Kata tanya yang berahir Tanya
Aku menyesal telah meninggalkan dirinya.
Seadainya waktu mau berputar tentu akan ku ulang agar aku bisa menemaninya,
menemani disaat ia membutuhkan ada aku di sisinya.
Arya,
***
Jam menunjukan waktu 6 sore namun hujan belum juga reda. Entahlah aku tak jua mengerti dengan kondisi cuaca beberapa hari ini. padahal pagi tadi cuaca begitu cerahnya, sampai sengatan matahari begitu panas sehingga membuat keringatku yang tak berhenti berkucuran. Namun kini lantai fakultas pun ikut mendingin oleh hujan yang belum juga reda. Jalanan yang hujan tak lagi sepi masih tampak oleh ku terlihat beberapa mahasiswa yang nekat berlarian ditengah hujan. Mungkin bagi mereka lebih baik nekad dengan basah kuyup ketimbang menunggu hujan lebat yang tidak tahu kapan sudahnya.
Senja yang menguning kini tampak muram dengan hujan ini. Aku tak mengutuki hujan namun aku mengutuki diriku sendiri kenapa tak memilih pulang langsung bersama Rafal kala ia mengajak pulang bersama pascakuliah tadi. Kegiatan kumpul di sekre malah kemudian menjebakku di lantai fakultas. Namun setidaknya aku bersyukur toh bukan aku sendiri yang menanti hujan ini. Puluhan mahasiswa pun berdiri berjejer di dinding fakultas, Sesekali memandang langit berubah warna berharap hujan akan segera reda.
Aku berdiri sendiri, bukan pilihan namun memang aku asing dengan mereka yang sama sekali tak ku kenal. Kebosanan ku yang terkadang muncul kerap kugantikan dengan melihat layar hp berharap ada SMS yang masuk sebagai pelipur duka menanti hujan lekas berhenti.
Pandangan ku tiba-tiba menantap sebuah diktat besar, sepertinya ada mahasiswa yang teledor sehingga melupakan dikatnya yang tinggal. Malas aku menghampiri diktat itu.
“Riani Dwi Ashari” sebuah nama tertera di diktat itu. nama yang bagus uangkapku. Iseng ku buka lembaran catatannya. Berderat angkah-angkah dengan rumusnya, gambar yang memusingkan ku ini semakin membuat aku bosan untuk melihat lebih jauh catatan ini. Tulisannya yang rapi memenuhi setiap space di buku ini. Tulisan yang berwarna satu tintah ini setidaknya membuktikan bahwa kutu buku ini adalah wanita yang keras dengan komitmennya.
Namun bagiku anak kutu buku bukanlah tipe ku setidaknya itu komentarku menyimpulkan untuk membuang buku itu kembali ke asalnya.
***
Rumah yang rapi dengan taman yang indah. Sambil menunggu tuan rumah aku merasa rumah ini memang terawat secara baik, hiasan di taman yang berbentuk cantik dengan hiasan bunga membuat taman ini layak sebagai surga kupu-kupu. Memang tidak sengaja aku mampir ke rumah cantik ini kalau bukan buku tempo hari yang ku campkaan kembali ke asalnya. Aku juga takkan menemui kutu buku ini kalau saja bukan karena pengumuman yang tertempel di seluruh dinding fakultas di kampusku hanya untuk menanyakan buku ku ini.
Beruntung hati kecil ini mendorong ku kembali mencari kembali buku ini. Walau dengan setengah hati toh ahirnya aku juga sampai dirumah si kutu buku ini. Jalannya yang jauh dengan belokan yang entah berapa ditambah dengan penunjuk yang kerap salah memberi arah praktis membuat aku tempo hari.
“maaf, kamu cari saya…” suara yang sedikit gugup terdengar dibelakangku.
