SKOUW : Wajah perbatasan antara kita dengan mereka

 

                               Mari ke SKOUW, Papua dan lihat bagaimana  Pemerintahan era saat ini berusaha mencitrakan tentang tidak ada lagi kesenjangan.

foto: Gerbang bandara Sentani  
Udara  Sentani masih terasa panas saat kakiku melangkah keluar dari Bandara  Sentani yang berada di provinsi Papua.  Usai dilakukan pemeriksaan kesehatan melalui aplikasi E-HAC saya pun lekas beranjak menuju ke sebuah penginapan yang berada di sekitar bandara, Hotel Ratna Manunggal pilihan saya. Perjalanan dari Banyumas menuju ke Papua ditengah pandemi COVID-19 ini membuat saya terasa lelah dua kali lipat dari biasanya. Selain banyak persiapan yang harus dilakukan selama  perjalanan juga dengan aturan baru yang harus dilewati.  Memilih untuk menginap  di penginapan Ratna Manunggal yang terletak di Jalan Penerangan No.02, Sentani sebenarnya tidak jauh dari bandara. Bahkan kalau ingin berjalan kaki paling butuh sekitar 15-20 menit tapi saya memiliih ojek bandara dengan bayaran 20 ribu, murah kah atau mahal kah entahlah...

foto: lapangan terbang bandara sentani

Sambil istirahat, saya terpikir untuk menghabiskan waktu di ibu kota provinsi Papua ini dengan berkunjung ke  Pos Lintas Batas Negara (PLBN) yang ada di sini bernama SKOUW. Perbatasan ini katanya menjadi batas akhir dan awal antar 2 negara yakni Indonesia  dan Papua Nugini. Maka usai mencari informasi keberadaan lokasi, saya pun lekas  melakukan persiapan dengan menyiapkan jaket, kamera mirolless Fujifilm A.10, HP, bahkan mantel hujan model ponco pun saya bawa karena cuaca  Sentani akhir-akhir ini sering dilanda hujan. Langkah selanjutnya, berbekal kenalan ojek baru di bandara, maka saya pun menggunakan jasanya untuk pulang pergi perjalanan dari  Sentani-SKOUW. Kesepakatan beberapa ratus ribu dengan nego ala sesama perantau jawa maka saya dan Mas Yon  pun sepakat.

“Ayo mas mangkat (berangkat)” ujarku.

foto : selamat datang ke SKOUW
Sebenarnya selain  ojek, saya ingin pergi ke sana dengan menggunakan kendaraan umum yang ada (taxi_baca). Namun oleh saran dari seorang kawan maka saya urungkan perjalanan dengan meggunakan mobil umum, jauh dan ribet katanya.

“Adoh kalau dengan mobil umum nanti akan lama sekali, soalnya jika dari  Sentani harus naik turun taxi.  Sentani-Waena, Waena-Abepura, baru Abepura ke Jayapura . Baru setelah di Jayapura  harus cari sewa kendaraan untuk ke sana karena di sana belum ada kendaraan umum yang rutin naik ke sana” jawabnya panjang kali lebar saat saya bertanya soal rute perjalaan menuju ke SKOUW.

foto : ini saya lho 

Memang SKOUW yang kini menjadi destinasi wisata di Jayapura  sekitarnya dahulu belum seindah saat ini. PLBN yang didirikan pada tahun 2006 ini pada awalnya memang hanya berfungsi sebagai penanda batas antara dua negara. Lalu lintas PLBN hanya berupa masuk-keluar perbatasan bagi orang yang hendak berpergian.  Kemudian beberapa tahun kemudian pembangunan PLBN SKOUW kembali dilakukan hingga akhirnya pada tanggal 09 Mei 2016 SKOUW diresmikan dengan tampilan lokasi yang menarik. Selain sebagai batas negara yang kian  menarik, di  SKOUW juga pernah diadakan festival crssborder SKOUW 2019  namun sayang di tahun setelahnya SKOUW kini sepi karena adanya pandemi covid-19.

