Gempar.
Mungkin hal inilah yang terjadi kala Siami Ajari bersama Alif menguak sebuah pristiwa kebohongan UN 2011
kemarin. Akibatnya, keduanya diusir dari wilayah tempat tinggalnya, Gandel, Jawa Timur. Sebuah gebrakan yang luar biasa
melalui kejujuran yang berahir dengan kepahitan.
Secara
status mereka (ibu dan anak_red) bukanlah kalangan birokrat atas yang bersinggungan
dengan alat kekuasaan, keduanya juga bukan tokoh pembuat kebijakan publik di negeri ini. Namun
keberanian yang ia ungkapkan adalah sebuah momentum kebangkitan kejujuran yang
telah lama mati suri di negeri ini. Terkuaknya kasus contekan massal dalam
Ujian UN tingkat SD beberapa waktu yang
lalu layak menjadi sebuah dilema besar dalam pendidikan kejujuran. Contekan
massal dilakukan pelaku pendidikan itu sendiri yakni, antara guru dan murid.
Arahan guru yang memberikan secara sengaja lembaran kunci jawaban kepada sang
murid menjadi bukti kegagalan dalam
membangun pendidikan yang bersih.
Walaupun
dalam pemberian contekan ini, berawal dari sisi baiknya, yakni sang guru
memberikan lembaran jawaban agar siswanya lulus. Tapi kenapa dengan hal seperti
ini? Sebuah proses pendidikan melalui Praktik ketidakjujuran yang dilakukanya.
Bukankah durasi waktu dalam satu tahun yang terbagi dalam dua semester itu
seharusnya cukup dalam mengembangkan dan mempersiapkan siswa dalam ujian. Cukup
rumit dalam menjawabnya. Namun toh setidaknya ada dua alasan untuk
menjawab kegaduhan ini. Pertama, contekan massal ini adalah bagian dari pola kebiasaan
dalam penyelenggaran ujian. Pola kebiasaaan yang diklaim sebagai jalan untuk
membuktikan kecintaan pada sang siswa sehingga untuk memberikan kecintaannya
melalui pemakluman terhadap pemberian contekan.
Kedua,
memang timbulnya sikap pesimistis dari pendidik itu sendiri . Sikap merasa gagal dalam melakukan proses pendidikan
menimbulkan sebuah bayangan kegagalan sehingga memaksa guru untuk menodai
putihnya kejujuran dengan memberikan contekan. Alhasil dari kedua hal di atas
maka siswa pun menjadi objek yang siap
menerima. Toleransi untuk sebuah kejujuran telah dijual melalui contekan yang
di sah kan oleh pengajar jujur tersebut. Maka kemudian muncullah anggapan bahwa
adakalanya untuk melakukan hal baik dilakukan dengan melegitimasi hal yang
dilarang.
Membentuk sebuah pola kejujuran memang tidak
masuk dalam kurikulum pendidikan namun menjadi sebuah hiden curikulum yang
diajarkan oleh sang pendidik dalam proses belajarnya. Maka butuh proses serta
kesadaran yang kuat dalam menghindarkan praktek kotor yang hanya akan mencoreng
tatanan murni dalam proses mencari ilmu. Pendidikan yang diselenggrakan di
Indonesia bertujuan untuk mencerdaskan anak bangsa, bukan melegalkan kebohongan
nasional.
Padang, 4 Juli
2011
No comments:
Post a Comment