Dalam
buku yang dicetak oleh LP3S UI berjudul
“Catatan Seorang Demonstran” yang berisi latar belakang dan perjalanan
sosok seorang Soe Hok Gie. Pemuda keturunan Tionghoa namun memiliki jiwa
nasionalis murni. Dalam buku ini menceritakan melalui catatan harianya bahwa Gie membentuk karakter dirinya sesuai dengan
kondisi zamannya. Ia sosok keras yang mempertahankan idealialismenya yang murni
untuk memberikan sebuah keadilan tanpa sebuah dedikasi. Kondisi zaman yang
harus menempel dengan penguasa membuatnya secara tegas untuk menolak hal
seperti itu.
Gie
hanya seorang mahasiswa, lebih tepatnya seorang pemuda yang masih mencari jati
dirinya dengan membuat pondasi lewat Idelalismenya. Tidak jarang idealismenya
juga yang menjauhkan dirinya dari keramaian birokrasi pemerintahan. Di ahir
catatan ia masih berujar “Apakah semua
yang ia lakukan ini memiliki kegunaan?”. Sebuah pertanyaan yang menanyakan
pada dirinya, sosok Gie yang gencar memberikan kritikan pedas lewat mata pena
yang tida pernah surut menulis. Lewat sorakan dalam demonstrasi yang tidak
pernah berhenti berteriak atas nama keadilan, dan lewat argumennnya dalam
menata negara yang bermasyarakat sesungguhnya. Maka ahirnya pun semua mata
mengakui bahwa dari sebuah idealismenya Gie dikenang sampai saat ini.
Sebuah
dedikasi saat menjadi mahasiswa tentunya memiliki pondasi dalam berfikir yang
terstrukur bahkan lebih kompleks dalam membuat idealism yang kuat. Tidak hanya
dengan mencontohkan dengan sosok Gie, namun juga dengan mahasiswa yang hidup di
eranya atau yang dikenal dengan angkatan 66. Sebuah kekuatan dalam mendorong
mahasiswa membuat mereka memiliki sebuah arti dari idealis. Sejarah yang
membuktikan bahwa kekuatan tangan besi pemerintahan pun tumbang dengan kuatnya
idealisme yang tertanam. Pristiwa yang terjadi dalam rentetan sejarah
Indonesia pun masih teringat dimana
mahasiswa memiliki andil dalam menempatkan kekuatanya sebagai ideologi mandiri
tanpa batas.
Namun
sejauh mana sebuah idealisme itu akan bertahan?. Pertanyaan ini jugalah yang
banyak ditanyakan dalam melihat dinamika bangsa ini. Kasus korupsi yang
menempatkan kaum intelektual telah merugikan rakat Indonesia dengan nilai
angkah yang terbilang wah. Padahal sebelum
para birokrat intelektual mendedikasikan diri dalam birokrasi pemerintahan
kehidupan para birokrat dimulai dari sebuah idealisme sebagai mahasiswa. Dimana
mereka dengan lantang mengatakan bahwa nilai sebuah kesejahteraan diperuntukan
hanya untuk seluruh rakyat Indonesia. Nilai keadilan tanpa toleransi dijunjung
sebagai hal utama yang dilakukan. Maka dari itu,sampai idealisme tersebut
sampai dimana ia memiliki batasannya ketika toh
para kaum inteletual terbelenggu dengan jeratan kasus korupsi.
Pancasila
dan UUD 1945 yang digaungkan sebagai landasan dasar dalam menempatkan
kepentingan rakyat dalam kebijakan pemerintah seolah hanya sebuah simbolis
belaka. Kepentingan pribadi dan kepentingan pesanan
sebagai unsur utama dalam menjalankan kebijakan yang mengatasnamakan rakyat
Indonesia.
Mungkin
benar jika idealism tidak bisa memaksakan dengan menempatkan sosok Gie. Namun
setidaknya ada hal yang ia pertahankan yang patut diingat. Menempatkan
kepentingan rakyat tanpa ada nilai lain dibelakangnya. kini sebuah perenungan
untuk menjadi mahasiswa yang memiliki intergritas dalam membuat sebuah
perubahan. Tidak hanya itu, namun juga ada harapan yang selalu ia hidupkan
dalam memuali perjalanan mahasiswa, dimana konsep dunia kampus merupakan sebuah
miniatur negara sebelum terjun dalam masyarakt yang kompleks.
Banyaknya
mahasiswa yang memiliki perbedaan bukan sebuah msuh yang ditakuti atau pun di
hindari. Perbedaan yang timbul hanya
karena cara pendang yang berbeda. Latar belakang, ditambah dengan idealisme
membuat cara pandang dari berbagai sisi. Walaupun seperti itu, setidaknya
jangan biarkan sebuah idelialisme yang ada saat ini memang memiliki sebuah
tanggal berahir sebuah idealism untuk hidup.
Padang, 28 Juni
2011
No comments:
Post a Comment