Resensi Buku : Derita Kaum Koeli Di Tanah Surga

Judul : Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract Penulis : Emil W. Aulia Penerbit : Gramedia Tebal : 257 Halaman Tahun terbit : 2006 Pernahkah mendengar kuli kontrak? Saya yakin sebagian orang lupa bahkan terlupa dengan sejarah buruk yang menimpah ribuan orang dalam masa kolonial tersebut. Kala mendengar tanam paksa yang di praktekan di tanah jawa dalam bentuk penjajahan rodi. Maka ketika membaca novel ini, pembaca akan menemukan kembali apa itu kuli kontrak diluar tanam paksa itu. Penulis berimajinasi fiksi dengan memiliki data akurat sehingga mampu menampilkan sebuah reka dari pristiwa sejarah terhadap kuli kontrak di tanah deli, Sumatra Utara. Emil yang merupakan jurnalis lantas mendeskripsikannya dalam bentuk cerita yang minim dengan dialog namun kuat dalam pengahayatan. Pembaca akan berfikir apakah reka tentang kuli kontrak memang ada?. Dimana kuli kontrak tidak memiliki harga setelah memberikan cap jempol pada sebuah tulisan yang tak pernah mereka mengerti. Pembodohan menjadi asbab yang menjadikan nasib kuli kontrak menjadi tragis dan derita. Kuli kontrak merupakan system yang digunakan oleh pihak swasta dalam mempekerjakan para pekerja dalam sebuah perkebunan. Deli Serdang sebagai salah satu perkebunan tembakau menjadi primadona bagi kalangan pengusaha untuk berinvestasi di tanah ini. Sebaliknya bagi mereka yang menjadi pekerja menanggap tanah Deli adalah salah satu nereka di dunia ini. Mereka tidak hanya diperintah oleh kaum kulit putih namun juga bangsa mereka sendiri yang berprilaku feodal. Tidak ada rasa kemanusiaan lagi yang hidup di Deli ini, moral menjadi rasa yang tak pernah ada. Hanya beberapa tokoh yang mau memperjuangkan rasa kemanusiaan di tanah ini, Multatuli tokoh belanda, Tan Malaka, dan Van De Brand. Emil lebih melukiskan perjuangan yang dilakukan oleh Van De Brand dalam mencari keadilan di Deli ini. Hukum tidak bermata dan tumpul di wilayah ini. Semua terbeli dengan uang dan kekuasaan. Sebagai advokat, Van De Brand lantas mencoba mencari fakta-fakta perihal kondisi kuli kontrak mulai dari awal kedatangan hingga ahir nasib mereka yang tak jelas. Entah sudah berapa kuli lelaki yang tewas dianiaya dengan cara tidak lazim oleh mereka kaum-kaum feodal. Permasalahan sepele mulai dari telat bangun, tidak patuh, melawan bahkan melarikan diri berahir tragis dengan pukulan-pukulan yang keras. Tidak jarang para kuli ini berahir dengan tiang gantungan atau dibuang ke hutan dan menjadi santapan babi atau harimau. Keji memang, Emil menyusun adegan dan pristiwa dalam deskripsi yang ia buat. Perlakuan ini sama halnya dirasakan oleh kaum hawa. Sejak awal kedatangan mereka telah dianggap sebagai kaum sundal (pelacur). Berbeda dengan laki-laki yang tela disediakan tempat tinggal, para wanita tidak mendapatkan tempat tinggal secara gratis. Maka ia pun ahrus menjajakan tubuhnya kepada menner Belanda dan germo Cina. Tidak jarang ahirnya mereka memilih menjadi nyai karena bebas dari tugas berkebun, ia hanya bertugas melayani sang tuannya saja. Banyak sisi yang menarik dari novel ini, sebuah perjuangan untuk menegakan hak dan moral menjadi sisi yang cukup menarik. Dimana kedua hal tersebut penting namun tak lazim di perjuangkan. Berkali-kali van de brand mencoba mengungkapkan kekejaman deli ke public dunia. Tentu, para menner atau pengusaha yang memiliki kepentingan memilih bungkam bahwa melawan asas kebebasan bagi para kuli kontrak tersebut. Novel cukup mampu menggambarkan dengan sebuah lentera kebenaran atas apa yang telah terjadi di tanah Deli. Walaupun tidak terdapat happy ending melainkan never ending novel ini menjadi bacaan wajib kalangan akademisi maupun pendidik. Sebuah kepingan sejarah yang saat ini masih belum tuntas untuk menyusun kronik tersebut. Novel ini dengan bahasa yang sederhana bisa memberikan efek emosi kepada pebaca dalam melihat realitas kuli kontrak. Sayangnya, penokohan yang sangat banyak ditulis oleh emil membuat sebuah perjalanan sebagai kuli kontrak menjadi beragam. Penulis menuliskan perasaan kuli kontrak dari berbagai sudut, mulai dari gadis perawan yang tidak tahu apa pun, lelaki jawa yang bodoh, lelaki jawa yang garang, bahkan menampilkan sosok orang cina dengan karakter bejatnya. Mungkin penulis memang menggambarkan sosok tersebut sebagai bentuk realita yang dihadapi.

No comments:

Post a Comment

Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...