-3T. Jam 08.30 WITA maka pendakian ini dimulai. Fase-fase hingga ke puncak kerap penulis dan rekan-rekan abadikan dalam bidikan kamera. Setidaknya memang yang harus dilakukan di alam liar adalah menjaga etika alam dengan tidak melakukan aksi vandalis seperti mencoret-coret, maupun merusak lingkungan di sekitar. Menurut penulis pendakian Gunung Iya setidaknya terdapat tiga fase. Pertama fase tanah pasir, setidaknya pendakian yang membutuhkan waktu sekitar 3, 5 jam ini dilalui dengan tanah pasir. Dimana dalam lokasi ini setiap pendaki menemui tumpukan sampah yang memang dibuang di wilayah kaki Gunung Iya tersebut. Dalam fase ini pendaki harus menjaga indra penciuman dari sampah yang ditumpuk di sepanjang jalan. Fase kedua, yakni pendakian dengan tingkat kemiringan yang sedang. Namun di sinilah tantangan itu dirasakan. Keberangkatan pendakian yang dimulai jam 08.30 WITA sebenarnya bukan jam yang normal untuk mendaki. Hal ini karena panasnya matahari akan langsung menyentuh bagian tubuh. Hal ini lah yang penulis dapatkan sebagai pelajaran dengan melihat kondisi yang cerah. Dalam fase ini langkah kaki mulai tertatih-tatih. Perjalanan yang mulai menanjak ini minim pepohonan dan angin. Akibatnya rasa lelah badan selain jalan kaki juga karena sengata sinar matahari ende yang sangat panas. Dalam kondisi seperti ini air adalah bahan logistik utama yang harus diatur dalam penggunaannya.
Jam hampir menunjukan waktu jam 12.00 WITA. Perjalanan memasuki fase ketiga, dimana pada lokasi ini banyak ditemukan pepohonan untuk sekedar berteduh. Namun dalam fase yang terakhir inilah yang membuat penulis dan rekan-rekan SM-3T melangkah dengan langkah yang tidak sama dan cenderung lambat. Tingkat kecuraman sekitar 60 derajat, jalanan yang penuh dengan batu-batu keras. Dalam kondisi ini rentang jarak antar para pendaki kini mulai menjauh, dila, leni, dan tiana berjalan lebih dahulu untuk segera mencapai puncak. Sedangkan penulis dan ayu masih berada di urutan belakang. Walau seperti itu, komunikasi antar pendaki ini harus dijaga untuk melihat kondisi antar sesama teman. Sebelum mencapai puncak penulis sempat berpapasan dengan beberapa anak remaja yang hendak turun ke bawah. Mereka siswa di sebuah sekolah Kota Ende, namun kesan penulis ketika bertemu mereka adalah fisik mereka yang kuat dengan membawa perbekalan yang tidak terlalu banyak. Dan, tepat jam 12.30 penulis akhirnya berada di puncak tertinggi Gunung Iya ini bersama keempat rekan guru muda dan sebuah bendera merah putih. Seperti pada perjalanan sebelumnya, penulis mengabadikan foto dan video bersama bendera merah putih. Harapan bahwa alam Indonesia memiliki seribu warna yang harus diabadikan dan dilestarikan. Pepohonan cemara dan pepohonan lainnya menambah keindahan puncak Gunung Iya. Ketika berada di puncak ini sebagain besar mata memandang kota ende secara total, dan ketika kaki melangkah agak menjauh maka pandangan mata akan melihat laut flores berikut dengan pulau-pulau yang ada di sekitar flores ini.