Keindahan Riani, pemilik buku ini sunguh tak lagi membuat aku menyebutnya dengan si kutu buku namun dewi cantik. Gadis ini berdiri dengan warna putih membalut bagian tubuhnya, kulitnya yang cantik membuat aku tertegun melihat sosok dewi ini. Agaknya rumusan bahwa kutu buku tak selamanya buruk rupa atau sebangsanya. Lain halnya Riani yang memandang ku baginya aku asing dimatanya. Namun entah kenapa ia gugup mengandai ku ini.
“Riani Dwi Ashari” ujarku langsung ke pokok tujuan. Aku tak ingin suasana gugup membuat suasana menjadi kaku.
Selanjutnya aku utarakan kedatangan ku hanya memenuhi permintaan Riani
“BAGI SIAPA YANG MENENEMUKAN BUKU ATAS RIANI DWI ASHARI MOHON SEGERA DIKONFIRMASI KE PEMILIKNYA”.
Tiba-tiba suasana yang sepi menjadi luntur oleh senyum Riani, kepolosan ku yang detail mengukapkan kedatanganku sini membuat ia tersenyum.
Suasana yang mencair membuat kami dekat dengan waktu singkat. Entah kebetulan atau memang direncakan persamaan kami membaut cerita yang saling menyatu. Hujan beberapa hari yang lalu memang membuat Riani lupa bahwa ia telah meninggalkan sebuah diktat penting mata kuliahnya. Namun anehnya walaupun ia adalah anak hitungan ia masih lupa dimana diktat itu tertinggal.
***
“Jangan pergi Arya, aku tidak mau kamu dikit pergi” sebuah lamunan ku kembali menerawang jauh. Riani sangat keras melarangku mendaki minggu depan, padahal tiap kali aku mendaki tak ada mencemaskanku kecuali dewi cantik ini. Aku juga tidak mengerti kan hal ini, sebuah perasaan yang lama ku pendam setelah enam bulan mengenalnya. Kedekatan ku dengan Riani dengan tiba-tiba memang ajaib. Mulai berbagi cerita aku memahami sosok gadis ini memang memiliki semua yang aku inginkan selama ini, parasnya yang ayu tidak hanya membuat hari-hariku penuh dengan makna. Sifatnya yang dewasa bertambahnya yakni bahwa Riani adalah gadis yang sempurna.
Namun kini laranganya memang membuatku gamang apakah aku harus meneruskan pendakianku ini. Rasanya tidak mungkin jika karena wanita aku tidak jadi mendaki, persiapan sematang mungkin sudah dipersiapkan. Aku tetap menadaki,
” Maaf riani aku akan tetap mendaki”
***
Udara gunung membuat badan ku mulai merasakan dingin. Perjalanan menujuh puncak hampir sampai. Sesekali aku beristirahat aku kemabli mengeluarkan ponsel kecil ku ini. Sesekali aku mengirimkan keadaan ku melayang jauh ribuan km ke riani. Sekedar memberi kabar keberadaan serta apa yang kulihat.
Namun sejak awal keberangkatan Riani tak menjawab telpon maupun membalas sms ku. padahal sebelum pergi aku ingin mendegar suaranya agak sejenak. Rasa kerinduan merasuk diam-diam ke hati ku aku akan meninggalkan dia seolah dalam waktu yang lama. Bolak-balik ku hubungi namun tetap tak ada balasan.
Rasanya ia memang marah dengan keputusanku yang tetap mendaki. Namun apalah daya. Kini aku berangkat tampa kesan dari riani hanya dingin dan diam yang ia berikan. Kemarahannya membuat perjalnanaku berisi penuh dengan bayangannya.
Lamunanku memang sampai Riani aku tak tahu apa yang ia lakukan saat ini. Adakah doa yang ia krimkan. Tiba-tiba sebuah pesan singkat masuk ke layar ponsel
“Dari : riani
Arya, maaf aku tidak membalas sms kamu.
