Catatan Perjalanan : Menatap Ende dari Ketinggian 655 Mdpl

Jika laksana sebuah lukisan, maka inilah lukisan keindahan alam yang telah Tuhan berikan. Tegak kokoh, Gunung Iya mengibarkan sebuah bendera keindahan.. Lautan yang membiru, gurun hijau, Dengan bukit sebagai pembatasnya.. Gunung Iya, 9 maret 2013
Ungkapan diatas rasanya pas untuk menggambarkan apa yang kami berlima ungkapkan ketika berada di puncak Gunung Iya ini. Perjalanan mendaki sehari ini setidaknya menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi setiap pendaki atau pengunjung ke lokasi Gunung Iya, yang berada di Kota Ende, NTT ini. Adapun perjalanan yang hari ini penulis lakukan adalah pendakian bersama guru-guru muda SM-3T asal Kota Padang UNP yakni Pri, Tiana, Ayu, Dila, dan Leni. Pendakian yang dikemas dalam hecking ini memberikan kesan kecintaaan guru muda SM-3T terhadap alam Indonesia yang luas dan indah. Maka untuk mengolah dan menjaga keindahan tersebut adalah dengan memajukan SDM dengan cara pendidikan.
Perjalanan mendaki Gunung Iya ini sebenarnya tidak juga dikatakan sebagai pendakian, melainkan hacking. Namun embel-embel Gunung Iya dan ketinggian maka perjalanan ini dikatakan sebagai pendakian. Sebelum melaksanakan perjalanan di hari Minggu, 9 Maret 2014, penulis dan rekan-rekan terlebih dahulu mencari info tentang Gunung Iya ini. Hal ini sangat penting dan jangan dianggap lalai, dengan info ini berguna untuk meminimalisir faktor X yang akan menghambat perjalanan pendakian. Persiapan berupa fisik serta bahan makanan adalah hal yang harus dicek secara berulang. Puncak Gunung Iya adalah puncak alam yang tiada menyediakan bahan makanan yang siap saji atau siap dijual. Kamera, tas, topi, air minum, mie instan, cokelat, syal, alat tulis, alat P3K, dan sarung menjadi persiapan yang penulis lakukan secara pribadi.
Pemilihan Gunung Iya sebagai rute perjalanan ini adalah sebuah pilihan yang dianggap cukup menantang dalam mengisi hari libur. Kota ende yang memiliki pilihan beberapa gunung seperti Gunung Meja, Gunung Reja,dan Gunung Iya. Ketiga gunung inilah yang mengapit Kota Ende hingga saat ini. Adapun Gunung Iya memiliki keistimewaan sebagai gunung yang masih aktif. Letusan gunung ini pun pernah terjadi,salah satunya pada tahun 1960-an. Oleh karena ini info berupa kondisi gunung adalah hal wajib di cari tahu oleh pendaki atau penikmat alam. Selain itu, rute dalam pendakian Gunung Iya juga terdapat tantangan bagi pendaki yang hendak mencapai puncak. Setidaknya ada beberapa fase yang akan dilalui oleh pendaki dalam perjalanannya hingga tingkat kemiringan yang akan dilaluinya. Oleh karena itu dalam melakukan pendakian ini, salah satu tips yang penulis berikan adalah pendakian ini baiknya dilakukan pada pagi hari yakni jam 06.00 hingga jam 09.00 WITA.
Hal ini yang penulis lakukan bersama teman sejawat guru muda SM-3T asal kota Bengkoang ini. Perjalanan dimulai dari batas awal rumah perumnas yang berada di jalan kos-kos raya. Dengan modal 10.000 rupiah per orang lantas para pendaki ini menaiki angkutan umum kota ende yang biasa dinamakan bemo. Jam 08.00 WITA kami mulai menikmati perjalanan melalui angkutan umum ini menujuh ke kampung tanjung yang merupakan lokasi pembuangan akhir sampah Kota Ende. Memilih menaiki angkutan umum ini setidaknya membutuhkan waktu Sekitar 30 menit dari Perumnas hingga Tanjung. Tidak butuh waktu lama penulis dan rekan-rekan untuk mengulang cek perlengkapan mendaki ini. Usai membayar uang masuk 4000 rupiah per orang dan membeli minuman maka perjalanan menaklukan Gunung Iya dimulai.
Ketika pendakian akan dilakukan, penulis dan rekan-rekan berdoa terlebih dahulu, kegiatan doa ini adalah pendekatan spritual agar perjalanan ini memberikan mamfaat bagi penulis dan rekan-rekan guru muda SM-3T. Jam 08.30 WITA maka pendakian ini dimulai. Fase-fase hingga ke puncak kerap penulis dan rekan-rekan abadikan dalam bidikan kamera. Setidaknya memang yang harus dilakukan di alam liar adalah menjaga etika alam dengan tidak melakukan aksi vandalis seperti mencoret-coret, maupun merusak lingkungan di sekitar. Menurut penulis pendakian Gunung Iya setidaknya terdapat tiga fase. Pertama fase tanah pasir, setidaknya pendakian yang membutuhkan waktu sekitar 3, 5 jam ini dilalui dengan tanah pasir. Dimana dalam lokasi ini setiap pendaki menemui tumpukan sampah yang memang dibuang di wilayah kaki Gunung Iya tersebut. Dalam fase ini pendaki harus menjaga indra penciuman dari sampah yang ditumpuk di sepanjang jalan. Fase kedua, yakni pendakian dengan tingkat kemiringan yang sedang. Namun di sinilah tantangan itu dirasakan. Keberangkatan pendakian yang dimulai jam 08.30 WITA sebenarnya bukan jam yang normal untuk mendaki. Hal ini karena panasnya matahari akan langsung menyentuh bagian tubuh. Hal ini lah yang penulis dapatkan sebagai pelajaran dengan melihat kondisi yang cerah. Dalam fase ini langkah kaki mulai tertatih-tatih. Perjalanan yang mulai menanjak ini minim pepohonan dan angin. Akibatnya rasa lelah badan selain jalan kaki juga karena sengata sinar matahari ende yang sangat panas. Dalam kondisi seperti ini air adalah bahan logistik utama yang harus diatur dalam penggunaannya.
