Catatan Perjalanan Koe : Setapak, Menembus Kabut Kelam Menuju Puncak Kerinci



Bukan gunung yang kita taklukkan, tetapi diri sendiri- Edmund Hillary 

Pagi hari suasana kampungku, Kayu Aro masihlah sangat  dingin udaranya, namun aku tak bisa bertahan lama didekapan selimut hangat ini. Perjalanan besar dan panjang menanti di depan mata. Beberapa anak muda yang terpanggil untuk menaklukan puncak Kerinci mulai terjaga dari lelap malam yang melelahkan. Mereka mulai melakukan persiapan ulang sebelum pendakian ini dimulai. Para pemuda yang datang dari nusantara ini mendadak mengubah rumahku menjadi ramai dengan kesibukan mereka. Pendakian menuju Gunung Kerinci ini membawa tujuh pendaki yakni Duni dan Iko dari Palembang, Rahmat dan Khadijah dari Pariaman, Afni dari Aceh, Devi dari Bandung, dan aku sebagai tuan rumah. Bagi mereka ini adalah perjalanan pertama namun bagiku ini adalah pendakian kali kedua. Euphoria pendakian membawa rasa seolah aku bisa merasakan puncak Kerinci yang seolah memanggil.
***
ngaret juga ne bro….” ujarku kepada Duni yang mengangguk pelan sembari sibuk memeriksa kembali perlengkapannya sesaaat setelah tiba di pos lapor R10, Senin (28/12).
Pendakian ini sesuai dengan breafing harusnya jalan jam 08.00 namun akibat kekurangan sana sini pendakian ini dimulai sekitar jam 10. Adapun perjalanan ini dimulai dari kediamanku desa Sako Dua menuju R10 yang berjarak sekitar 10 Km jararknya. Usai membayar retribusi per malam sebesar 7500 per orang dan biaya parkir 7500 per malam kami memulai perjalanan.
“Semangat teman-teman” sorak Duni usai ritual berdoa yang aku pimpin selesai.
Sepanjang awal perjalanan semua terasa hening. Kami melaju dengan langkah yang pelan dan  beban bawaan yang telah diatur bersama. Keheningan ini pecah dengan sesekali terdengar percakapan, Cakap untuk menguatkan suasana hari itu yang agak kelam dan tanpa sinar matahari yang masih terlihat malu-malu menampakan wujudnya. Perjalanan hari ini harus akan beakhir di cadas, apa pun dan bagaimana pun kecuali ada yang cidera, begitu tekad kami.
***
Pendakian tujuh orang ini bukan pendakian yang sepi rupanya. Barisan pendaki-pendaki lainnya juga terlihat melintas tak jauh di hadapan kami. Bahkan beberapa pendaki asal tanah jawa sempat berkenalan dengan kami. Seolah teman lama percakapan singkat hari itu membuat ada rasa keakraban dan senasib. Puncak kerinci akan menjadi tujuan bersama bagi 1300 pendaki hari itu. Puncak aku merasa seolah telah dekat saja.
Bagi banyak orang saat itu pendakian kerinci di akhir tahun adalah impian dan moment. Banyak wajah pendaki usang dengan segudang pengalaman sengaja datang dari jauh untuk melihat “ada apa di puncak kerinci itu?” Atau sengaja datang menziarahi makam rekan perjuangan mereka yang hanya memiliki nafas sampai mendaki saja. Tapi ya seperti itu, pendakian tetaplah sebuah bongkahan misteri yang berselimut kabut tebal. Tak tahu apakah perjalanan panjang ini akan membawa mereka menuju puncak, atau hanya akan singgah saja di cadas. Semua kembali kepada pilihan dan kondisi. 