Hati2 y… aku harap kamu pulang dengan selamat dengan segudang ceritamu. Aku menunggu mu arya.. “
Dinginya udara tiba-tiba mengahngat dengan pesan singkat riani, aku tak peduli dengan dingin dan lelahnya perjalananku namun Riani telah memberikan aku spirit untuk menghadiahkan sebuah kerinduan yang ada pada kami bersama . entah kapan ku mantapkan hati ku untuk menjalin hubungan yang lebuh serius dengan Riani selepas pendakian ini.
“Riani tunggu aku” batin ku.
***
Rumah sakit ini begitu mewah dengan fasilitasnya. Namun aku tidak ambil peduli dengan rumah sakit ini, namun langkah ku saling berkejaran dengan gearan batinku untuk mencari riani. Sms yang kerap ku kirimkan tak selamanya diterima melainkan masih tersimpan rapi dikotak pesan. Dirinya harus berjuang menghadapi penyakit kanker yang dideranya ini.
Mungkin ini tanda yang diberikan kala bersikeras melarangku. Ada rasa sesal, sangat menyesal karena tak mampu menemaninya saat kritis ini.
Kini apalah arti penyesalan riani terbaring pucat dipmebaringan umum ini. Pipinya yang masih putih sungguh membuat kecatikan dirinya yang tidak pudar. Semua berkumpul di sebelah Riani bunda, ayah, adik-adiknya bahkan Fita teman akrabnya. Aku hanya mematung menjaga keadaan seolah aku juga bisa tegar menghadapi semua ini. Langkahku yang mendekat membuat aku jelas merasakan aura Riani.
Ingatanku melayang membayangakn bagaimana perkenalanku dengan Riani. Kini kedekatan ku yang telah memantapkan hatiku bersiap kecewa akibat kebodohan ku menanti gadis ku yang terbaring koma bertarung dengan penyakitnya. Sesekali aku melihat parasnya yang memang membuat aku takluk bersamanya. Kini harapan baru untuk mengikat hubungan ami gakanya harus berhenti cukup disini. Riani akan mati.
“ketika hati ini, tetapkan pilihan.
Adakah kuasa diri tuk coba abaikan.
Selalu ku katakan engkaulah yang terjaga dalam setiap langkah kau tetap mimpiku……”
aku bersenandung di sisinya menemaninya mengagtikan kehadiran ku yang seharusnya ada bersamanya.
***
Lembaran diari Riani puluhan kali ku buka. Dia menuliskan semua tentang ku disetiap halamanya. Apakah aku mencintainya? Sebuah pertanyaan ahir yang ingin ku jawab kepadanya namun bagaimana?. Rasa tanyaku seakan mengulang penyesalan ku yang telat sangat telat. Aku telah meninggalkan Riani hanya tuk ego ku.
Sebuah kuburan dengan nisan yang masih baru kerap aku kunjungi. Pascaoperasi tidak membuat keadaan Riani membaik malah semakin memburuk. Riani pergi meninggalkan semua dengan tersenyum namun tidak untuk ku ia pergi dengan tanda Tanya apakah aku pun mencintainya?. Kini hanya rasa penyesalan yang aku dapatkan.
Mungkin hanya dengan butiran doa ini aku mampu berdoa semoga Riani tetap bersama di hati ini. Aku berjanji bahwa kamu tetap hidup Riani di hati ku.
Sebuah harapan yang tak pernah terungkap dan diungkapkan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku
( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...
-
Judul : Kuli Kontrak Penulis : Mochtar Lubis Penerbit : Yayasan Obor Indonesia Tebal : 107 Halaman Tahun Terbit : 1985 Kuli k...
-
Judul : Raden Fatah Penyuting : Daryanto Penerbit : Tiga Kelana Tebal : 470 Halaman Tahun terbit : 2009 ============================...
-
Judul : 41 warisan kebesaran gus dur Penulis : M.Hanif Dhakiri Penerbit : LKiS Tebal : 204 Halaman Tahun terbit : 2010 Sejara...
No comments:
Post a Comment