Cerita Papua: Tempat ngumpetku asyik, Kampung Imbot

Papua dikenal dengan misteri pedalamannya
Dan, Kampung Imbot adalah bagian dari papua itu.

“ Di sini terkadang kita bisa melihat gumpalan putih di atas sana loh” tunjuk Dona, guru Indonesia Cerdas (IC) yang berasal dari Kupang, NTT sambil mengarahkan jarinya ke atas puncak Pegunungan Mandala setinggi 4760 Mdpl.

kampung imbot,papua (f/prie)
Udara pagi itu di kampung ini masih terasa dingin menurutku. Kampung Imbot yang berada tepat dibawah kaki Gunung Mandala ini tidak henti-hentinya meniupkan hawa dingin yang membuat gigiku kadang bergetar. Walau cahaya fajar pagi telah menyingsing sejam yang lalu dari pukul 05.15 namun aku masih belum menemukan hawa hangat dari sang mentari pagi. Sebaliknya, gumpalan-gumpalan awan yang menyelimut terlihat perlahan mulai menutup kembali dinding biru pegunungan Mandala yang tadinya cerah. Mungkin mentari pagi ini malu untuk bersinar akibat banyaknya gumpalan awan yang berkumpul menutup sinarnya. Menikmati matahari di Kampung Imbot kita harus terbiasa melihatnya sekitar 3-4 jam saja. Selebihnya hanya kabut, gerimis, dan hujan.

Di sebuah bangku kayu tak bercat aku meneguk secangkir kopi pagi sembari memberi salam kepada masyarakat Kampung Imbot yang mulai beraktivitas. Dengan perlengkapan tanpa alas kaki, pakaian yang lusuh, noken, dan parang mereka menerjang dinginnya pagi memulai beraktivitas untuk berkebun. Masyarakat Kampung Imbot adalah petani sayur. Di lereng dan lahan sepetak tanah subur Papua mereka tanami dengan sayuran penyambung hidup.

“Yepum” salam dua arah yang saling bertautan antara aku dan mereka ketika memulai percakapan.
Ungkapan Yepum dalam bahasa asli papua adalah terimakasih. Namun dalam keseharian Yepmum bisa menjadi kata “salam” selain ucapan selamat siang atau selamat pagi.   
***

Jika kelak kalian singgah di kampung ini kau tidak akan menemukan kemacetan seperti kota besar karena sebagian aktivitas mereka dijalani dengan berjalan kaki. Kampung Imbot yang berada dibawah administratif Distrik Okbape merupakan pedalaman yang jauh di pusat kabupaten. Pembangunan apa pun masih terlihat manual di sini. Sehingga wajar dalam keseharian masyarakat terbiasa untuk berjalan kaki hingga 5-6 jam. Listrik, sinyal, hingga barang murah adalah hal yang belum menyentuh pedalaman Kampung Imbot atau Distrik Okbape.
imbot (f/prie)


Walau seperti itu, Distrik Okbape yang terdiri dari enam kampung yakni Kampung  Imbot,  Kampung Bape, Kampung Bapenka, Kampung Kasawi, Kampung Akmer, dan Kampung Bongpom adalah kampung yang mampu mempresentasikan diri sebagai kampung yang memiliki keasrian lingkungan. Keindahan  Pegunungan Mandala yang membentang hingga udara perkampungan yang sejuk membuat kampung ini cocok untuk dijadikan tempat ngumpet dari namanya kejenuhan. Ngumpet dalam bahasaku adalah menghabiskan  waktu tanpa teknologi dan beban. Namun entahlah  Potensi wisata alam dan kampungnya yang bisa untuk ngumpet apakah kelak akan terealisasikan oleh pemerintah setempat.

Waktu mulai beranjak siang, kopi yang aku teguk perlahan sudah mulai habis. Masyarakat kampung masih terlihat hilir mudik menunaikan aktivitas sabtunya . Bagi mereka hari sabtu adalah hari terakhir dalam satu minggu untuk beraktivitas., sedangkan hari minggu adalah hari non aktivitas (hari ibadah gereja).  Seharian bekerja di kebun, pada sore hari mereka membawa hasil kebun berupa boneng (ubi), sayur warakum, buah topinong, daun ubi, pisang. Khusus untuk boneng makanan tersebut adalah pengganti beras yang cukup mengenyangkan tak kala lapar.
Namun terkadang aktivitas mereka di hari Sabtu terkadang tidak hanya untuk berkebun namun juga ada yang pergi ke kota Kabupaten Pegunungan Bintang bernama Oksibil untuk berbelanja. Oksibil sebagai ibu kota kabupaten memang menjadi magnet bagi masyarakat di sini untuk menunaikan hajat mereka. Namun keinginan untuk singgah atau sekedar pesiar ke kota memang bukan perkara mudah. Akses jalan yang susah mengakibatkan harga tranportasi untuk ke Oksibil sangat mahal. Daya jual dan daya beli masyarakat masih dalam masa pertumbuhan sehingga ongkos dan berbelanja masih terasa mahal menurutku..
Jika ingin berpergian ke kota kabupaten yang hanya berjakar 35-40 km ini, Masyarakat bisa memilih  untuk mengunjungi oksibil dengan jasa ojek 300 ribu, mobil 200 ribu, atau dengan berjalan kaki sekitar 9 jam perjalanan. Penulis pernah melakukan semua pilihan tersebut. Dan Pilihan-pilihan ini adalah hal lumrah jika kau berada di sini. 

“Da hati-hati e bapa” begitu teriakku kepada tetangga rumah yang hari sabtu ini berangkat ke kota dengan menggunakan jasa ojek.

‘Selamat ke kota, menunaikan hajatmu” ujarku dalam hati.

sore hari di kampung imbot (f/prie)
Imbot memang pedalaman yang masih perawan. Walau seperti itu arus informasi, pengetahuan, hingga perubahan terjadi perlahan di sini. Perubahan yang terasa lambat, perlahan akan menemukan ritme kemodernisasian kelak. Namun kadang kondisi yang serba ketiadaan ada kedamaian yang mereka pegang sebagai bentuk kearifan lokalnya. Perkampungan yang mayoritas beragama kristen protestan adalah penganut agama yang baik. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat tidak terbiasa dengan merokok, minuman keras, hingga memakan sirih pinang. Keren kan.


prie dn 
 Di pedalaman ini sembari menikmati masa ngumpet dengan suasana tanpa internet, listrik (PLN), maupun suasana mall kota besar aku masih bisa menemukan informasi melalui siaran radio. Frekuensi dari tanah merah atau dikenal bouven digul memberikan informasi seputar indonesia dan papua. Sedangkan  jika ingin berkirim kabar aku menulis sepucuk surat atau menjelajah mencari sinyal (di cerita papua selanjutnya baca).

Jika sudah begini, aku jadi teringat Hatta dan Pramodeya yang dipaksa ngumpet. Namun keduanya adalah tokoh yang  gemar menulis dan membaca kemudian menghasilkan hasil pemikirannya. Hasil ngumpet mereka yang bermamfaat.    
    



       

No comments:

Post a Comment

Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...