Resensi Buku : Kisah Merantaunya Di Wanita Jawa

Judul : Merantau Ke Deli Penulis : HAMKA Penerbit : Pustaka Bintang Tebal : 200 Halaman Tahun terbit : 1930 Karya ini merupakan buah tangan dari ulama minang yang memang berfikir tidak lagi dalam konsep lokal. Selama merantau ke deli dan menjadi bagian dari pers pembela, hamka rajin menulis dalam bentuk sastra. Salah satunya merantau ke deli. Secara diagronik memang novel ini berbau dengan nilai-nilai sejarah dan realitanya kemudian hamka balut dengan imajinasinya. Tentu hamka menulis dengan sebuah pesan dalam cerita ini. Menurut penulis sendiri hamka menggali dua konsep besar yang saling mempengaruhi yakni masalah prilaku individu atau membahas mengenai mentalitas masyarakat. Maka semua tergantung dengan pembaca, kemanakah ia akan berpendapat. Merantau ke deli adalah sebuah realitas zaman pada masa colonial. Sebuah tempat di daerah sumatera utara yang memiliki lahan luas sebagai tempat utama perkebunan tembakau. Tentu dalam fakta sejarah dituliskan para pekerja yang terdapat dalam perkebunan tersebut adalah para perantau dari luar sumatra, yakni orang-orang jawa dan cina. Sekelumit hamka menuliskan bagaimana kehidupan yang dirasakan oleh orang-orang perkebunan sungguh miris dengan kondisi yang serba kritis. Hanya sedikit orang-orang perkebunan yang bernasib mujur dapat menjadi mandor, assistant, bahkan nyai. Poniem adalah salah satu pekerja yang beruntung tersebut. Wajahnya yang sedikit cantik membuat ia dipelihara oleh belanda dengan menjadi nyai. Sebuah istilah untuk mengatakan simpanan belanda. Poniem yang memang sebatang kara dan bodoh kala tiba di deli hanya pasrah dengan nasib. Kehidupan sebagai seorang nyai hanya melayani sang tuan saja. Nyai yang melayani tuannya tidak harus dijadikan sebagai istri. Ibarat pepatah ia hanya madu bunga yang cuma dihisap saja manisnya. Kepasrahan poniem lantas mempertemukan dia dengan leman. Pedagang minang yang jatuh hati dengan poniem. Walau ia telah menjadi nyai namun leman tetap bertekad untuk menjadikan poniem sebagai istri yang sah. Dialektika ini terus terjadi kala poniem yang malu dengan status nyai menolak ajakan leman untuk menikah. Sebaliknya leman yang memang telah jatuh hati nekad untuk menanti jawaban poniem. Singkat cerita poniem menerima cinta leman dan keluar dari perkebunan deli untuk menikah. Realitas seorang nyai dan deli kini tuntas dalam benak keduanya. Seusai menikah keduanya mencoba memulai kehidupan dengan menjadi pedagang. Jalan terjal dalam membangun bahtera rumah tangga ditengah himpitan ekonomi kadang membuat leman putus asa. Poniemlah yang mampu membawa suasana dalam bahtera tersebut menjadi hidup. Poniem dengan budaya jawanya memiliki kesetian sedarah dengan sang suami. Keduanya saling membahu hingga ahirnya ekonomi mereka membaik bahkan maju. Dibantu dengan teman sejawat poniem yang melarikan diri dari deli lantas menjadikan usaha mereka maju pesat. kemajuan pesat ini lah yang lantas mengundang secara tiba-tiba sanak kerabat leman yang tiba-tiba datang. tentu hal ini menjadi kebanggaan keduanya ketika kemasyuhran mereka telah terdengar hingga kampung asal leman di minangkabau. tak ada gading yang tak retak, mungkin inilah yang dicba dicari oelh sanak kerabat leman kala melihat leman yang telah sukses dengan perdagangannya menikah dengan orang non minang. apalagi keduanya belum mendapat seorang anak di tahun ke lima pernikahanya. “Belum dianggap menikah orang tersebut, jika tidak dengan orang minang” latar belakang poniem sebagai orang jawa dianggap asing di mata keluarga leman. Apalgi poniem adalah buruh kebun yang tak jelas asal usul keluarganya. Hal ini lah yang menjadi pisau untuk membuat celah dalam keluarga leman. Pada awalnya sang kelaurga menyayangkan pernikahan leman yang tidak berjodoh dengan orang jawa. Lantas dialnjutkan dengan asal usul keluarga yang tak jelas. Ahirnya pihak keluarga menyuruh leman untuk menikah lagi dengan wanita minang pilihan keluarganya. Leman yang awalnya menolak kemudian meragu kemudian menerima usulan tersebut. Lain halnay dengan poniem yang sebenarnya menolak pernikahan kedua sang suami hanya bisa mengelus dada karna memang tak punya kuasa. Pernikahan tersebut berlangsung, leman membawanya ke medan tinggal serumah dengan poniem. Maka sejak saat itu timbulah konflik antar dua wanita beda suku tersebut. Poniem yang dipandang sebelah mata oleh istri muda memang tak juga mendapat perhatian dari leman. Konflik memuncak kala poniem bersitegang dengan istri muda dan ahirnya leman memilih istri mudanya dan menceraikan poniem. Hidup sebatang kara dan terusir dari rumah yang dibangun bersama dengan leman membuat poniem semakin duka dengan nasibnya. Bersama teman sejawatnya paijo poniem memilih menjauh ke medan dan membuka usaha untuk menyambung hidup. Berbekal pengalaman dan keuletan bersama usaha mereka pun maju pesat, sebaliknya leman yang ditinggal sang istri pertama mulai merasakan pailit akibat tidak mampu mengatur manajemen perdagangannya, leman pun bangkrut. Ahir cerita poniem menikah dengan paijo.

No comments:

Post a Comment

Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...