konflik adat dalam dunia cinta


judul : tenggelamnya kapal van der wick
karya : Hamka
tahun terbit : 1938

Dalam buku Pelaku Sejarah cerminan kita semua yang ditulis oleh Marjohan, Sejarahwan asal Sumatera Barat menuliskan bahwa Hamka pernah mengatakan tentang adat dalam Minangkabau sebagai Adat Kuno, Pusako Usang. Istilah itu menekankan kepada beberapa hal dalam adat minangkabau yang tidak disukainya bahkan bertentangan dengan Hamka sendiri. Dimana pendidikan agama yang kental telah meletakan pondasi yang kuat dalam tatanan kehidupan sehari-hari. Selain itu 74 tahun silam Buya Hamka asal minangkabau ini menerbitkan sebuah roman berbentuk novel yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wick. Dalam cerita ini pun Hamka memulai mengkritisi adat dalam minangkabau yang bertentangan. Bahkan dalam roman-roman yang ia buat sesudahnya seperti Dibawah Lindungan Kabah serta Merantau Ke Deli masih dibuat dalam benang merah akan adat minangkabau.

Dialah Hamka yang memang secraa berani mempertanyakan adat minangkabau pada masa era kolonial. Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wick. Sebagai produk zaman 1938 adalah sebagai imbas bagaimana hamka mencoba bercerita tentang ada apa dengan adat minang itu sendiri?. Penolakan terhadap budaya asing padahal seiman lantas mengucilkan si zainudin yang lahir dari ayah seorang minang. Bahkan penolakan jati diri yang memakai adat matrilinear ahirnya menjadikan Zainuidin hanya sebagai anak pisang yang tidak diakui secara adat. Puncak tulisan ini adalah pertentangan kelas kala Zainudin hendak melamar Hayati, kemudian di tolak oleh para ketua adat. Secara umum penggambaran akan novel Hamka Tenggelamnya Kapal Van Der Wick hanya membahas pertentangan kelas, sama halnya dalam roman Marah Rusli berjudul Siti Nurbaya. Walau seperti itu dua buku ini memang telah menjadi ikon yang masih hidup hingga sekarang. Dimana maknanya yang tetap hidup serta dipahami layaknya menjadi sebuah pertimbangan dalam menetapkan sebuah keputusan.

Roman ini memang berkisah tentang percintaan seorang anak manusia. Dimana perbdaan yang menjadi pertentangan adalah posisi zainudin itu sendiri. Ayaknya sutan pandekar adalah seorang pelarian yang diasingkan akibat membunuh mamaknya yang serakah. Kepergian keluar sumatera barat kemudian membuatnya terdampar dari pulau jawa kemudian menetap di bugis (makasar). Sepeninggal di makasar sutan sulaiman menikah dan mempunyai anak dengan pasangan dari suku bugis, zainudin. Perkara muncul kala zainudin yang telah menjadi yatim-piatu mencoba kembali dari tanah perantauan. Namun kala ia tiba di tanah minangkabau ia malah mendapati alam minangkabau yang tidak menerima seutuhnya sebagai keturunan minangkabau. Dari perasaan inilah hamka lantas menggambarkan sebuah pertentangan pertama ia tulis dalam novel tersebut. pergolakan batin seorang anak manusia pada zaman tersebut yang memang mewakili bagaimana prosesi adat yang hidup.



Posisi hamka yang juga sebagai ulama toh sempat menjadi sebuah dilemma kala ia menerima umpatan sebagai seorang kiai cabul. Hal ini adalah sebuah hal yang wajar, kala roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wick menjadi buah bibir banyak orang di zamannya karena ia berani menggebark adat minang. Tahun 1930-an sebagai era pergerakan serta tumbuhnya nasionalisme lantas membuat banya tokoh-tokoh bergerak dalam membuat perubahan. Tidak hanya perubahan dalam melawan penjajah, namun juga perubahan dalam semanagt mentalitas bangsa indonesia saat itu. Dalam novel yang diceritakan, mungkin bisa mengandaikan bahwa hamka berperan sebagai seorang Zainudin, tokoh yang menjadi sentral serta tersadar akan status dirinya yang tidak diauki lantas pergi ke pulau jawa. Menurut hemat penulis novel tersebut adalah buah pemikiran tentang adat minangkabau yang perlu dikaji ulang, namun cara penyampaian secara halus serta bercerita. Walau tidak menampikan bahwa sesudah itu hamka berani mengkritisi dalam bentuk kata-kata langsung dalam balutan sebuah buku yakni revolusi adat minangkabau (19) dan islam dan adat minangkabau (19).

Maka berawal dari gagasan terhadap kerasnya adat minankabau lantas membuat zainudin memilih pergi ke tanah jawa. Bersentuhan dengan budaya modern 1930-an lantas membuat namanya zainudin menjadi terkenal dengan tulisannya. Novel ini memang menyesuaikan lagi dengan kondisi sekitarnya, dimana tahun 1930-an setidaknya pulau jawa menjadi daya tarik bagi setiap orang yang berjungjung serta hidup di sana. Bergabung dengan anak klub pelajar sumatera membuat zainudin menjadi masyhur dikenal orag, hingga hayati. Kehidupan di tana jawa yang berbeda dengan di sumatera barat membuat ia menjadi terkenal karena kemampuannya, bukan dari status yang ia punya.

Tenggelamnya Kapal Van Der Wick memang karya sebuah zaman yang hidup hingga saat ini. dimana kedudukan seorang manusia memiliki hak yang sama, apalagi sebagai seorang muslim. Pertentangan kelas antara Zainudin dengan penghulu adat seolah melalaikan dengan ajaran islam yang telah tersebar luas di sumatera barat. Dimana hukum islam mengatur, kedudukan laki-laki lebih terhormat. Tanggung jawab laki-laki sebagai kepala rumah tangga memang menjadi hukum yang diajarkan dalam islam. bahkan dalam pemilihan jodoh pun status sosial tidak menjadi pertimbangan. Namun kenyataan yang harus dihadapi oleh zainuidn adalah pembatasan hubungan dengan sesame manusia dan muslim, serta keputusan yang menurut pada ninik, mamak, serta ketua adat lainnya.
Resensiator : Priondono

No comments:

Post a Comment

Catatan perjalanan : Tempat Pengasinganku adalah Rumahku

( Catatan perjalanan : Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende-NTT ) Perjuangan seperti apa yang bisa dilakukan Dalam keadaan terkucil sep...