Membangun Pendidikan Di Negeri Batu

Judul : Stone Into Schools
Penulis : Greg Mortenson
Penerbit : Hikmah
Tebal : 478 Halaman
Tahun terbit : 2011

Greg Mortenson adalah pendaki yang tersesat di salah satu pegunungan di wilayah suram di Afganistan. Perjalanannya selama tersesat membawanya dalam sebuah kenyataan dan fakta tentang Afganistan yang kini ia tekuni. Perjalanan pertamanya ia tulis dalam lembaran-lembaran buku Best Seller berjudul Three Cups Of Tea. Kini Greg kembali menuliskan dalam lembaran-lembaran pengalamannya bersama teman-temannya dalam membangun dalam bidang pendidikan di negeri yang penuh konflik dan sarat bencana. Ia menyatakan bahwa dalam mendamaikan negara seperti Afganistan diperlukan perbaikan dalam pendidikan warganya sebagai bentuk pencerahan modernisasi. Bukan sebaliknya, perlawanan secara fisik (perang_red) yang tidak pernah tuntas dari satu dekade. Pembangunan pendidikan yang dilakukan Greg secara khusus pada pendidikan anak perempuan. Setidaknya terdapat 120 juta anak yang terlantar dan buat huruf saat ini yang membutuhkan pendidikan. Sampai saat ini Greg sadar bahwa dalam membangun sebuah institusi pendidikan bukan hal mudah. Perlu adanya tekad serta kerja keras memudahkan lika-liku pekerjaan yang berat ini. Janji Greg kepada salah seorang pemuka dari wilayah jauh pedalaman Abdul Rashid khan untuk membangun isntitusi pendidikan di Celah Irshad-Bonzai Gumbaz ia tunaikan. Tergabung dalam LSM Central Asia Institute (CAI) Greg bersama teman-temannya telah membangun 131 sekolah-sekolah di wilayah pedalaman. Berawal dari adanya kesadaran yang menjangkiti seluruh wilayah tentang makna pendidikan. Pertemuan Greg dengan kepala wilayah Rashid Khan, dan beberapa masyarakat ditempat yang berbeda membuat Greg semangat untuk melakukan hal terbaik di wilayah itu. Keteguhan Greg yang berjuang bersama Mullah Mohammed seorang eks Taliban yang kini menjadi bagian dari CAI melakukan serangkaian pembanguan sekolah di wilayah pedalaman. Ia banyak dibantu oleh Sarzad, penduduk asli yang mendedikasikan diri untuk membangun pendidikan yang bisa dijangkau oleh kalangan rakyat Afganistan. Petualangan Sarzad dan Greg melewati batas pegunugan di musim dingin menjadi sebuah gambaran bahwa daerah tesrebut memang menjadi daerah buta pendidikan yang terlantar. Sejarah masa silam selama perang dingin telah mewariskan persenjataan serta banguan yang bisa digunakan sebagai sumber bertahan hidup. Konflik sesama etnis melawan Taliban tidak bisa dihindari hingga detik ini. Kekuasaan Afganistan yang dikauasi luas oleh Taliban (Pelajar Islam) adalah gerakan yang dipelopori oleh omlah. Taliban mengeluarkan aturan keras kepada masyarakat Afganistan dengan tidak mengizinkan adanya aktivitas liberal bergaya sekuler. pemenuhan kadar pendidikan hanya dilakukan kaum laki-laki tidak untuk kaum perempuan. Gerakan pasukan Taliban ini untuk pemurnian Islam secara menyeluruh oleh semua rakyat di Afganistan yang bercorak fundamentalis. Akibatnya, suasana konflik mendapat banyak perlawanan baik secara fisik maupun pemikiran dari para ketua suku yang kontra dengan sikap Taliban. bahkan oleh pihak asing dengan maksud 1001 alasan berada di tanah Afganistan. Dalam buku ini, Greg menuliskan perkembangan-perkembangan wilayah yang mendapat akses pendidikan. Tentu hal ini berawal dari pemikirannya bahwa pendidikan menjadi hak semua orang yang ingin sebuah kedamaian. Greg menuliskan banyak cerita-cerita mengharukan yang menambah esensi dalam buku ini, bahwa buku ini penting untuk dibaca dan dipahami oleh semua kalangan, baik akademisi maupun oleh masyarakat umum. Pristiwa kontemporer yang masih aktual dijelaskan oleh Greg, kondisi warga Afganistan setelah pristiwa bom di menara kembar WTC AS pada tanggal 1 September 2001 silam, kemudian bencana alam yang menghancurkan bangunan utama di kawasan Pakistan dan perbatasan di wilayah terpencil Afganistan , hingga aksi kekerasan yang dilakukan oleh pejuang Taliban memberikan efek domino luar biasa terhadap mindset dunia terhadap negeri batu ini. Buku sempurna dalam memberikan cerita real yang terjadi di Afganistan. Namun sebuah buku tetap memiliki kekurangan yang menjadi tanda tanya bagi para pembaca, Pertama Greg menjelaskan bahwa konflik Taliban seolah halangan yang dilakukan dalam membangun pendidikan hanya soal Taliban saja. Padahal analisis-analisis terkemuka saat ini menyatakan konflik Afganistan adalah skenario AS dalam memberikan nuansa tekanan. Jadinya, Greg akan lebih mampu menengahi masalah Taliban dengan konflika AS yang masih dibiarkan hingga detik ini. Kedua, buku memang menjelaskan pendidikan yang menjadi objek kajian pembangunan, maka seharusnya jua dijelaskan bagaimana nuansa sosial secara utuh dari sejarah masa Islam datang atau pra Islam di wilayah ini. Ketiga, ilustrasi melalui gambar yang sedikit kurang, walau sudah dijelaskan dengan peta dan gambar agaknya pembaca masih bingung dengan kata-kata yang rumit tanpa ilustrasi dari gambar atau foto. Walau seperti itu, buku ini tetap sangat menarik untuk dibaca dan ditiru. Positifnya dalam buku ini Greg memberikan sebuah nilai-nilai kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi. Keinginan kuat untuk membangun pendidikan di Afganistan adalah keinginan dari naluri kemanusiaan yang ia miliki. Suatu ketika Greg pernah diundang dalam acara di tempat pangkalan militer AS. Ia mengatakan bahwa tidak seharusnya AS membalas konflik di Afganistan dengan peluru mahal. Padahal nilai sebuah roket yang AS tembakan senilai dengan lusinaan bangunan sekolah di wilayah pedalaman. Deskripsi yang memuat wilayah terpencil di Afganistan menambah rasa ingin tahu pembaca bagaimana kondisi kekiniaan di wilayah itu. Kenapa wilayah tersebut menjadi lahan konflik yang tidak selesai. Pendidikan secara modern mendapat perlakukan keras dari Taliban , tidak jarang penduduk asli yang tewas akibat aksi kekerasan Taliban . Kebencian warga terhadap aksi kekrasan tidak hanya pada as namun juga Taliban . Pendidikan sebagai jalur tengah disetuji oleh para mullah melalui jirga bersama aktivis CAI. Tentu ada harapan yang hendak dibangun, dan semoga pendidikan sebagai jalan menujuh perdamaian.

No comments:

Post a Comment

Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...