Kontras jika hendak membandingkan suhu antara perjalanan dengan puncak Gunung Iya. Dimana ketika kaki ini telah berada di puncak suhu udara yang memanas mulai berganti dengan suara angin yang membawa kesejukan udara. Usai menikmati hidangan siang berupa roti dengan air minum yang dibatasi, perjalanan menujuh kawah Gunung Iya dimulai. Dengan langkah perlahan aksi memotret tidak terhindarkan. Dengan sengaja membawa bendera merah putih lantas penulis mendokumentasikan pendakian ini dalam sebuah aksi jepret dan video dokumentasi. Matahari siang mulai berada di atas kepala kami. Semangat dan tekad guru muda SM-3T akhirnya berada di pinggiran kawah. Lagi, Gunung Iya menawarkan keindahan alam terbaiknya. Kawah yang terletak di pinggiran gunung yang menghadap samudra laut flores ini sungguh indah. Bahkan laut yang membiru sedikit beradu warna sehingga muncul corak warna hijau. Keindahan puncak Gunung Iya membuat penulis dan rekan-rekan guru muda SM-3T terkesima oleh keindahan alam di Gunung Iya ini. 120 menit kami menghabiskan waktu di puncak tertinggi Gunung Iya. Usai menikmati keindahan yang telah diciptakan oleh Tuhan ini lantas kami pun bersiap untuk kembali turun ke bawah. Tidak seperti saat mendaki yang bisa dilakukan tanpa perlu ekstra hati-hati. Pendakian yang telah penulis jelaskan terdapat 3 fase perjalanan naik ke atas Gunung Iya ini. Maka saat penurunan semua rekan-rekan harus sangat hati-hati. Tidak jarang beberapa rekan guru muda SM-3T ini terjatuh ketika perjalanan menuruni Gunung Iya ini. Habisnya logistik air mineral membuat kami sedikit kehilangan konsentrasi. Namun perjalanan menuruni punggung pegunungan ini menyebabkan kecepatan waktu yang lebih cepat yakni 90 menit. Rasa haus sangat terasa dalam perjalanan pulang. Ketiadaan sumber air menjadi pelajaran kami untuk bisa membawa logistik cair yang cukup banyak. Mendekati jalan awal penulis mengambil beberapa tumbuhan liar yang tumbuh di sekitar. Sebuah tumbuhan yang memilki buah sebesar bola mata namun dibungkus dengan serat-serat. Tanpa basa-basi penulis dan ayu yang kebetulan berada barisan di belakang menikmati beberapa biji buah yang hampir sama rasanya seperti buah markisa.
Perjalanan ini adalah perjalanan yang cukup mengesankan. Penulis pun banyak beajar dalam hacking ini. Tentu saja dalam perjalanan ini penulis ingin berikan dalam kesannya dalam baitan kata-kata yang mudah di mengerti. Akhir perjalanan kami mendapatkan tumpangan yakni mobil pengangkut pasir yang melewati pasar. Tanpa pikir panjang setelah melihat ketiadaan mobil angkutan yang lewat akhirnya tumpangan ini menjadi bagian cerita dari akhir perjalanan mendaki Gunung Iya.

Catatan Perjalanan : Sudut Lain Kelimutu di Tanah Flores

Pernah ke Kelimutu? Setidaknya pertanyaan ini harus terjawab ketika kaki anda berada di tanah flores. Dalam penulisan singkat ini, penulis telah menuliskan perjalanan menujuh Kelimutu dalam tulisan di blog….sebelumnya. Maka dalam tulisan ini penulis sengaja mengambil sudut lain yang terdapat dalam keindahan danau tiga warna ini. Kelimutu adalah kebanggaan alam yang dibanggakan oleh masyarakat flores pada umumnya. Namun kebanggaan tersebut tidak hanya dalam keindahan alamnya, kearifan lokal yang masih hidup dalam kawasan Kelimutu tersebut menjadi daya tarik tersendiri dari si Danau Kelimutu ini. Sebagai sebuah keindahan alam, Kelimutu tetaplah sebuah gunung setinggi 1643 mdpl. Sebuah bagian dari alam yang memiliki kawah layaknya gunung lainnya. Namun Kelimutu yang menjulang tinggi layaknya gunung mampu mengubah wajahnya dari kawah menjadi genangan-genangan yang memiliki tiga warna, yakni hijau tua, hijau muda dan hitam, atau warna ini dapat juga dikenal dengan nama Tiwu Ata Polo, Tiwu Nua Muri Ko’ofai,dan Tiwu Ata Mbopu . Namun warna ini akan berubah seiring perubahan cuaca atau sesuatu yang lain. Salah satunya danau ini akan berubah menjadi merah yang berarti bahwa akan adanya bencana alam dari Kelimutu. Keterangan akan hal ini dapat dijumpai oleh wisatawan-wisatawan berkunjung ke Kelimutu melalui berbagai tulisan-tulisan yang menerangkan profil Kelimutu ini.
