Resensi Buku : Ketika Kuli Menjadi Pilihan

Judul : KULI Penulis : M.H. Szekely Lulofs Penerbit : Graffiti Press Tebal : 115 Halaman Tahun Terbit : 1985
Novel ini awalnya diterbitkan dalam Bahasa Belanda tahun 1931 di Den Haag. Lulofs menuliskan pengalaman yang ditemuinya di tanah Deli kemudian merangkainya dalam sebuah novel. Tentu saja, di zamanya peredaran novel ini membuat gempar pemerintah Belanda. Lulofs dianggap sebagai penghasut bagi orang-orang yang berkepentingan. Sama halnya dengan sosok humanis lain seperti Multatuli, Lulofs memang memihak kepada rakyat (kuli kontrak) yang tertindas dengan system yang tidak lazim dan berpihak. Dalam sebuah lembaran cerita yang singkat Lulofs mencoba menuliskan apa yang sedang terjadi di tanah Deli, tanah yang memiliki bau surge namun sebenarnya neraka bagi kaum proletar. Menjadi seorang kuli kontrak tentu bukan pilihan bagi semua orang yang kini bekerja sebagai seorang kuli kontrak. Memang impian tak sesuai dengan kenyataan yang dihadapi. Sama halnya dengan sosok utama dalam novel ini yakni ruki. Ia berasal dari sebuah desa yang jauh di sunda (jawa barat). Setiap hari ia hanya bekerja di sawah dan hidup dengan neneknya. Kehidupannya yang terasa biasa dan tidak ada perubahan membuat Ruki terbuai dengan kata-kata seorang calo yang berasal dari tanah betawi untuk memilih kerja di Deli. Tidak hanya ruki, namun semua penduduk desa dibuatnya menjadi gelisah dengan cerita tanah emas di tanah Deli. Calo sang pembual terus-menerus datang ke kampung tersebut dan memberi mereka mimpi-mimpi indah di tanah sumatera itu, wanita, harta, dan pekerjaan yang mudah. Ruki hanyalah pemuda polos yang ingin tahu seperti apakah tanah surga itu, maka tanpa pikir panjang ia pun berangkat menujuh tanah Deli. Padahal di lain sisi sang nenek telah melarang Ruki untuk pergi ke Deli. Dengan tekad yang bulat, Ruki bersama 3 orang teman sekampungnya berangkat ke Deli. Perjalanan yang penuh impian mulai buyar ketika Ruki mulai mendapat bentakan dari centeng-centeng tenaga kerja. “Apa pun yang tuan katakana nanti kamu harus jawab iya..mengerti” ancam sang centeng. Masih dengan penuh kepolosan Ruki pun mengiyakan semua pertanyaan dari tuan besar. Maka ia pun memberikan cap jempol di sebuah kertas yang penuh dengan barisan tintah hitam. Ia memang tak tahu, ia memang bodoh namun kebodohannya hilang kala ia dimasukan dalam satu gerbong asing yang berisi orang-orang seperti dirinya. Malang, saat ia hendak beranjak untuk meninggalkan gerbong ia malah mendapatkan sebuah hantaman sehingga membuatnya terluka. Kini Ruki pun mulai menghitung alur nasib untuk tidak pernah kembali seperti dulu lagi. Ia berlayar menujuh sebuah pulau yang selama ini tak pernah bayangkan. Umpatan, cacian, makian menjadi kata-kata yang wajar untuk didengarkan dan diterima. Berkenalan dengan Sidin, Karimun dan Karminah membuat mereka menjadi senasib dengan perjalanan ini. Selama perjalanan ini Ruki dekat dengan Karminah seorang buruh nyonya Belanda namun dijual oleh kakaknya diganti untuk membeli kerbau di kampungnya. Kedekatan Ruki yang semakin dekat ini kerap memberikan simapti kepada Karminah dengan sepotong kue kala Karminah kelaparan. Namun agaknya Ruki memang harus kehilangan karminah kala ia diambil oleh centeng madura dan memperkosanya. Kini Ruki paham bahwa dia, Karminah dan ratusan orang dalam kapal ini memang tak ubahnya bagai budak yang siap diperintah apa pun tanpa ada penolakan. Tidak ada lagi keadilan yang akan diperoleh di sini. Bahkan semua benda-benda tajam yang dimiliki pun dilucuti oleh para centeng. Tidak ada perlawanan dari siapa pun selama perjalanan ini. Tanah Deli adalah tanah yang panas dengan pohon besar yang mejulang. Tak butuh waktu lama perjalanan antara pelabuhan dan tanah Deli. Kini Ruki pun telah mendapat jatah kamar yang bagi berempat dengan teman-teman yang asing baginya. Sebuah cangkul baru ia terima namun disertai makian yang berisi aturan bahwa semua kuli kontrak harus bagun sesuai dengan aturan yang ada dan bekerja dengan arahan dari setiap mandor perkebunan. Ruki adalah orang baru yang bingung dengan pekerjaannya yang tidk sesuai dengan apa yang ia bayangkan, ia menjadi ingat kamppung halamnanya, kerbau, dan neneknya. Inilah tanah Deli yang tidak memiliki pola moral daam sebuah aturan agama maupun adat. Berjudi menjadi sebuah hal yang lumrah oleh kuli setiap mereka gajian. Ruki yang hanya memiliki modal pas-pas an pun bertaruh dan hasilnya ia pun kalah. Kini kekayaan yang ia miliki hanya modal baju yang ia kenakan itu saja. Bertemu dengan Saimah seorang wanita sundal (pelacur) Ruki langsung menjadi wanita ini sebagai pemuas nafsunya. Sayangnya Saimah ngamuk kala ia tahu bahwa Ruki adalah kuli miskin yang tak sanggup membayar. Pernah terfikir Ruki untuk kembali ke Jawa ketika kontrak kerja selama tiga tahun habis namun setiap hendak melaksanakan niatnya tersebut bayangan judi dan wanita bebas setiap gajian kerap ia gunakan samai habis. Ahirnya ia pun ta memiliki apa pun untuk dibawa ke kampungnya. Sampai Ruki berumur 50 tahun ia masih menjadi seorang kuli yang tak pernah bisa untuk kembali ke kampungnya.pernikahannya dengan Wiryo seharusnya bisa membuat Ruki kembali ke kampungnya karena Wiryo selalu menabung dari hasil pendapatan mereka. Sayangnya setelah semua tabungan yang ia kumpulkan harus tandas semalam hanya karena ulah Ruki untuk kembali ke meja judi. Ahirnya Ruki pun siap untuk mati di tanah pengasingan ini. Buku ini menarik sekali untuk dibaca oleh kalangan akademisi sosial sehingga mampu memberikan sebuah pikiran kritis untuk menyusunnya dalam lanjutan penelitian. Lulofs tidak menampilkan sebuah kompleks masalah dalam sebuah narasi panjang sehingga cerita terksesan meloncat dalam takaran umur. Pemamfaatan tokoh Ruki agak pasif dalam memerankan dirinya sebagai seorang kuli. Walau seperti iu buku mampu sebuah karya yang resprentatif sehingga menjadi sebuah studi yang sangat menarik.

No comments:

Post a Comment

Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...