***

“Bagi pengunjung silakan menitipkan identitas sebelum masuk ke PLBn SKOUW” tegas tentara saat saya bertanya tentang tata cara masuk ke plbn SKOUW.

foto: bareng dengan mas yon 



Usai perjalanan sekitar 80 menit dengan jalur darat akhirnya saya pun sampai di SKOUW ini. Perjalanan yang awalnya dipenuhi dengan mobil dan motor (jalan raya) kemudian melintasi jalur hutan sekitar 30 menit akhirnya saya tiba di batas dua negara ini. Senang..ya senang sekali karena akhirnya bisa sampai di batas negara ini. Namun sayang dalam lawatan saya kali ini pengunjung dilarang melangkah masuk ke Wutung yang sudah masuk wilayah negara Papua Nugini. Padahal di hari sebelum pandemi pengunjung masih diperkenankan masuk hingga 200 meter dari titik gerbang pertama saat saya menitipkan identitas ini.

“Karena pandemi pak, makanya pengunjung dilarang masuk ke sana. “ jawab petugas PLBN kala saya menanyakan untuk diperbolehkan masuk ke dalam.

“ Hmmmm mau gimana lagi, padahal saya ingin masuk dan melihat kegagahan patung garuda Indonesia yang berdiri dan menghadap ke arah Papua nugini”. Batinku.  

“ ya wis lah” jawabku

   Walaupun ada larangan untuk masuk ke arah batas tembok negara, sebenarnya saya masih sempat menikmati keindahan lain dari SKOUW ini yakni dengan mengabadikan momen untuk foto di depan pos PLBN yang bertuliskan Border Of Pos Republic Indonesia . pada hari kamis itu, selain saya masih ada belasan orang yang juga berswafoto di tanda ini.

“ NKRI harga mati, ayo foto saya”

“ckreek” bunyi kamera miroless yang terdengar menjadi saksi bisu saat saya berfoto bersama dengan mas yon.

foto: merah putih NKRI

***

Bagi saya yang kali pertama datang berkunjung ke SKOUW, saya melihat bangunan PLBN ini memang dibangun dengan arsitektur kemegahan bangunan yang berkolaborasi dengan tampilan budaya lokal. Seperti bangunan bagian atapnya yang berbentuk perisai. Bahkan juga bagian dari ornamennya memperlihatkan budaya dari masyarakat SKOUW. Menurut sumber, PLBN yang selesai direnovasi pada tahun 2016 ini diadatasi dari bangunan khas bernama Tangfa. Dimana Tangfa adalah ciri khas dari rumah adat dari wilayah daerah SKOUW. Keren itu menurutku. Dan memang selain menampilkan  SKOUW  sebagai wajah perbatasan Indonesia di Papua yang baru, pemerintah Indonesia juga menampilkan wajah perbatasan Indonesia di beberapa tempat lainnya yakni PLBN Entikong PLBN Badau, PLBN Aruk, PLBN Motaain, PLBN Wini, dan PLBN Motamasin. Semua PLBN ini berada di wilayah perbatasan Indonesia dengan negara tetangga seperti Kalimantan yang berbatasan dengan Malaysia, Nusa Tenggara Timur yang berbatasan dengan Negara Timor Leste, dan Papua yang berbatasan juga dengan Papua Nugini.

Namun sekali lagi SKOUW adalah perbatasan Indonesia-Papua Nugini ya.. bukan tempat rekreasi sebagaimana tempat wisata lain yang bisa dinikmati dalam waktu berjam-jam lamanya. Belum ada ketersediaan tempat untuk ngaso atau istirahat kecuali di bawah pohon rindang (DPR). Barisan penjual makanan dan hasil kerajinan juga tidak dijual di sini. Pengunjung bisa menemukan ini di tempat lain yang jaraknya sekitar 200 meter dari tempat orang biasa berswafoto. Mungkin nantinya akan ada kebijakan baru dengan menata ulang berupa fasilitas guna menambah betah dan kesan bagi pengunjung yang akan berkunjung ke SKOUW ini. Tapi bagi muslim  yang ingin beribadah tidak jauh dari SKOUW ada bangunan masjid AL-HIJRAH yang bisa digunakan untuk beribadah.  