Kearifan lokal yang hidup di Kelimutu yakni efek magis terkadang sulit dipercaya oleh akan sehat (rasional). Namun, inilah kebudayaan lokal yang hidup untuk menambah destinasi wisata. Hal ini tentunya menjadi bumbu dalam menikmati wisata di Kelimutu. Kepercayaan lokal yang masih hidup menjadi pengetahuan yang baru bagi pengunjung untuk mengenal sosok Kelimutu tersebut. Salah satu Kepercayaan yang tertulis yakni kepercaaan bahwa puncak Kelimutu adalah tempat kembalinya jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dunia atau maE. Kelimutu merupakan tempat bersemayam nya jiwa-jiwa orang-orang yang tidak lagi melihat dunia dengan jasadnya. Jiwa manusia yang telah mneinggal menghadap konde ratu sebagai penjaga danau Kelimutu
Secara subjektif penulis melihat bahwa kearifan lokal yang hidup di berbagai tempat di Indonesia merupakan sebuah legitimasi lokal dalam menjaga alam tersebut. Sama halnya dengan Kelimutu yang merupakan ikon wisata utama tanah flores yang bertaraf international. Ketika memulai perjalanan menujuh ke puncak ini, pengunjung tidak selalu akan dimanjakan dengan puncak yang memiliki tiga warna air di tiga danau berbeda namun juga keindahan alam yang tersusun secara alami. Pepohonan yang hijau dan lebat, binatang seperti monyet yang masih bebas berkeliaran, hingga iklim udara yang sejuk. Keindahan ini lantas ditambah dengan info-info yang tertulis tentang sekitar kawasan Kelimutu. Meliputi jenis pepohonan, tumbuhan, serta kondisi sejarah Kelimutu. Setidaknya di kawasan hutan Kelimutu seluas 4,5 Ha ini terdapat 347 jenis berbagai tanaman yang hidup serta dileastarikan di kawasan ini oleh pemerintah setempat.
Sudut lain dari Kelimutu tentu hanya perbedaan dalam kacamata pandangan yang berbeda. Namun satu simpulan yang sama bahwa wisata alam di Kelimutu adalah wisata pertama dan utama yang berada di kawasan tanah flores-nusa tenggara timur ini. Oleh karena itu, tidak heran jika banyak wisatawan asing yang menyempatkan diri untuk berkunjung ke Kelimutu ini. Keindahan alam yang terpotret dalam bingkai kamera adalah bingkai keindahan yang terwakili. Dan kepuasan yang terasa adalah ketika badan dan mata mampu menatap tanpa perantara keindahan Kelimutu ini.

