SEMALAM BERMALAM DI BAWAH LANGIT KAMPUNG BUMBAKON-OSKOP

 

                                  Kaki ini terasa amat lelah saat saya melintasi lereng demi lereng ,

Jika alas kaki ( sepatu boots dan sandal swallow) ini bisa bicara entahlah ia akan berbicara apa.

 

                                 foto: lagi foto bareng di kampung bumbakon

Saya menghabiskan waktu 24 jam plus ini saat akhir pekan lalu menuju ke Distrik Oksop, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua , atau lebih tepatnya menuju ke kampung Bumbakon . Sebuah kampung yang berada di tengah-tengah hutan dimana untuk menuju ke sana ditempuh dengan kendaraan dan berjalan kaki menembus hutan. Kendaraan-kendaraan besar kecil hanya mampu melintasi jalanan lebar yang baru dibuka sampai mata jalan. Perjalanan melintasi hutan ini saya lalui bersama guru-guru muda dari Indonesia Mengajar (IM), Rizal, Iqbal, Hanni, dan Sherly, perjalanan menjemput tujuan, melihat Bumbakon  lebih  dekat.

Rute awal perjalanan ini dimulai dari kota Oksibil sekitar jam 07.15 WIT dengan kendaraan mobil strada yang memiliki double gardan. Sekitar satu setengah jam perjalanan usai melintasi perkampungan dan hutan yang terus menanjak kami tiba di mata jalan menuju ke kampung Bumbakon . Sekitar jam 09.30 WIT kami bersiap memulai lebih separuh perjalanan ini dengan berjalan kaki menerobos alas rimba yang telah bertuan ini.  

“ Di sana nanti sudah stand by  teman-teman guru yang mengajar di Distrik Oksop” ujar Rizal, pak guru yang saat mengajar di SD Parim.   Kunjungan mereka adalah wujud  solidaritas dan kekerabatan mereka dan membuat saya tertarik ikut serta dalam perjalanan ini.

foto: batas antara kendaraan dan dilanjutkan
dengan jalan kaki 


Selama perjalanan ini kami banyak memulai cerita tentang kondisi masing-masing. Kami memiliki cerita yang hampir sama karena saya pun bertugas sebagai guru. Perbedaan diantara saya dan mereka hanya pada status dan lamanya mengabdi di kebupaten yang selalu tertutup kabut ini. Rizal dan ketujuh teman lainnya adalah guru 

relawan dari Yayasan Indonesia Mengajar yang ditempatkan di kabupaten ini selama satu tahun. Sedangkan saya, butuh sepuluh tahun pengabdian untuk bisa pindah ke luar kabupaten, itu pun dengan izin resmi. Selama perjalanan darat yang ditempuh selama tiga jam ini membuat kami banyak ber ha ha ha dan hi hi hi dengan pengalaman masing-masing.

“ Paling rumit juga pas menjelaskan tentang rantai makanan, tumbuhan di makan babi, babi dimakan manusia, dan terus manusia juga dimakan lagi oleh suanggi (setan)” cerita mereka saat mengingat salah satu pelajaran sambil diselingi tawa kami saat membelah hutan.

Dari banyaknya cerita itu kami sepakat bahwa mereka adalah anak-anak Papua  yang baik dan bisa diarahkan walau pun tidak semuanya.  

 ***

Perjalanan melintasi hutan dengan menggunakan sepatu boots terasa ringan juga selain karena saling berbagi cerita namun juga kondisi cuaca yang lebih stabil. Jika hujan sudah turun biasanya jalanan akan sedikit sulit dilalui karena harus melewati jalanan yang dipenuhi dengan pohon-pohon yang menjadi jembatan darurat. Bahkan untuk beberapa kali kami sangat tertaih tatih saat berjalan meniti sebuah pohon yang besar. Jika salah langkah, siap-siap kaki akan masuk ke dalam sebuah bagian kayu yang lapuk.

foto: istirahat bareng ditengah hutan oskop
Walau seperti itu, perjalanan ini kami lalui dengan aman tanpa rasa khawatir saat berada di alas rimba, hutan Papua  ini. Beberapa kali kami bertemu masyarakat asli Papua  mereka bertutur ramah kepada kami. “yepmum, teleb, dan selamat siang” bahasa pembuka keramahan di sini. Memposisikan diri dalam percakapan sebagai seorang guru menjadi tanda keramahan yang masih mereka hormati di sini.