***

Sedikit Cerita Tentang Jembatan Merah, Yotefa

Selain SKOUW sebagai tujuan destinasi saya kali ini, dalam rute perjalanan saya menyempatkan untuk singgah sebentar di Jembatan Merah bernama jembatan Youtefa. Jembatan yang menjadi kebanggaan orang Papua ini merupakan jembatan pertama yang ter ter ter lho.. saking ter-nya ini jembatan, ia masuk sebagai landmark dalam uang cetak nilai 75.000 rupiah. 


foto: jembatan merah bro..


Jembatan ini terletak di selat Youtefa yang berada di Distrik Muara Tami Kampung Hamadi. Jembatan ini memiliki panjang 11,6 km. Pelengkung baja sebagai penyanggah jembatan ini katanya merupakan pelengkung terpanjang di Pulau Papua ini, keren. Bahkan hasil dari pembangunan ini juga masuk ke dalam rekor MURI Indonesia.  

foto: salam Indonesia bung..

Jembatan yang diresmikan pada masa era presiden Jokowi ini pada akhir Oktober tahun 2019 merupakan  jalan alternatif bagi pengendara yang ingin berpergian. Menurut menurut Mas Yon, orang memilih untuk melewati jembatan ini tidak lain karena jika melewati rute lama kendaraan harus menanjak dan melalui jalan berlubang sehingga mereka menggunakan jalur baru ini. Walaupun, jembatan ini dinilai sebagai kebanggaan pemerintah daerah melalui Dishub, rupanya di sini tidak diberikan izin kendaraan untuk berhenti di sepanjang jalan ini. Mungkin takut macet dan lainnya. Jadi, saya pun memamfaatkan waktu untuk foto dan harus lekas bergegas.

 

SEMALAM BERMALAM DI BAWAH LANGIT KAMPUNG BUMBAKON-OSKOP

 

                                  Kaki ini terasa amat lelah saat saya melintasi lereng demi lereng ,

Jika alas kaki ( sepatu boots dan sandal swallow) ini bisa bicara entahlah ia akan berbicara apa.

 

                                 foto: lagi foto bareng di kampung bumbakon

Saya menghabiskan waktu 24 jam plus ini saat akhir pekan lalu menuju ke Distrik Oksop, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua , atau lebih tepatnya menuju ke kampung Bumbakon . Sebuah kampung yang berada di tengah-tengah hutan dimana untuk menuju ke sana ditempuh dengan kendaraan dan berjalan kaki menembus hutan. Kendaraan-kendaraan besar kecil hanya mampu melintasi jalanan lebar yang baru dibuka sampai mata jalan. Perjalanan melintasi hutan ini saya lalui bersama guru-guru muda dari Indonesia Mengajar (IM), Rizal, Iqbal, Hanni, dan Sherly, perjalanan menjemput tujuan, melihat Bumbakon  lebih  dekat.

Rute awal perjalanan ini dimulai dari kota Oksibil sekitar jam 07.15 WIT dengan kendaraan mobil strada yang memiliki double gardan. Sekitar satu setengah jam perjalanan usai melintasi perkampungan dan hutan yang terus menanjak kami tiba di mata jalan menuju ke kampung Bumbakon . Sekitar jam 09.30 WIT kami bersiap memulai lebih separuh perjalanan ini dengan berjalan kaki menerobos alas rimba yang telah bertuan ini.  

“ Di sana nanti sudah stand by  teman-teman guru yang mengajar di Distrik Oksop” ujar Rizal, pak guru yang saat mengajar di SD Parim.   Kunjungan mereka adalah wujud  solidaritas dan kekerabatan mereka dan membuat saya tertarik ikut serta dalam perjalanan ini.

foto: batas antara kendaraan dan dilanjutkan
dengan jalan kaki 


Selama perjalanan ini kami banyak memulai cerita tentang kondisi masing-masing. Kami memiliki cerita yang hampir sama karena saya pun bertugas sebagai guru. Perbedaan diantara saya dan mereka hanya pada status dan lamanya mengabdi di kebupaten yang selalu tertutup kabut ini. Rizal dan ketujuh teman lainnya adalah guru 

relawan dari Yayasan Indonesia Mengajar yang ditempatkan di kabupaten ini selama satu tahun. Sedangkan saya, butuh sepuluh tahun pengabdian untuk bisa pindah ke luar kabupaten, itu pun dengan izin resmi. Selama perjalanan darat yang ditempuh selama tiga jam ini membuat kami banyak ber ha ha ha dan hi hi hi dengan pengalaman masing-masing.