Cerita Perjalanan : Kilauan Tiga Warna di Puncak Kelimutu

Tidak sah rasanya jika telah sampai di Ende, namun tidak pesiar di Kelimutu… Someone
Begitu harapnya jika orang luar yang telah sampai di tanah Flores atau Ende harus sampai ke Kelimutu. Jika melihat dalam tanda di peta, pasti orang kebanyakan akan menyangkah bahwa Kelimutu adalah sebuah gunung. Dimana orang yang akan ke sana harus menggunakan peralatan yang biasa digunakan oleh pendaki alam pada umumnya. Namun Kelimutu yang tingginya sekitar… Mdpl rupanya tidak seekstrem itu. Kelimutu tetaplah sebuah gunung, namun gunung yang memiliki danau tiga warna. Dan, hanya di Kelimutulah dalam ukuran dunia yang memiliki tiga kawah yang menjadi danau. Sedangkan untuk menempuhnya pun dilalaui dengan mengendarai kendaraan bermotor untuk mencapai separuh ketinggian Kelimutu ini. Tulisan ini adalah sebuah cerita perjalanan yang penulis lakukan bersama rekan guru muda SM-3T di Danau Kelimutu, November 2013. Perjalanan menujuh Kelimutu memang masih terdengar asing bagi rekan-rekan guru SM-3T yang berasal di pulau jawa dan sumatera ini. Keindahan Kelimutu hanya terdengar dari bisik-bisik yang tidak bisa dibayangkan dalam imajinasi tentang sebuah danau yang memiliki tiga warna yang berbeda. Akhirnya pada hari minggu yang memang tidak memiliki beban mengajar (libur_red) rekan-rekan guru muda SM-3T yakni pri, rafida, lisam nurul, dan riri yang berasal dari kecamatan Maurole mengadakan perjalanan menujuh ke Kelimutu. Persiapan fisik diharapkan dalam kondisi yang stabil, hal ini karena perjalanan untuk mencapai Kelimutu dilakukan dengan mengendarai sepeda motor.
***
Jam menunjukan pukul 06.30 wita, semua personil yang akan karya wisata ke Kelimutu telah stand by. Setidaknya untuk perjalanan pertama ke Kelimutu ini penulis tidak hanya pergi dengan rekan-rekan guru SM-3T saja, namun juga mengikutsertakan dua siswa yang pernah pengalaman pergi ke Kelimutu dan seorang mahasiswa yang kebetulan tertarik untuk pesiar ke danau tiga warna ini. Memang telah direncakan dari awal untuk perjalanan ini dilakukan sejak pagi, hal ini mengingat perjalanan menujuh Kelimutu dari kecamatan maurole membutuhkan waktu sekitar 3jam. Rute yang akan ditempuh adalah Maurole-Wewaria-Detusoko-Moni-Kelimutu. Perlengakapan di cek ulang berupa kendaraan, Jaket SM-3T yang juga menjadi pelengkap yang tidak dilupakan untuk pengambilan dokumentasi beserta beberapa makanan ringan. Dalam perjalanan yang telah dirutekan diatas, setidaknya rekan-rekan guru muda SM-3T akan melewati beberapa pemandangan alam yang sangat indah, deretan pantai yang nampak berwana biru, gurun sabana, hingga perbukitan yang memberikan hawa sejuk.
