Dalam film dokumenter garapan Riri Rezha berjudul Gie, Soe Hok Gie ditanya tiga kali oleh
orang terdekatnya, “Sebenarnya untuk apa perlawanan yang ia lakukan ini?” Pertanyaan yang dilontarkan oleh sahabat kecilnya Han, lantas
sahabatnya Herman Lantang, kemudian ibundanya sendiri. Gie lantas menjawab
dengan sebuah kepastian, bahwa kehidupan yang
dirasa tidak adil maka perlu dijawab dengan perlawanan. Perubahan yang terjadi adalah buah dari perlawanan yang memang mengingkan sebuah tatanan baru dalam
konsep kehidupannya. Gie melawan mewakili zaman, ia melawan tidak hanya sendiri
namun secara individu. Langkah Gie untuk melakukan perubahan ia tawarkan dalam
interprestasi zaman yang menurutnya
tidak adil. argumentasi yang ia tuliskan
dalam goresan pena menjadi sebuah kenangan yang
terus diingat oleh khalayak ramai.
Perlawanan Gie adalah wakil dari zaman, dimana
angkatan mahasiswa 66 menjadi barisan pelopor sebagai mahasiswa pembaharu.
Idealism mahasiswa tidak bisa ditawar untuk menjadi sosok pembaharu,s etidaknya
itu lah simpulan untuk mengenal Gie. Bahwa mahasiswa adalah sebuah penjelmaan
dalam intelektulitas yang dekat dengan
masyarakat sebagai objeknya. Kritis mahasiswa adalah dampak dari kondisi
yang merupakan bagian dari refleksi.
Namun itu sudah sangat lama, Gie telah wafat dalam
pendakian terahir di Semeru. Namun catatan ia tetap dingat sebagai bagian
intelektual yang ingin terus diingat. Seolah
hendak mengingatkan, bahwa Gie memang
telah lama wafat namun pikiran serta perbuatan hidupnya masih diingat oleh
semua orang, khususnya oleh mahasiswa. Namun sampai kapankah?. Dalam ulasan Kompaskampus edisi Selasa, 3 Juli 2012
memuat kondisi mahasiswa kekinian yang
pragmatis serta apatis. Dari semua komentar mahasiswa yang memang cenderung mengakui bahwa mahasiswa
kini telah jauh berbeda dengan mahasiswa di zaman perubahan.
Jarang ditemui, bahkan tidak lagi ditemukan sosok
mahasiswa idealisme cerdas yang berani
menantang. Kalau pun itu ada. Ia adalah individu yang mencari jati diri dengan menampilkan sosok
idealism didalam hidupnya. Iklim kampus telah banyak merubah pondasi mahasiswa
dalam stigma berfikirnya. Mahasiswa hanya dituntut untuk cerdas tanpa kepekaan
pada kondisi lingkungan. Organisasi-organisasi ala mahasiswa hanya menjalankan kegiatan serimonial yang tidak memiliki visi kerakyatan. Akibatnya
kepekaan mahasiswa terhadap kondisi bangsa ini semakin minim. Kepedulian
mahasiswa cukup dalam sebuah momen-momen yang
hendak diabadikan dalam album periode kesuksesan saja.
Penulis ingat kala mengikuti acara peringatan
reformasi yang diadakan di kampus UNP
Mei 2012 silam. Muncul kesepakatan yang
jelas bahwa mahasiswa kini memang banyak mengalami perubahan dalam pola
pikirnya. Para panelis yang menjadi
narasumber utama menyadari mahasiswa kini memang menjadi apatis karena memiliki
ego dalam visinya masing-masing. Dimana organisasi dan individu mencari
kepuasan diri dengan cara masing-masing tanpa adanya idealisme yang ditanam. Akibatnya parktik birokrat tidak
lagi kawal oleh mahasiswa sebagai agen kontrol. jati diri sebagai seorang
mahasiswa hilang dalam konsep maknawi sebagai mahasiswa.
Perlu mahasiswa untuk kembali memahami jati dirinya
sebagai orang pelawan dengan kondisi zaman. Perlawanan yang dilakukan menjadi sebuah iktikad bahwa ia
memang kritis untuk mampu menjadi pembaharu. Modernisasi mahasiswa telah membuat
mahasiswa untuk lebih gampang dalam mengolah suasana kampus yang menjadi ladang ilmu. Bukan malah sebaliknya
mahasiswa semakin dimanjakan dengan teknologi dalam sikap apatisnya. Memilih
kesibukan yang tidak menyangkutkan diri
dengan orang lain atau diam dengan ketenangannya.
Padang,
25 Juli 2012
No comments:
Post a Comment