“ Paling rumit juga pas menjelaskan tentang rantai makanan, tumbuhan di makan babi, babi dimakan manusia, dan terus manusia juga dimakan lagi oleh suanggi (setan)” cerita mereka saat mengingat salah satu pelajaran sambil diselingi tawa kami saat membelah hutan.

Dari banyaknya cerita itu kami sepakat bahwa mereka adalah anak-anak Papua  yang baik dan bisa diarahkan walau pun tidak semuanya.  

 ***

Perjalanan melintasi hutan dengan menggunakan sepatu boots terasa ringan juga selain karena saling berbagi cerita namun juga kondisi cuaca yang lebih stabil. Jika hujan sudah turun biasanya jalanan akan sedikit sulit dilalui karena harus melewati jalanan yang dipenuhi dengan pohon-pohon yang menjadi jembatan darurat. Bahkan untuk beberapa kali kami sangat tertaih tatih saat berjalan meniti sebuah pohon yang besar. Jika salah langkah, siap-siap kaki akan masuk ke dalam sebuah bagian kayu yang lapuk.

foto: istirahat bareng ditengah hutan oskop
Walau seperti itu, perjalanan ini kami lalui dengan aman tanpa rasa khawatir saat berada di alas rimba, hutan Papua  ini. Beberapa kali kami bertemu masyarakat asli Papua  mereka bertutur ramah kepada kami. “yepmum, teleb, dan selamat siang” bahasa pembuka keramahan di sini. Memposisikan diri dalam percakapan sebagai seorang guru menjadi tanda keramahan yang masih mereka hormati di sini.

 

***


Bumbakon ,

Ibarat puncak, Bumbakon  mungkin sebuah puncak dari perjalanan yang melewati alas rimba dan lereng-lereng perbukitan yang seolah tidak berujung. Ketika mendapati perkampungan yang berada di sela-sela perbukitan saya merasa nyaman, “sampai juga”. Kampung Bumbakon  yang termasuk ke dalam Distrik Oksop ini tidak hanya berdiri tanpa perkampungan lain. Setidaknya ada tiga perkampungan lain yang mengapitnya, mulai dari perkampungan Denong, Bumbakon  atas, hingga perkampungan perbatasan Oktumin. Selebihnya semua perbukitan yang berlipat-lipat seolah tak ada ujungnya.

foto: aku di sekitar SD inpres Bumbakon

foto: lagi bermain sambil belajar 


Kami sampai di Bumbakon  sekitar jam 12.30 WIT. Menjelang sampai di sekolah Bumbakon  terlihat siswa-siswa berbaris sejajar sambil menyanyikan lagu selamat datang kepada kami. Rupanya mereka yang bernyanyi tersebut adalah siswa dari dua sekolah yang berbeda kampung yakni siswa-siswa dari SD Inpres  Mimin dan SD Inpres  Bumbakon , keren. Ibu guru Sani, Wulan, dan Fitri yang merupakan guru dari dua SD tersebut mempersiapkan memang akhir pekan di sekolah dengan menyambut kami dan nanti akan dilanjutkan dengan Kegiatan Bermain dan Belajar (KBB) ala guru-guru muda ini.

“Bapak guru asal dari Sumatera kalian pernah dengar tidak?” tanyaku kepada mereka saat memperkenalkan diri. Saat saya bertanya tentang pulau suara sumbang diantara mereka membuat saya terkesan akan kepolosannya. Suara sumbang ini juga tidak terputus saat rekan-rekan lainnya mengenalkan tempat asal. Ingatan pelajaran di ruang-ruang kelas membuat mereka berbicara sumbang dan riuh bertautan, tahu, dengar, tidak tahu dan jawaban lainnya. Namun bagiku perkenalan ini adalah momen yang harus diingat bahwa mereka menerima kami dengan baik. Bahkan saat memasuki barisan yang sejajar mereka memberikan sebiji buah markisa kepada masing-masing kami.