 

***


Bumbakon ,

Ibarat puncak, Bumbakon  mungkin sebuah puncak dari perjalanan yang melewati alas rimba dan lereng-lereng perbukitan yang seolah tidak berujung. Ketika mendapati perkampungan yang berada di sela-sela perbukitan saya merasa nyaman, “sampai juga”. Kampung Bumbakon  yang termasuk ke dalam Distrik Oksop ini tidak hanya berdiri tanpa perkampungan lain. Setidaknya ada tiga perkampungan lain yang mengapitnya, mulai dari perkampungan Denong, Bumbakon  atas, hingga perkampungan perbatasan Oktumin. Selebihnya semua perbukitan yang berlipat-lipat seolah tak ada ujungnya.

foto: aku di sekitar SD inpres Bumbakon

foto: lagi bermain sambil belajar 


Kami sampai di Bumbakon  sekitar jam 12.30 WIT. Menjelang sampai di sekolah Bumbakon  terlihat siswa-siswa berbaris sejajar sambil menyanyikan lagu selamat datang kepada kami. Rupanya mereka yang bernyanyi tersebut adalah siswa dari dua sekolah yang berbeda kampung yakni siswa-siswa dari SD Inpres  Mimin dan SD Inpres  Bumbakon , keren. Ibu guru Sani, Wulan, dan Fitri yang merupakan guru dari dua SD tersebut mempersiapkan memang akhir pekan di sekolah dengan menyambut kami dan nanti akan dilanjutkan dengan Kegiatan Bermain dan Belajar (KBB) ala guru-guru muda ini.

“Bapak guru asal dari Sumatera kalian pernah dengar tidak?” tanyaku kepada mereka saat memperkenalkan diri. Saat saya bertanya tentang pulau suara sumbang diantara mereka membuat saya terkesan akan kepolosannya. Suara sumbang ini juga tidak terputus saat rekan-rekan lainnya mengenalkan tempat asal. Ingatan pelajaran di ruang-ruang kelas membuat mereka berbicara sumbang dan riuh bertautan, tahu, dengar, tidak tahu dan jawaban lainnya. Namun bagiku perkenalan ini adalah momen yang harus diingat bahwa mereka menerima kami dengan baik. Bahkan saat memasuki barisan yang sejajar mereka memberikan sebiji buah markisa kepada masing-masing kami.

***

Sebuah rumah papan dengan catnya yang agak memudar menjadi persinggahan semalam saya dan enam rekan lainnya. rumah yang berada sekitar 50 meter dari sekolah ini adalah rumah milik kepala sekolah SD Inpres  Bumbakon . Sesaat setelah saya meletakan tas ransel coltrack berkenalan dengan mereka lebih baik. Di rumah yang terdiri dari dua kamar ini dihuni oleh satu guru dari Indonesia mengajar, Sani Nurhikmah namanya. Ia adalah guru ketiga dalam tiga tahun ini yang mengabdi menjadi relawan di sekolah pedalaman ini. Ibu guru yang berasal dari jawa barat ini adalah lentera ilmu bagi saat kelas-kelas kosong yang terabaikan.

“Di sini saya biasa mengajar kelas secara rangkap” begitu katanya.

 Tidak hanya Sani, mereka yang mengajar di Distrik Oksop lainnya ada ibu guru wulan dan fitri. Keduanya mengajar di SD Inpres  mimin, sebuah SD yang berada dua jam dari kampung Bumbakon .

“Kalo di sana salamnya di mulai dengan teleb pak guru, kalo di sini yepmum” ujar salah satu dari mereka saat membedakan antara perbedaan lokasi tugas mengajarnya.     

foto : bersama anak-anak oksop

  

 Sebagai orang yang pertama datang ke Oksop saya hanya bisa mengangguk, dan mengatakan hmmmm gitu karena memang banyak hal baru yang didapat. Namun saat saya kembali bercerita tentang bape sebagai tugas saya sendiri maka bergantian mereka akan hmmmm gitu. Saling balas ungkapan ini adalah wujud penasaran yang terobati dengan membandingkan antara persamaan dan perbedaan lokasi tugas sebagai seorang guru. Keseruan kami yang saling bercerita banyak dihabiskan dalam ruang hangat bernama dapur. Di sini, bagi masyarakat maupun ibu  guru Sani menjadikan dapur adalah tempat yang pas saling bercerita tentang kondisi kita secara kekinian. Makan, minum, dan bercengkerama hari itu tidak jauh dari perapian yang membakar kayu belah yang setengah kering. Begitu juga kami yang tiap sebentar selalu ber ha ha ha dan hi hi hi berbarengan dengan setiap cerita.

 

***

Menyusuri jalanan setapak yang tidak berujung,

Jam demi jam mengangkat langkah kaki ini sebelum gelap datang tak undang.

 

foto: santai setelah berjam-jam jalan kaki 

Pagi ini, udara di kampung Bumbakon  teramat dingin. Kepungan perbukitan hijau dengan sedikit perumahan non polusi membuat badan masih terasa dingin walau sinar matahari menampakan cahayanya menerobos papan papan dapur yang tua. Usai salat subuh berjamaah ruang dapur adalah titik pertemuan untuk menghangatkan badan. Dengan langkah yang pelan kami memilih posisi untuk duduk dipinggiran dan membiarkan cahaya api ditengah tengah menghangatkan badan. Setiap gerakan  pelan yang mencari posisi duduk pasti akan menimbulkan getaran penanda kayu penyangga yang juga ikut menua sama seperti rumah ini.