Jam menunjukan jam sembilan, ketika motor yang dikendarai berada di pintu gerbang Kelimutu. Dengan membayar uang masuk 2500 rupiah per orang lantas kami memasuki kawasan hutan Kelimutu. Udara yang dingin, hutan yang hijau, serta jalan yang menanjak dan menikung setidaknya menjadi pemandangan selama 30 menit hingga dibatas pemberhentian motor. Kelimutu memang wisata yang mampu memancing perhatian wisatawan dunia. Beberapa kali penulis berpapasan dengan turis luar negeri yang rasanya sengaja datang berkunjung ke danau yang satu-satunya di dunia yang memiliki tiga warna danau dalam satu kawasan Kelimutu. Setelah memakirkan kendaraan, penulis dan rekan-rekan guru SM-3T melanjutkan perjalanan menujuh ke puncak Kelimutu dengan berjalan kaki. Sekali lagi, perjalanan mencapai puncak tidak seekstrem sebagaimana yang bayangkan ketika mendaki gunung. Sebaliknya perjalanan untuk mencapai puncak memang telah di fasilitasi oleh pemerintah setempat dengan cara pembagian jalur untuk masuk dan keluar yang tersistematis serta adanya alat pegangan besi untuk dipegang ketika kaki mulai kelelahan. Untuk mencapai puncak membutuhkan waktu sekitar 30 menit namun 30 menit ini akhirnya molor juga karena dalam beberapa pemberhentian aksi dokumentasi melalui foto-foto kerap dilakukan. Alhasil perjalanan 30 menit menjadi satu jam lebih
*** Dalam bantuan papan petunjuk dan jenjang tangga yang simetris akhirnya penulis dan rekan-rekan guru SM-3T berada di satu danau Kelimutu yang berwarna hijau. Keindahan pesona danau ini begitu eksotis dan menawan. Keindahan yang masih dibalut dengan kearifan lokal melalui acara adat serta cerita legenda setidaknya menambah image Kelimutu menjadi wah bagi banyak kalangan. Kedatangan penulis ke Kelimutu ini memang tidak hanya dimiliki diri sendiri namun banyak orang. Selain rekan-rekan guru muda SM-3T yang berasal dari kecamatan maurole, penulis juga sempat berkenalan rekan-rekan guru muda SM-3T dari berbagai daerah asal yakni kalimantan, semarang, yogyakarta, hingga padang. Rupanya Kelimutu menjadi tempat yang memiliki destinasi yang menggoda. Puncak Kelimutu akhirnya penulis capai ketika jarum jam menunjuk pukul 11.00 wita. Pegunungan di skeitar terlihat tenang dengan warna hijau yang membiru. Di puncak ini moment mengabdikan dalam bentuk foto ramai dilakukan. Ketika melihat ke sekitar lagi, maka akan ditemukan dua danau yang hampir sama besarnya namun memiliki warna yang berbeda yakni warna hitam dan hijau muda. Inilah keindahan alam itu, yang dikagumi dan dielukan oleh banyak orang tentang Kelimutu. Tentu saja, dengan banyaknya pengunjung yang sengaja singgah ke Kelimutu akan merasakan keindahan alam yang Tuhan ciptakan ini.
Kawasan puncak Kelimutu ini memang telah disediakan sebagai kawasan yang wisata yang menarik. Pembngunan terhadapfasilitas umum di lokasi puncak ini setidaknya menjadi tanda adanya kepedulian pemerinta setempat dalam mengolah lokasi alam yang menjadi pilihan sebagai ikon atau sebagai maskot dalam dunia pariwisata Indonesia di mata dunia. Namun untuk menunjukan bahwa wisata Kelimutu adalah bagian dari wisata yang menarik maka seharusnya pemerintah setempat mampu mendobrak pengunjung dengan melakukan berbagai acara. Event merupakan daya tarik yang akan mengundang decak kagum dari pariwisata, begitulah komentar dari seorang turis asal perancis ketika ia berada di puncak Kelimutu namun minim dengan acara tertentu. Waktu kini beranjak siang, tidak terasa lebih dari dua jam penulis berada di Kelimutu. Menatap si danau tiga warna ini memang sangat mengesankan. Tidak cukuplah rasanya sehari untuk berada di Kelimutu ini. Namun perjalanan kali ini memang membuahkan hasil yang menarik ketika bisik-bisik tentang Kelimutu akhirnya terjawab dengan melihat keindahan Kelimutu secara langsung. Maka bagaimana cara mengekspresikan Kelimutu ini memang kembali kepada masing-masing individu. Secara pribadi penulis mengesankan bahwa alam Indonesia adalah alam yang luas. Rasa cinta tanah air seolah menggebu dalam sanubari, dan peran sebagai seorang guru tentu akan memberikan efek dalam mengajarkan melalui pendidikan untuk mengolah hasil alam dan keindahan alam dengan kearifan yang baik bagi semua orang dan alam.

Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...