Jam hampir menunjukan waktu jam 12.00 WITA. Perjalanan memasuki fase ketiga, dimana pada lokasi ini banyak ditemukan pepohonan untuk sekedar berteduh. Namun dalam fase yang terakhir inilah yang membuat penulis dan rekan-rekan SM-3T melangkah dengan langkah yang tidak sama dan cenderung lambat. Tingkat kecuraman sekitar 60 derajat, jalanan yang penuh dengan batu-batu keras. Dalam kondisi ini rentang jarak antar para pendaki kini mulai menjauh, dila, leni, dan tiana berjalan lebih dahulu untuk segera mencapai puncak. Sedangkan penulis dan ayu masih berada di urutan belakang. Walau seperti itu, komunikasi antar pendaki ini harus dijaga untuk melihat kondisi antar sesama teman. Sebelum mencapai puncak penulis sempat berpapasan dengan beberapa anak remaja yang hendak turun ke bawah. Mereka siswa di sebuah sekolah Kota Ende, namun kesan penulis ketika bertemu mereka adalah fisik mereka yang kuat dengan membawa perbekalan yang tidak terlalu banyak. Dan, tepat jam 12.30 penulis akhirnya berada di puncak tertinggi Gunung Iya ini bersama keempat rekan guru muda dan sebuah bendera merah putih. Seperti pada perjalanan sebelumnya, penulis mengabadikan foto dan video bersama bendera merah putih. Harapan bahwa alam Indonesia memiliki seribu warna yang harus diabadikan dan dilestarikan. Pepohonan cemara dan pepohonan lainnya menambah keindahan puncak Gunung Iya. Ketika berada di puncak ini sebagain besar mata memandang kota ende secara total, dan ketika kaki melangkah agak menjauh maka pandangan mata akan melihat laut flores berikut dengan pulau-pulau yang ada di sekitar flores ini.
Kontras jika hendak membandingkan suhu antara perjalanan dengan puncak Gunung Iya. Dimana ketika kaki ini telah berada di puncak suhu udara yang memanas mulai berganti dengan suara angin yang membawa kesejukan udara. Usai menikmati hidangan siang berupa roti dengan air minum yang dibatasi, perjalanan menujuh kawah Gunung Iya dimulai. Dengan langkah perlahan aksi memotret tidak terhindarkan. Dengan sengaja membawa bendera merah putih lantas penulis mendokumentasikan pendakian ini dalam sebuah aksi jepret dan video dokumentasi. Matahari siang mulai berada di atas kepala kami. Semangat dan tekad guru muda SM-3T akhirnya berada di pinggiran kawah. Lagi, Gunung Iya menawarkan keindahan alam terbaiknya. Kawah yang terletak di pinggiran gunung yang menghadap samudra laut flores ini sungguh indah. Bahkan laut yang membiru sedikit beradu warna sehingga muncul corak warna hijau. Keindahan puncak Gunung Iya membuat penulis dan rekan-rekan guru muda SM-3T terkesima oleh keindahan alam di Gunung Iya ini. 120 menit kami menghabiskan waktu di puncak tertinggi Gunung Iya. Usai menikmati keindahan yang telah diciptakan oleh Tuhan ini lantas kami pun bersiap untuk kembali turun ke bawah. Tidak seperti saat mendaki yang bisa dilakukan tanpa perlu ekstra hati-hati. Pendakian yang telah penulis jelaskan terdapat 3 fase perjalanan naik ke atas Gunung Iya ini. Maka saat penurunan semua rekan-rekan harus sangat hati-hati. Tidak jarang beberapa rekan guru muda SM-3T ini terjatuh ketika perjalanan menuruni Gunung Iya ini. Habisnya logistik air mineral membuat kami sedikit kehilangan konsentrasi. Namun perjalanan menuruni punggung pegunungan ini menyebabkan kecepatan waktu yang lebih cepat yakni 90 menit. Rasa haus sangat terasa dalam perjalanan pulang. Ketiadaan sumber air menjadi pelajaran kami untuk bisa membawa logistik cair yang cukup banyak. Mendekati jalan awal penulis mengambil beberapa tumbuhan liar yang tumbuh di sekitar. Sebuah tumbuhan yang memilki buah sebesar bola mata namun dibungkus dengan serat-serat. Tanpa basa-basi penulis dan ayu yang kebetulan berada barisan di belakang menikmati beberapa biji buah yang hampir sama rasanya seperti buah markisa.
Perjalanan ini adalah perjalanan yang cukup mengesankan. Penulis pun banyak beajar dalam hacking ini. Tentu saja dalam perjalanan ini penulis ingin berikan dalam kesannya dalam baitan kata-kata yang mudah di mengerti. Akhir perjalanan kami mendapatkan tumpangan yakni mobil pengangkut pasir yang melewati pasar. Tanpa pikir panjang setelah melihat ketiadaan mobil angkutan yang lewat akhirnya tumpangan ini menjadi bagian cerita dari akhir perjalanan mendaki Gunung Iya.

No comments:

Post a Comment

Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...