Seperti kenalan baruku namanya Alex pendaki tulen asal Kerinci harus merelakan tiga kali pendakiannya sebelumnya yang tak pernah sampai ke puncak tertinggi. Tetangga tendaku di cadas ini tidak bisa mencapai puncak akibat kondisi alam yang labil. Pendakiannya hanya sampai di tugu yuda itu pun dengan kondisi cuaca yang sedikit lembab serta berkabut.
“Sayang sekali memang, namun inilah pendakian kita harus paham dengan batas resiko” ujarnya pelan
   Gunung Kerinci memang menjadi daya tarik dan pesona. Kegagahannya sebagai gunung besar memang membuat banyak orang takjub. Keindahan gunung ini bahkan bisa dinikmati dari sisi simetris puncak talang jika cuaca cerah. Namun sekali lagi gunung memang sebuah bongkahan misteri. Gunung tinggi ini terkenal dengan kontur kelembaban yang tinggi. Berbeda dengan gunung tinggi yang tersebar di pulau Jawa maupun tempat lain,  Gunung Kerinci menawarkan tingkat kesulitan yang berbeda-beda untuk menuju pos maupun pemberhentian.
Walau seperti itu, tantangan inilah yang membuat nilai tersendiri. Ada  rasa senasib yang akan membuat suara dan langkah sesama pendaki menjadi padu. Jalanan nan miring dan setapak ini memperkenalkan aku dengan pendaki nusatara. Ada yang berasal dari Jakarta, Bandung, Bekasi Surabaya, Medan, Padang, dan pendaki sekitar Kerinci. Rasa peduli dan saling bantu menjadi dentuman emosional sebagai manusia untuk saling memperhatikan. Membagi makanan dan minum selama perjalanan bersama orang asing bukan hal tabu, sebaliknya hal ini merekatkan jiwa sosial sesama manusia tanpa ada membedakan dasar apapun. Salam sesama pendaki.
***
Perjalanan ku yang sempat molor ini memang berakibat panjang. Pendakian yang semula berakhir di cadas kini harus rela dilakukan di shelter 2. Pertimbangan waktu yang kini sudah menunjukan pukul 19.00 WIB, hujan gerimis yang mulai turun, udara dingin yang tidak terobati, hingga kelelahan akut yang mendera sebagian besar anggota, khususnya aku dan Duni yang membawa sepasang carel berbeda ukuran.
“kita nge-camp di sini ya..” ujarku kepada rekan lain yang terlihat layu akibat dinginya udara shelter hingga kelelahan.
Jadi malam pertama pendakian kami lewati di area shelter dua sembari mengumpulkan tenaga untuk esok dan mencapai puncak. 
 Bagiku pendakian menuju ke puncak kerinci ini adalah pendakian terpanjang yang aku lalui selama ini. Perjalanan yang  melewati jalan setapak dengan pijakan lembab dan  terus menukik praktis membuat langkah kaki para pendaki terseok-seok. Beban bawaan menjadi kian berat ketika pendakian melewati rute perjalanan yang tidak sedap (terus naik dan licin). Bahkan rute perjalanan setelah melewati pos 3 menuju antar shelter tidak lagi terlihat ramah. Udara yang semakin dingin membuat semangat terkunci. Kerinci sepanjang 3085 telah menguji nyali kami dan memberikan pilihan kami ingin lanjut atau berhenti.
Setapak demi setapak langah kaki kami masih terus mengayuh hingga melewati pepohonan hutan yang tak bertuan. Sesekali nafas-nafas kelelahan tak lagi bersuara elok kecuali lelah. Entah berapa kali carel 55 liter milikku terus menerus aku tarik talinya untuk memperingan. Beruntung persediaan logistik matang masih mencukupi perjalanan sehari ini. Sedangkan untuk keperluan air minum masih dapat dijumpai di setiap pos maupun shelternya.
“Tuhan berikan aku kekuatan untuk menyelesaikan pendakian ini bersama rekan-rekanku” ini adalah ucapann doa yang terus aku baitkan dalam perjalanan ini.
Baju pendek dengan lapisan manset telah basah dengan peluh keringat yang menggigil. Duni yang bersama denganku berjalan semakin pelan. Sesekali ia tak lagi mendengar gurauan ku, mungkin ia telah lelah menurutku. Suasana yang dingin menjadi semakin kelabu dengan langit mendung yang bertabrakan dengan kabut. Jarak antar pendaki semakin menjauh, seperti aku dan Duni yang tertinggal jauh dengan anggota lain.
Dari perjalanan lembab inilah aku belajar tentang “kekuatan dalam diri sendiri untuk percaya bahwa kita bisa”  begitu sugesti yang aku tuliskan dalam semangat perjalanan hari ini.
***

