Judul : Andai Aku Cecak, Andai Aku Buaya
Penulis : Achmad Muchlis Amrin, Dkk
Penerbit : Espresi
Tebal : 177 Halaman
Tahun terbit : 2009
Achmad Muchlis Amrin seorang buayawan menuliskan profil seekor buaya yang telah melakukan perbuatan semena-mena terhadap aturan yang berlaku. Sosok buaya yang terkenal kuat serta memiliki berbagai kelebihan secara fisik dan mental membuat seisi hutan menakuti sosok buaya ini. Namun tetap aturan telah dibuat, demonstrasi yang dilakukan oleh para rakyat kodok terhadap buaya memang sebuah kenyataaan. Dimana melalui tangan kekuasaannya ia melakukan aksi diktator atas nama kekuasaan sebagai legitimasinya. Para demontrasi kodok yang berlanjut mempertanyakan sikap buaya yang melakukan aksi penindasan terhadap saudara kecilnya yakni cecak.
Namun sang buaya malah membantah bahwa penindasan yang dia lakukan adalah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku yakni Kitab Undang-Undang Hukum Hewan (KUHH). Kodok-kodok yang terprovokasi oleh Koran Harian Rawa (KHR) dan Televisi Nasional Rawa (TNR) semakin memojokan posisi buaya yang telah menyalahi kekuasaannya untuk mengintimidasi kekuataan kecil si Reptile dalam melakukan tugasnya. Maka konflik antara buaya dan cecak kian memanas, keduanya mendapat dukungan dari masing-masing yang dimenangkan atas kasus perselisihan ini. Bahkan presiden kehewanan hanya terdiam melihat kondisi konflik yang kian memanas. Namun ahirnya diketahui bahwa akar masalah dari konflik ini adalah keberadaan Angkodok yang menjadikan hukum sebagai payung keselamatan.
Bangsa buaya tersudut dengan opini yang kian memuncak. Mindset mengatakan bahwa bangsa buaya menjadi pihak tersalah akibat kasus konspirasi ini. Hubungan antara buaya dan Angkodok di luar rawa menghasilkan kompromi dalam menjatuhkan para ketua cecak. Sebagai imbalannya, Angkodok akan memberikan fasilitas yang dibutuhkan buaya dalam hal apa pun. Namun malang dalam percakapan dengan Angkodok telah disadap oleh Komisi Cecak Kower (KCK) dan kemudian diperdengarkan di Mahkamah Hewan Rawa (MHR). Akibatnya nama baik buaya kian menyusut dan mati di tengah opini rakyat rawa. Maka kini hanya menyisakan beberapa siasat ampuh buaya yakni muncur, melawan, atau tetap berada dalam posisi sebagai buaya yang kuat. Namun kini itu adalah pilihan ditengah kemelut.
Tulisan singkat diatas merupakan salah satu berbagai essai singkat tentang negeri ini dan hukum yang berlaku. Achmad bersama para pemerhati sosial hingga politik menyumbangkan pemikiran dalam buku singkat ini, bagaimana korupsi telah menjadi momok di mata hukum. Dimana penyakit korupsi tidak hanya mengena kepada kaum terpilih namun pada kaum pada umumnya.
Mengambil setting dengan perseteruan antara eksistensi kpk yang sempat tersangdung pada 2009 silam. Konflik antara KPK dan pihak polisi lantas meneriakan istilah cecak melawan buaya. KPK yang memiliki taring berdiri independen dalam melakukan pemberantasan korupsi secara tangguh. Namun keadilan di negeri ini masih baru menjadi sebuah slogan. Konspirasi dengan menjatuhkan Antasari Azhar yang terkait dalam pembunuhan berencana Nazarudin tetap menjadi tirai gelap yang tidak terjawab. Kemudian pencekalan terhadap wewenang KPK dalam indepedensinya telah menjadi sebuah tekanan yang tidak pernah berahir.
Buku lahir dari sebuah kepedulian terhadap lembaga penegakan hukum di Indonesia. Korupsi tumbuh subur di tengah kondisi Indonesia yang miskin dalam segala tingkat. Salah satunya yakni kemiskinan moral yang diwariskan sejak era lampau. Achmad menuliskan sendiri bagaimana perseteruan antara KPK and Polri adalah hasil konspirasi dengan si pelaku korupsi. Dimana dalam segala posisinya, si pelaku aman dalam segala hal. Konflik yang diciptakannya tidak memberikan dampak positif, sebaliknya menambah sisi negative terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Melaui sindiran dan perumpaan menjadikan buku ini menjadi enak dan mudah dipahami. Humor yang menggelitik menjadi poin bagus dalam buku ini. Namun sayangnya bentuk konsep dalam penyelesaian konflik serta korupsi tidak dijelaksan dalam buku ini. Dengan menampilkan berbagai problem menjadikan buku ini hanya berisi kesalahan yang telah dilakukan oleh aparat penegakan hukum dan pemeruntah. Buku ini layak dibaca oleh kalangan akademisi agar bisa lebih bijak dalam menyikapi kondisi bangsa yang rapuh. Tentu oleh para pejabat buku layak menjadi simpanan sebagai bentuk nasihat serta harapan yang dimiliki oleh rakyat Indonesia. Selamat membaca.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku
( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...
-
Judul : Kuli Kontrak Penulis : Mochtar Lubis Penerbit : Yayasan Obor Indonesia Tebal : 107 Halaman Tahun Terbit : 1985 Kuli k...
-
Judul : Raden Fatah Penyuting : Daryanto Penerbit : Tiga Kelana Tebal : 470 Halaman Tahun terbit : 2009 ============================...
-
Judul : 41 warisan kebesaran gus dur Penulis : M.Hanif Dhakiri Penerbit : LKiS Tebal : 204 Halaman Tahun terbit : 2010 Sejara...
No comments:
Post a Comment