Resensi Buku : Dialektika Harimau ! Dan manusia

Judul : Harimau ! Harimau ! Penulis : Mochtar Lubis Penerbit : Yayasan Obor Indonesia Tebal : 200 Halaman Tahun terbit : 1985
“ Tidak ada manusia yang tidak berdosa” mungkin ini lah salah satu pesan yang hendak disampaikan oleh penulis dalam karangannya kali ini. Seperti pada umumnya penulis yang memang merupakan sastrawan kritis, dalam menghasilkan karya fiksinya dalam bentuk realita hidup. Kali ini dengan menggunakan dua tokoh general yakni harimau dan manusia mochtar lubis berdialektika didalamnya. Sebuah perjalanan rutinitas tiba-tiba menjadi perjalanan panjang yang seolah tiada ahir. Perburuan dan memburu menjadi ambisi untuk saling membunuh dan dibunuh. Novel karangan mochtar lubis berjudul harimau-harimau memang memberikan sebuah kesan yang hidup dalam realitas sehari-hari. Bermula dari perjalanan sekelompok pencari dammar di sebuah hutan sumatera. Dimana sekelompok ini merupakan manusia yang memiliki karakter seperti, wak atok, pak haji, pak balam, talib, sutan, sanip, dan buyung. mereka adalah orang baik, seperti itulah kesan yang hidup dalam mindset mereka karena memang mereka berusaha menampilkan diri sebagai orang baik. Selayaknya wak katok yang menjadi pemimpin rombongan, dimana memang dia adalah seseorang yang selalu dianggap pemimpin karena kesaktiannya. Perjalanan yang mereka lakukan semua baik-baik saja. Bahkan ketika mereka singgah di rumah orang tua tersakti di kampungnya yakni wak hitam mereka masih dalam keadaan normal. Namun sejak singgah ini lah yang menjadi bala besar bagi mereka. Munculnya gadis lugu yang menjadi istri wak hitam menjadi bahan lamunan para pencari dammar. Tak ayal wak katok sebagai murid wak hitam dan buyung pemuda tanggung berbuat nista kepada wanita yang telah memiliki suami itu. Siti rubiyah yang sangat tersiksa dengan prilaku suaminya menjadi pintu pembuka yang dimamfaatkan oleh kedua orang tersebut. Selanjutnya, dari perjalanan balik ini lah petaka konflik di munculkan. Munculnya harimau tua yang sangat kelaparan tiba-tiba menyerang pak balam. Tubuhnya terkoyak, daging betis dan punggung nampak berwarna, bekas cakaran seolah menjadi peringat atas kedatangan inyiak dalam mencari korban. Semua terkejut, namun tidak paham dengan kedatangan si harimau tersebut. Wak katok sebagai dukun palsu memamfaatkan diri dengan ritual syirik yang dilakukannya. Ia mengatakan bahwa harimau tersebut adalah harimau biasa, padahal dalam ritual tersebut ia tak paham hakikat tentang harimau itu. Konflik meruncing ketika pak balam yang sekarat mengatakan kepada mereka untuk segera mengakui dosa. Keterkejutan ini beralasan sejak mereka melihat sepasang gagak hitam yang terbang tinggi, ramalan nasib, bahkan mimpi pak balam. ”akui dosa kalian” dipenghujung nafas pak balam masih mencoba mengatakan hal tersebut secara berulang. Wak katok adalah penyamun yang keji dengan memamfaatkan kesempatan untuk memperkosa istri demang, membunuh teman sejawat kala perang kamang melawan belanda, bahkan membodohi masyarakat dengan keberanian dirinya. Dial ah wak katok yang dibuka kartu dosanya oleh pak balam teman yang selalu mendampinginya sebelum mati. Lain halnya dengan pak haji yang tak ubahnya seperti manusia bertopeng, ia tak percaya tuhan dalam hidupnya. Baginya pengalaman hidup telah menjadikan dirinya untuk membenci manusia yang penuh dengan ego dan ambisi. Kematian anak dan istrinya kala ia masih di india telah menjadikan ia buta agama. Hanya masalah nasib lah yang memberikan kesempatan kepada sosok fasik ini dapat pergi ke mekkah dalam menjadi haji. Dosa-dosa ini lah oleh mochtar lubis dipaparkan dalam suasana tertekan akibat perburuan harimau. Talib, sutan, sanip adalah mantan pemuda yang telah menjadi penyamun. Melakukan pencurian besar yakni pencurian beberapa ekor sapi. Kemudian dosa buyung yang tidak bisa menjaga kesucian dirinya dan terjerumus dalam lingkaran perzinaan bersama siti rubiyah. Harimau mulai memakan satu per satu para pencari dammar, sang inyiak hanya meninggalkan buyung, sanip, dan wak katok yang telah mengubah ambisi untuk gentian memburu harimau tersebut. Maka di ahir cerita penulis tidak membeberkan dosa-dosa tersebut dalam dialog melainkan memaparkan sebuah tekad untuk tidak mengulang dosa tersebut dan memilih berserah diri kepada sang khalik.

No comments:

Post a Comment

Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...