Puncak akhirnya aku gapai. Pijakan kaki di gunung tertinggi Indonesia akhirnya mampu ditaklukan di hari ke empat. Bukan perjalanan mudah, bukan perjalanan piknik, dan bukan perjalanan diatas kertas untuk ke sana. Ada rasa haru rasanya ketika puncak itu kami taklukan. Bersama pendaki lainnya kami merasakan haru ketika pijakan kaki ini berada di puncak tertinggi kerinci. Bukan omong kosong bahwa ada rasa puas dan takjub dengan ciptaan Tuhan. Kali kedua aku berada di puncak tak henti-hentinya aku mengucapkan syukur.
Aku melangkah kan kaki di tepi kawah yang terhalang kabut. Lelah memandang ke bawah aku beranjak meninggalkan tepian itu, kaki ini berdiri menuju ke tepian jauh pijakan puncak yang hanya panjang 150 meter dan lebar sekitar 6-8 meter ini. Barisan hutan yang biru, perumahan penduduk, dan hamparan the hijau menjadi penawar lelah pendakian.
“Trims teman-teman akhirnya kita berada di puncak bersama”

Pendaki dan Mendaki
Ungkapan pendaki adalah ungkapan untuk menyebutkan seseorang yang melakukan aktivitas perjalanan menuju ke puncak gunung. Sedangkan mendaki adalah proses aktivitas yang dilakukan seseorang ketika ia hendak mencapai puncak. Dua ungkapan  memiliki tali hubungan yang erat dan tidak terpisahkan. Maka untuk menjadi pendaki dan mendaki membutuhkan persiapan matang.       
Mendaki gunung saat ini menjadi trend yang terkadang telah menjadi gaya hidup anak muda. Namun gaya hidup dengan berpetualang ke alam bebas terkadang tidak mengindahkan dengan prinsip-prinsip alam tersebut. Kerusakan masal akibat aksi vandalis serta sampah gunung telah menjadi bagian rusak dari gaya hidup berpetualang ini. Masa bodoh, ego, serta hanya menjadikan gaya-gaya an seolah menjadikan nama pendaki menjadi terlihat labil.
Tidak ada prinsip ketat bagaimana menjadi pendaki dan menjadi yang baik.  Namun kemauan menjaga alam serta diri sendiri adalah ukuran penting untuk terlihat baik sebagai pendaki. Entah apakah ungkapan ini akan diamini oleh pendaki senior yang telah diakui seperti Gie, Edmund Hillary, atau Norman Edwin. Indonesia yang berada di jalur khatulistiwa menjadi gudang berdirinya gunung-gunung sepanjang pulau-pulau di nusantara. Maka ada baiknya memahami kembali sikap baik menjadi pendaki maupun keinginan mendaki. 

Perjalanan selama empat hari di Kerinci memperlihatkan kepada penulis selain kerusakan alam akibat vandalis serta sampah, penulis menjumpai berbagai dampak akibat dari kesiapan kurang para pendaki menyebabkan cidera anggotanya. Tidak jarang beberapa diantara mereka harus ditandu menuju ke pos dasar yakni R10, tempat pelaporan pendaki untuk mendapat pertologan. Salut untuk kesigapan petugas sukarelawan yang siaga di setiap pos pendakian memudahkan pertolongan bagi pendaki yang cidera.
Oleh karena itu, guna menghindari hal diatas ada baiknya seorang pendaki sebelum mendaki melakukan persiapan yang cukup dan berulang guna menghindari dampak cidera maupun dampak negativ yang tidak diinginkan.
Priondono

Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...