***

Sebuah rumah papan dengan catnya yang agak memudar menjadi persinggahan semalam saya dan enam rekan lainnya. rumah yang berada sekitar 50 meter dari sekolah ini adalah rumah milik kepala sekolah SD Inpres  Bumbakon . Sesaat setelah saya meletakan tas ransel coltrack berkenalan dengan mereka lebih baik. Di rumah yang terdiri dari dua kamar ini dihuni oleh satu guru dari Indonesia mengajar, Sani Nurhikmah namanya. Ia adalah guru ketiga dalam tiga tahun ini yang mengabdi menjadi relawan di sekolah pedalaman ini. Ibu guru yang berasal dari jawa barat ini adalah lentera ilmu bagi saat kelas-kelas kosong yang terabaikan.

“Di sini saya biasa mengajar kelas secara rangkap” begitu katanya.

 Tidak hanya Sani, mereka yang mengajar di Distrik Oksop lainnya ada ibu guru wulan dan fitri. Keduanya mengajar di SD Inpres  mimin, sebuah SD yang berada dua jam dari kampung Bumbakon .

“Kalo di sana salamnya di mulai dengan teleb pak guru, kalo di sini yepmum” ujar salah satu dari mereka saat membedakan antara perbedaan lokasi tugas mengajarnya.     

foto : bersama anak-anak oksop

  

 Sebagai orang yang pertama datang ke Oksop saya hanya bisa mengangguk, dan mengatakan hmmmm gitu karena memang banyak hal baru yang didapat. Namun saat saya kembali bercerita tentang bape sebagai tugas saya sendiri maka bergantian mereka akan hmmmm gitu. Saling balas ungkapan ini adalah wujud penasaran yang terobati dengan membandingkan antara persamaan dan perbedaan lokasi tugas sebagai seorang guru. Keseruan kami yang saling bercerita banyak dihabiskan dalam ruang hangat bernama dapur. Di sini, bagi masyarakat maupun ibu  guru Sani menjadikan dapur adalah tempat yang pas saling bercerita tentang kondisi kita secara kekinian. Makan, minum, dan bercengkerama hari itu tidak jauh dari perapian yang membakar kayu belah yang setengah kering. Begitu juga kami yang tiap sebentar selalu ber ha ha ha dan hi hi hi berbarengan dengan setiap cerita.

 

***

Menyusuri jalanan setapak yang tidak berujung,

Jam demi jam mengangkat langkah kaki ini sebelum gelap datang tak undang.

 

foto: santai setelah berjam-jam jalan kaki 

Pagi ini, udara di kampung Bumbakon  teramat dingin. Kepungan perbukitan hijau dengan sedikit perumahan non polusi membuat badan masih terasa dingin walau sinar matahari menampakan cahayanya menerobos papan papan dapur yang tua. Usai salat subuh berjamaah ruang dapur adalah titik pertemuan untuk menghangatkan badan. Dengan langkah yang pelan kami memilih posisi untuk duduk dipinggiran dan membiarkan cahaya api ditengah tengah menghangatkan badan. Setiap gerakan  pelan yang mencari posisi duduk pasti akan menimbulkan getaran penanda kayu penyangga yang juga ikut menua sama seperti rumah ini.

Beberapa kali saya memilih keluar paksa dari area dapur. Asap dari pembakaran kayu yang belum kering membuat napas saya sesak. Gumpalan-gumpalan asap yang menebal membuat mata juga perih. Dapur yang dibuat dalam bentuk petak per segi ini menempatkan pembakaran pas ditengah-tengah. Batang-batang kayu yang tersusun persegi membatasi antara nyala api dengan tempat duduk. Kayu-kayu yang telah dibelah di susun rapi di atas pembakaran yang disanggah dengan empat batang kayu ini. Dapur seperti ini sudah menjadi ciri khas bagi masyarakat pegunungan bintang. Bagi kebanyakan masyarakat telah menganggap bahwa dapur adalah bagian dari tempat hangat guna mencairkan suasana, terutama malam dan pagi hari. Namun saya rupanya tidak sepenuhnya menikmati hangatnya dapur di pagi hari karena menyerah pada gumpalan asap.