Beberapa kali saya memilih keluar paksa dari area dapur. Asap dari pembakaran kayu yang belum kering membuat napas saya sesak. Gumpalan-gumpalan asap yang menebal membuat mata juga perih. Dapur yang dibuat dalam bentuk petak per segi ini menempatkan pembakaran pas ditengah-tengah. Batang-batang kayu yang tersusun persegi membatasi antara nyala api dengan tempat duduk. Kayu-kayu yang telah dibelah di susun rapi di atas pembakaran yang disanggah dengan empat batang kayu ini. Dapur seperti ini sudah menjadi ciri khas bagi masyarakat pegunungan bintang. Bagi kebanyakan masyarakat telah menganggap bahwa dapur adalah bagian dari tempat hangat guna mencairkan suasana, terutama malam dan pagi hari. Namun saya rupanya tidak sepenuhnya menikmati hangatnya dapur di pagi hari karena menyerah pada gumpalan asap.

Akibat menyerah pada asap saya memilih berkeliling rumah dan memperhatikan setiap lekukan dan sudut dari Bumbakon  ini. Mulai dari bangunan gereja yang terdengar suara dentuman panggilan ibadah sebanyak tiga kali hingga memperhatikan lebih erat kepungan perbukitan yang menempatkan Bumbakon  di dasar cekungan. Namun sayang di sini sangat terkendala dengan air. Sumber mata air hanya ada dua pertama dari air hujan yang terkumpul dengan menggunakan bak maupun drum dan sumber air sungai yang harus di dapat dengan menuruni sungai sekitar satu jam.

Namun yang menarik dari perkampungan ini adalah tatanan keramahan dan aturan yang terlihat. Binatang peliharaan tidak sembarangan dibiarkan masuk di sini, khususnya lingkungan gereja katolik. Pagar-pagar kayu dipasang sekeliling gereja bahkan sekolah untuk membatasi wilayah. Ada perbedaan tata letak untuk membedakan antara perumahan guru, masyarakat, dan gereja. Walau begitu di sini masyarakat tidak hidup dengan sinyal dan arus listrik yang memadai. Sumber penerangan mereka selain dari api pembakaran juga didapat dari lampu neon putih yang diberikan oleh pemerintah pusat dengan nama nawacita. Panel solar cell yang berukuran 40 x 25 cm ini adalah tenaga listrik yang didapat dari cahaya matahari.    

“bapak guru mari kita sarapan sebentar lagi kita akan mulai jalan” ajak hani kepadaku.

Aku mengangguk dan kembali memasuki perapian dapur yang dipenuhi manusia-manusia. Dengan pelan saya melangkah menuju bagian sisi dapur yang kosong untuk duduk. Sambil berjalan ini saya merasakan goyangan dapur yang disanggah kayu balok yang mulai menua. Makan bersama dengan sayur dan mie ini terlihat istimewah karena ini adalah asupan energi yang akan dihabiskan selama perjalanan pulang melewati jalur Bumbakon .

“ Kemarin saya melewati jalur Yumakot, Lima Rum dan Bulangkop mulai dari jam 10 pagi sampai sekitar jam lima sore “

Perjalanan jauh rupanya jika melewati jalur memutar. Sebelumnya memang mereka yang dari  Oksop pernah melakukan perjalanan darat dari kampung mimin singgah Bumbakon . Perjalanan memutar ini menurut mereka lebih nyaman karena perjalanan tidak melulu mendaki melainkan menuruni lereng lereng perbukitan. Sedangkan  pendakian mereka mengatakan ya ada sih tapi tidak terlalu.

“ha ha benarkah tidak terlalu” ujarku membalas dalam hati.

Sarapan pagi dengan cepat saya lahap. Menu yang disuguhkan memang penuh dengan kabohidrat mulai dari mie yang direbus, bakwan, dan sayuran daun labu siam. Usai menunaikan sarapan pagi kami mulai segera bergegas. Perlengkapan dan bekal selama perjalanan dipersiapkan dengan baik oleh mereka anak muda. Tas caril berbagai ukuran terlihat tangguh untuk mereka jinjing di pundaknya. Sedangkan saya hanya membawa tas body pack  35 liter saja.

foto: ibu guru sani bersama anak-anaknya

“Ibu guru Sani terima kasih ya untuk sungguhan dan sambutan di kampung Bumbakon  ini” ujarku kepada Sani sebelum memulai perjalanan. Selain pamit kepada ibu guru, kami juga berpamitan dan bersalaman ala Papua  kepada masyarakat sekitar yang menerima kami dengan senyuman.

“ok da.....” ujar kami sembari melambaikan tangan.

 

Hari yang sempurna sekaligus hari yang melelahkan

 

No comments:

Post a Comment

Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...