Resensi Buku : Secuil Kisah Ahir Padjajaran

Judul : Singasana Terahir Pajajaran Penulis : Tatang Sumarno Penerbit : Bentang Tebal : 560 Halaman Tahun terbit : 2010 Sejarah tentu akan menarik jika mampu mengemasnya untuk bisa dinikmati oleh khalayak umum. Sama halnya dengan simpulan dari novel ini yang menceritakan tentang sebuah kerajaan di masa peralihan masa Hindu Budha ke pengaruh Islam di tanah Jawa. Pajajaran yang dipimpin oleh Raja Agung Sribaduga Siliwangi mampu membangun kerajaan Pajajaran hingga puncak tertinggi kejayaan sebuah negara yang berdaulat. Salah satu komponen penting dalam wilayah ini adalah wilayah pelabuhan sunda yang kini menjadi bernama pelabuhan Merak. Wilayah pelabuhan ini menjadi sebuah pelabuhan yang sangat ramai dan menarik minat bagi para pesaingnya. Sebagai kerajaan warisan Hindu Budha, Pajajaran mendapat persaingan wilayah yang sengit dengan kerajaan Demak yang telah menghimpun kekuatan hingga wilayah Banten dan Cirebon. Tekanan ini bertambah deras kala orang-orang Demak mencoba membuat kerusuhan dengan membakar pelabuhan. Walaupun tidak ada korban jiwa banyak setidanya Mangkubumi pejabat pelabuhan bernama Cakradipa dan istrinya Nyai Aten tewas dalam pri stiwa ini. Hanya seorang bayi perepuan yang berhasil diselamatkan oleh Adegdaha dari para perusuh. Anak perempuan itu lantas dinamai oleh putra mahkota Saingan yakni Wangi Wanggay. Kelak ia menjadi istri sang putra mahkota dan anak angkat dari Adegdaha. Waktu semakin genting kala pangeran Saingan mencari bantuan ke Portugis di Malaka. Naas kala ia hendak kembali ke Pakuan kapal yang ditumpanginya oleng karena badai sehingga pasukan saling terpecah dan terempas oleh ombak. Putra mahkota yang diselamatkan oleh bawahanya Tambakgadung. Atas jasa itu lah Tambakgadung diangkat menjadi Senapati Pakuan menggantikan Genggong yang dikira tewas tenggelam. Suasana yang masih belum stabil dalam menghadapi musuh dari luar semakin pelik kala kembalinya Genggong setelah hampir setahun lamanya hilang pristiwa bersama sang pangeran saat itu. Dengan memamfaatkan Adegdaha, Genggong mulai memperdayanya untuk tetap berlaku setia terhadap perintahnya walau ia bukan lagi senapati. Dengan imbalan mendapatkan hak untuk mempersuting Nyai Rentanyu yang merupakan istri Genggong namun kerap tidak diperdulikan maka Adegdaha pun setuju dan menerima tawaran dari mantan atasannya itu. Seusai menikahi Rentanyu, Adegdaha mulai menjalankan tugasnya untuk menyerang Demak yang telah mengambil alih wilayah Tanjung Pura. Maka dengan taktik siasat serangan total Adegdaha bersama pasukan deugdeug tanjeur hendak melakukan rencana penyerangan. Sayangnya ketika hendak mendekati Tanjungpura pasukan Adegdaha dihentikan oleh Genggong. Bermaksud untuk melakukan tipu daya kembali maka ia pun menuruti perintah sang mantan atasannya yakni menghentikan penyerangan atas Tanjungpura. Akibatnya sang senapati yang sedang berusaha menggempur Tanjungpura sendirian tewas dalam pritiwa ini. Adegdaha mendapat hukuman yakni menjadi tetega sedangkan Genggong mendapatkan jabatan senapati kembali. Selama menjadi tetega, Adegdaha dipertemukan dengan Rewok dan Bentar seorang perampok yang kemudian menjadi abdi setia Adegdaha. Mengasingkan diri di Sidangaksih bersama sang istri membuatnya tetap menaruh perhatian dengan pakuan. Perpisahannya dengan Pakuan selama bertahun-tahun tidak membuatnya hilang wiabwa dan penghormatan. Hal ini ditandai dengan kedatangan anak buahnya kala ia menjadi pemimpin. Sampa ahirnya ia pun harus kembali ke pakuan setelah mendengar kondisi pakuan yang di ujung tanduk. Kembali ke Pakuan dengan status mertua dari Wangi yang telah bersanding dengan sang prabu dan sebagai seorang calon senapati menjadikan dirinya menaruh hormat terhadap Sunda untuk terus membelanya. Nasib pakuan yang kini bertahan di wilayah pusat setelah pelabuhan Bandar Kelapa di kuasai kerajaan Demak membuat pakuan butuh orang kuat setelah Genggong tewas dalam pertempuran di pelabuhan tersebut. Kedatangannya kembali ke pakuan juga untuk menemani Wangi melahirkan. Namun setelah melahirkan seorang putra geusan tajeur, wangi pun mengehbuskan nafas terahirnya. Maka kesedihan pun bertambah pilu dengan kematian Wangi anak seorang pedagang portugis Fablo. Novel ini menceritakan secuil dari perjalanan panjang dari Kerajaan Pajajaran namun berahir dengan sebuah penaklukan. Penulis dengan adil tetap memberikan sebuah harapan bahwa kelak tetap akan ada penerus dari Pakuan yakni putra nya Geusan Tajeur. Kepenulisan novel yang sarat dengan sejarah ini terasa kurang enak jika tidak ditambahkan dengan bukti-bukti sejarah yang bisa memandu pembaca ke alam silam. Penulisan angkah tahun yang dihindari bisa jadi karena keraguan dari penulis jika salah menuliskan fakta dan isi dari karangan ini. Namun setidaknya bahasa yang digunakan dalam buku ini ringan sehingga bisa menjadi bacaan publik.

No comments:

Post a Comment

Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...