Resensi Buku : Dia Melawan Nurani Dan Perintah

Judul :Rumah kaca Penulis : Pramoedya Ananta Toer Penerbit : Lentera Dipantara Tebal : 646 Halaman Tahun terbit : Cetakan IX, 2011 Melanjutkan treatlogi karya Pram tentang kisah Minke maka dalam buku jilid terahir ini. Pram melanjutkan kisah ahir dari perjalanan Minke alias TAS. Dengan menampilkan sosok lain sebagai “ Aku “ dalam novel ini yakni tuan Jaqueis Pangemanann menjadi titik berbeda yang menarik dibanding tiga karya novel sebelumnya yang terus menampilkan Minke sebagai tokoh utama dalam pergerakan. Tidak heran jika lantas pemerintah Orde Baru pernah melarang mahassiwa dan umum menjadikan buku-buku merah termasuk karya Pram sebagai bahan bacaan. Bahkan dalam lembaran sejarah pernah terjadi ketika sekelompok mahasiswa UI melakukan diskusi Rumah Kaca namun ahirnya terusir bahkan ditangkap oleh rezim militerisme itu. Dalam novel ini Pram tidak menghilangkan sosok Minke sebagai legitimasi dari novel sebelumnya, Pram masih setia menempatkan Minke sebagai tokoh sentral yang minim dengan dialog. Sebaliknya kali ini tuan pengemanann menjadi sosok penting dalam menjelaskan indonesia dalam bentuk rumah kaca. Tuan Pangemanann yang dahulu menjadi polisi lantas diangkat menjadi Algemeene Sectarie memang seorang peneliti yang luar biasa. Dengan kecerdsan aotak lulusan erancis kerap menjadi bahan pertanyaan bagi kalangan colonial manapun. Pengetahuan serta kecerdasannnya dalam mengolah data dan arsip menjadikan dirinya sebagai seorang yang sangat penting. Pangemanann menjadi juru arsip dalam membuat peta Indonesia dalam kiasan sebuah rumah kaca. Walau seperti itu setiap tindakan dirinya yang menzalimi tokoh pergerakan kebangsaan Hindia ia merasakan sebuah penyesalan bahwa ia telah melakukan hal yang salah. Pendidikan tinggi yang ia ambil di Universitas Sorbone Perancis tidak menjadikan dirinya sebagai seorang birokrat yang jujur dan adil. Sebaliknya ia pernah berkomplot dengan seorang bandit bernama Robert untuk membunuh Minke namun gagal.ahirnya sang tokoh pembaharu jawa yang kehilangan jawanisme dibuang ke ambon untuk menjalani hukuman buangan selama lima tahun. Tentu perbuatan ini diketahui oleh Pangemanann selaku orang yang ikut bertanggungjawab dalam pembuangan ini. Ketika ia membawa Minke berlayar ia lebih banyak diam karena Minke bukan tipe basa-basi. Bahkan ketika Minke telah kembali dari pembuangan tuan Pangemanann bukan siapa pun dihadapannya. Sebaliknya Pangemanann menjadikan Minke sebagai lawan dan guru yang paling berharga. Berdiskusi dengan tuan L lantas Pangemanann menyimpulkan bahwa Minke memang sosok yang berbeda dari pruduk zamannya.ia adalah tipe amerika yang enyukai adanya asas kebebasan. Tradisi bukan menjadi sebuah hal yang harus ia lakukan dan patuhi. Sebagai seorang pengumpul, peneliti, dan penyimpul arsip Pangemanann memang mendapatkan banyak keterangan berlebih tentang pergerakan di tanah hindia (Indonesia). Ketika pengadilan menjatuhkan hukuman buangan terhadap Minke menjadi sebuah titik harapan bahwa pergerakan radikal akan mati. Cukuplah Boedi Mulyo saja yang ada dan hidup dibawah naungan pemerintah belanda. Namun hal itu gagal, Pangemanann menemukan bahwa sosok Minke memang sosok yang sentral dalam pergerakan bangsa ini namun sekali lagi ia memang berbeda tak ditemukan pada siapa pun. Bukan berarti pergerakan akan mati. Syarikat Dagang Islam yang dibangun oleh tangan-tangan pribumu yakni Minke dan samahudi menjadikan sdi sebagai organisasi massa yang mampu mendapatkan masa hingga mencapai jutaan orang. Kehilangan Minke malah menjadikan SDI menjadi sosok penting yang terus mengeluarkan sosok pemimpin baru seperti Tjokro. Perpindahan SDI menjadi SI menjadikan organisasi ini melekat dan hidup ditengah rakyat. Melihat hal ini Pangemanann lantas mencoba mencari tahu organisasi ini. Alih-alih bisa memadamkan malah organisasi radikal lainny muncul seperti Idenghji Partij (IP) yang didirikan oleh Douwes Dekker keponakan multatuli dan dua tokoh pribumi. Buku sangat menarik untuk melihat sisi perkembangan pergerakan bangsa Indonesia. Dimana Pram tidak cukup hanya menjelaskan satu skema dalam mencari inti pergerakan namun beragam. Pram menulis bagaimana sosok Minke yang tidak mati dalam ingatan semuaorang menjadi titik inspirasi untuk memperjuangkan kemerdekaan. Seolah Pram memang menjadikan Minke dan harian Medan sebagai induk dalam kepeloporan. Namun sesusai kematian dirinya orang tak lagi menemmukan idealism ala Minke . Pangemanann hanya menemukan sosok Soebandri dan Marco sebagai murid Minke yang selalu setia dengan tujuan pergerakan. Sayangnya keduanya terusir ke belanda karena sikap radikalnya. Bagus dibaca semua kalangan khususnya kalangan akademisi dan sejarawan karena treatlogi ini memberikan sebuah esplanasi sejarah yang berbeda. Kata-kata dan runut masalah yang agak membingungka tentu menjadi sebuah kesulitan tersendiri. Maka dari itu perlu adalah cek dan ricek dengan data sejarah agar bisa memudahkan membaca buku ini. .

No comments:

Post a Comment

Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...