Akibat menyerah pada asap saya memilih berkeliling rumah dan memperhatikan setiap lekukan dan sudut dari Bumbakon  ini. Mulai dari bangunan gereja yang terdengar suara dentuman panggilan ibadah sebanyak tiga kali hingga memperhatikan lebih erat kepungan perbukitan yang menempatkan Bumbakon  di dasar cekungan. Namun sayang di sini sangat terkendala dengan air. Sumber mata air hanya ada dua pertama dari air hujan yang terkumpul dengan menggunakan bak maupun drum dan sumber air sungai yang harus di dapat dengan menuruni sungai sekitar satu jam.

Namun yang menarik dari perkampungan ini adalah tatanan keramahan dan aturan yang terlihat. Binatang peliharaan tidak sembarangan dibiarkan masuk di sini, khususnya lingkungan gereja katolik. Pagar-pagar kayu dipasang sekeliling gereja bahkan sekolah untuk membatasi wilayah. Ada perbedaan tata letak untuk membedakan antara perumahan guru, masyarakat, dan gereja. Walau begitu di sini masyarakat tidak hidup dengan sinyal dan arus listrik yang memadai. Sumber penerangan mereka selain dari api pembakaran juga didapat dari lampu neon putih yang diberikan oleh pemerintah pusat dengan nama nawacita. Panel solar cell yang berukuran 40 x 25 cm ini adalah tenaga listrik yang didapat dari cahaya matahari.    

“bapak guru mari kita sarapan sebentar lagi kita akan mulai jalan” ajak hani kepadaku.

Aku mengangguk dan kembali memasuki perapian dapur yang dipenuhi manusia-manusia. Dengan pelan saya melangkah menuju bagian sisi dapur yang kosong untuk duduk. Sambil berjalan ini saya merasakan goyangan dapur yang disanggah kayu balok yang mulai menua. Makan bersama dengan sayur dan mie ini terlihat istimewah karena ini adalah asupan energi yang akan dihabiskan selama perjalanan pulang melewati jalur Bumbakon .

“ Kemarin saya melewati jalur Yumakot, Lima Rum dan Bulangkop mulai dari jam 10 pagi sampai sekitar jam lima sore “

Perjalanan jauh rupanya jika melewati jalur memutar. Sebelumnya memang mereka yang dari  Oksop pernah melakukan perjalanan darat dari kampung mimin singgah Bumbakon . Perjalanan memutar ini menurut mereka lebih nyaman karena perjalanan tidak melulu mendaki melainkan menuruni lereng lereng perbukitan. Sedangkan  pendakian mereka mengatakan ya ada sih tapi tidak terlalu.

“ha ha benarkah tidak terlalu” ujarku membalas dalam hati.

Sarapan pagi dengan cepat saya lahap. Menu yang disuguhkan memang penuh dengan kabohidrat mulai dari mie yang direbus, bakwan, dan sayuran daun labu siam. Usai menunaikan sarapan pagi kami mulai segera bergegas. Perlengkapan dan bekal selama perjalanan dipersiapkan dengan baik oleh mereka anak muda. Tas caril berbagai ukuran terlihat tangguh untuk mereka jinjing di pundaknya. Sedangkan saya hanya membawa tas body pack  35 liter saja.

foto: ibu guru sani bersama anak-anaknya

“Ibu guru Sani terima kasih ya untuk sungguhan dan sambutan di kampung Bumbakon  ini” ujarku kepada Sani sebelum memulai perjalanan. Selain pamit kepada ibu guru, kami juga berpamitan dan bersalaman ala Papua  kepada masyarakat sekitar yang menerima kami dengan senyuman.

“ok da.....” ujar kami sembari melambaikan tangan.

 

Hari yang sempurna sekaligus hari yang melelahkan

 

Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...